Quantcast
Channel: Fatwa Tarjih Muhammadiyah
Viewing all 97 articles
Browse latest View live

Fatwa Seputar Badal Haji dan Umrah

$
0
0
Serta Hukum Melaksanakan Umrah Berkali-Kali Bagi Jama'ah Haji Saat Berada di Makkah

Pertanyaan Dari:
Sigit Bachtiar, NBM 977.029, SMK Muhammadiyah 02 Tangerang selatan- Banten
(disidangkan pada hari Jum’at, 25 Syawal 1432 H / 23 September 2011 M)


Pertanyaan:

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
1.  Satu bulan sebelum keberangkatan haji, orang tua meninggal, apakah boleh dibadalkan?  Kapan dan siapa yang sebaiknya membadalkan?
2.   Jika umrah hukumnya sunnah, apakah ada membadalkan umrah?
3.Berapa lama waktu antara umrah ke umrah berikutnya? Bagaimana dengan jamaah haji yang melakukan umrah beberapa kali saat di Mekah?


Jawaban:

Terima kasih kami ucapkan kepada bapak Sigit Bachtiar di Tangerang Selatan-Banten atas pertanyaan yang disampaikan kepada kami. Beberapa pertanyaan yang bapak ajukan tersebut sebenarnya sudah dijelaskan secara panjang lebar di dalam buku Tuntunan Manasik Haji Menurut Putusan Tarjih Muhammadiyah yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Berikut ini jawaban dari pertanyaan bapak:

1.    Hukum badal haji, waktu, dan orang yang membadalkan.

Badal haji adalah ibadah haji yang dilaksanakan oleh seseorang atas nama orang lain yang telah memiliki kewajiban untuk menunaikan ibadah haji, namun karena orang tersebut uzur (berhalangan) sehingga tidak dapat melaksanakannya sendiri, maka pelaksanaan ibadah tersebut didelegasikan kepada orang lain.

Badal haji ini menjadi masalah mengingat ada beberapa ayat al-Qur’an yang dapat difahami bahwa seseorang hanya akan mendapatkan pahala dari hasil usahanya sendiri. Artinya, seseorang tidak dapat melakukan suatu peribadatan untuk orang lain, pahala dari peribadatan itu tetap bagi orang yang melakukannya bukan bagi orang lain. Disamping itu ada juga hadis Nabi saw yang menerangkan bahwa seorang anak dapat melaksanakan ibadah haji untuk orang tuanya atau seseorang melaksanakan haji untuk saudaranya yang telah uzur baik karena sakit, usia tua atau telah meninggal dunia, padahal ia sudah berkewajiban untuk menunaikan ibadah haji.

Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang dimaksud antara lain:
a.       Surat al-Baqarah ayat 286:

...لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ...

Artinya:…ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya, dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya …” [QS.al-Baqarah (2): 286]

b.      Surat Yasin ayat 54:

فَالْيَوْمَ لَا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَلَا تُجْزَوْنَ إِلَّا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Artinya: “Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun, dan kamu tidak dibalas kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan.” [QS. Yasin (36): 54]

c.       Surat an-Najm ayat 38 dan 39:

أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى . وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى .

Artinya: “(yaitu) bahwasanya seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasanya seseorang manusia tidak memperoleh sesuatu selain dari apa yang telah diusahakannya.” [QS. an-Najm (53): 38-39]

Adapun hadis-hadis yang dapat dijadikan acuan atau memberi petunjuk dibolehkannya seorang anak menunaikan ibadah haji atas nama orang tuanya dan seseorang melaksanakan haji untuk saudaranya, di antaranya adalah:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَمَاتَتْ قَبْلَ أَنْ تَحُجَّ أَفَأَحُجَّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ فَقَالَ اقْضُوا اللهَ الَّذِي لَهُ فَإِنَّ اللهَ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ.[رواه البخاري]



Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra., bahwa seorang perempuan datang kepada Nabi saw, lalu berkata: Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk berhaji, lalu ia meninggal dunia sebelum ia melaksanakan haji, apakah saya harus menghajikannya? Nabi saw bersabda: Ya hajikanlah untuknya, bagaimana pendapatmu seandainya ibumu memiliki tanggungan hutang, apakah kamu akan melunasinya? Ia menjawab: Ya. Lalu Rasulullah saw bersabda: Tunaikanlah hutang (janji) kepada Allah, karena sesungguhnya hutang kepada Allah lebih berhak untuk dipenuhi.” 
 [HR. al-Bukhari]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ. [رواه مسلم]



Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., apabila seorang manusia meninggal dunia, terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga hal; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakannya.” [HR. Muslim]



أَنَّ امْرَأَةً مِنْ خَثْعَمَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَبِي شَيْخٌ كَبِيرٌ عَلَيْهِ فَرِيضَةُ اللهِ فِي الْحَجِّ وَهُوَ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَسْتَوِيَ عَلَى ظَهْرِ بَعِيرِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحُجِّي عَنْهُ .
 [رواه مسلم والجماعة]



Artinya: “Bahwasanya seorang wanita dari Khas’am berkata kepada Rasulullah saw: Ya Rasulullah sesungguhnya ayahku telah tua renta, baginya ada kewajiban Allah dalam berhaji, dan dia tidak bisa duduk tegak di atas punggung onta. Lalu Nabi saw bersabda: Hajikanlah dia.” [HR. Muslim dan jamaah ahli hadis]



جَاءَ رَجُلٌ مِنْ خَثْعَمٍ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّ أَبِي أَدْرَكَهُ الْإِسْلَامُ وَهُوَ شَيْخٌ كَبِيرٌ لَا يَسْتَطِيعُ رُكُوبَ الرَّحْلِ وَالْحَجُّ مَكْتُوبٌ عَلَيْهِ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ قَالَ أَنْتَ أَكْبَرُ وَلَدِهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى أَبِيكَ دَيْنٌ فَقَضَيْتَهُ عَنْهُ أَكَانَ ذَلِكَ يُجْزِئُ عَنْهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَاحْجُجْ عَنْهُ . [رواه أحمد]



Artinya: “Seorang laki-laki dari bani Khas’am menghadap kepada Rasulullah saw, ia berkata: Sesungguhnya ayahku masuk Islam pada waktu ia telah tua, dia tidak dapat naik kendaraan untuk haji yang diwajibkan, bolehkan aku menghajikannya? Nabi saw bersabda: Apakah kamu anak tertua? Orang itu menjawab: Ya. Nabi saw bersabda: Bagaimana pendapatmu jika ayahmu mempunyai hutang, lalu engkau membayar hutang itu untuknya, apakah itu cukup sebagai gantinya? Orang itu menjawab: Ya. Maka Nabi saw bersabda: Hajikanlah dia.” [HR. Ahmad]

Para ulamaberbeda pendapat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis tersebut di atas. Ada yang berpendapat bahwa hadis-hadis tersebut bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, hadis-hadis tersebut tidak dapat diamalkan. Hadis-hadis itu zhannisedangkan ayat al-Qur’an qath’i. Pendapat ini didukung oleh ulama Hanafiyah. Ulama’ lain seperti Ibnu Hazm berpendapat bahwa hadis Ahad mempunyai kekuatan qath’i sehingga dapat mengecualikan atau mengkhususkan ayat al-Qur’an. Pendapat ketiga dikemukakan oleh ulama Mutakallimin khususnya ulama Syafi’iyah yang mengatakan bahwa hadis Ahad apalagi hadis Mutawatir dapat mentakhsis atau mengecualikan ayat-ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, menurut mereka anak bahkan orang lain pun dapat melaksanakan haji atas nama orang tuanya atau orang lain. Pelaksanaan haji yang demikian ini disebut “badal haji” atau “haji amanat”.

Sejauh yang dapat difahami dari pendapat di kalangan ulama Tarjih Muhammadiyah, hadis Ahad dapat mentakhsis ayat al-Qur’an, yakni sebagai bayan (penjelas). Contohnya dalam masalah wakaf, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menetapkan bahwa orang yang berwakafakan tetap mengalir pahalanya sekalipun ia telah meninggal dunia berdasarkan hadis riwayat Muslim yang menyatakan bahwa apabila manusia meninggal dunia putuslah amalnya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang selalu mendoakan kedua orang tuanya, sebagaimana dikutip di atas. Hadis ini secara lahiriyah tampak bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an tersebut di atas, namun hadis ini juga dapat diartikan sebagai takhsis(pengkhususan) atau bayan (penjelas) terhadap ayat-ayat al-Qur’an tersebut.

Dengan memperhatikan ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis serta keterangan di atas, maka haji bagi seseorang yang telah memenuhi kewajiban haji tetapi tidak dapat melakukannya karena udzur atau karena sudah meninggal dunia padahal ia sudah berniat atau bernazar untuk menunaikan ibadah haji, hanya dapat dilakukan oleh anak dan saudaranya (ahli warisnya) pada asyhuri al-hajj (musim haji), hanya saja pengganti harus telah berhaji terlebih dahulu, sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut ini:

حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِسْمَعِيلَ الطَّالَقَانِيُّ وَهَنَّادُ بْنُ السَّرِيِّ الْمَعْنَى وَاحِدٌ قَالَ إِسْحَقُ حَدَّثَنَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ ابْنِ أَبِي عَرُوبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ عَزْرَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعَ رَجُلًا يَقُولُ لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ قَالَ مَنْ شُبْرُمَةُ قَالَ أَخٌ لِي أَوْ قَرِيبٌ لِي قَالَ حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ قَالَ لَا قَالَ حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ . [رواه أبو داود وابن ماجه]



Artinya: “… diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. bahwasanya Nabi saw mendengar seseorang berkata labbaik (aku datang memenuhi panggilanmu) dari (untuk) Syubrumah. Rasulullah saw bertanya; Siapakah Syubrumah itu, ia menjawab; saudaraku atau kerabatku, lalu Rasulullah bertanya; Apakah kamu sudah berhaji untuk dirimu? Ia menjawab; Belum. Lalu Rasulullah saw bersabda; Berhajilah untuk dirimu (terlebih dahulu) kemudian kamu berhaji untuk Syubrumah.” [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah]

2.    Badal Umrah
Para ulama sepakat bahwa umrah hukumnya sunnah, sehingga tidak ada kewajiban bagi seseorang atau ahli waris untuk mengumrahkan orang tuanya yang sudah udzur atau meninggal dunia. Kecuali jika orang tuanya pernah bernazar untuk melaksanakan umrah, maka anaknya (ahli warisnya) yang memiliki kemampuan harus menunaikan nazar kedua orang tuanya. Hal tersebut didasarkan pada hadis-hadis tersebut di atas dan hadis berikut ini:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللهَ فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ. [رواه البخاري و الجماعة]



Artinya:“Diriwayatkan dari ‘Aisyah ra., dari Nabi saw bersabda: Barangsiapa yang bernazar untuk mentaati Allah maka hendaknya ditaati (ditunaikan), dan barangsiapa bernazar untuk bermaksiat kepada Allah maka janganlah ia (tunaikan nazarnya) untuk berbuat maksiat.” [HR. al-Bukhari dan jamaah ahli hadis]


3.    Waktu antara umrah ke umrah berikutnya dan hukum bagi jamaah haji yang melakukan umrah beberapa kali saat di Makkah ?

Waktu pelaksanaan umrah tidak ditentukan secara khusus. Umrah dapat dilakukan kapan saja, baik pada musim haji maupun di luar asyhur al-hajj(bulan-bulan haji). Sehingga bagi orang yang memiliki kemampuan baik secara finansial, fisik maupun transportasi dapat melakukannya “kapan saja” dengan memperhatikan kewajiban-kewajiban yang lain baik kepada keluarga, kerabat maupun lingkungan sosialnya, sehingga ia tidak hanya mementingkan dirinya sendiri namun juga orang lain. Jika ia sudah berkali-kali melaksanakan umrah dengan kemampuan materi yang dimilikinya, hendaknya ia mengajak atau memberikan kesempatan (bantuan) kepada orang untuk melaksanakannya, dan hal tersebut tidak akan mengurangi pahala dan kebaikan yang akan didapatkannya. Sedangkan bagi orang yang sedang melaksanakan ibadah haji, ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan seputar pelaksanaan umrah terutama menjelang melaksanakan haji.

Sebelum menjawab substansi pertanyaan yang ketiga, perlu difahami terlebih dahulu pengertian umrah berkali-kali bagi jama’ah haji tersebut. Bahwa yang dimaksud dengan umrah berkali-kali menjelang ibadah haji di sini adalah umrah yang dilaksanakan berkali-kali oleh jamaah haji setelah mereka melakukan umrah dalam melakukan haji tamattu’. Umrah ini dilaksanakan dalam rangkaian ibadah haji guna mengisi waktu senggang sebelum melaksanakan ibadah haji pada tanggal 8 Dzulhijjah. Umrah seperti ini juga disebut dengan umrah Makkiyah, yakni umrah yang dilaksanakan oleh jamaah haji dari luar Makkah yang sedang berada di kota Makkah. Mereka keluar dari tanah haram seperti Tan’im dan Ji’ranah, lalu melakukan ihram untuk umrah dari tempat tersebut.

Jama’ah haji yang melakukan umrah dari Tan’im atau Ji’ranah tersebut berlandaskan pada adanya izin dari Nabi saw kepada ‘Aisyah untuk melakukan umrah dengan diantar oleh saudaranya yang bernama Abdurrahman bin Abi Bakar. Pada saat itu Nabi saw beserta para sahabat akan meninggalkan Makkah menuju Madinah seusai melaksanakan ibadah haji. Saat itu ‘Aisyah gelisah karena pada waktu tiba di Makkah ia tidak dapat menyempurnakan umrahnya dengan thawaf, karena haid. Kegelisahan ini kemudian disampaikan kepada Rasulullah saw, dengan mengatakan bahwa orang lain bisa melakukan ibadah haji dan umrah dengan sempurna, sedangkan ia hanya ibadah haji saja. Mendengar keluhan ‘Aisyah ini, kemudian Nabi saw menyuruh Abdurrahman bin Abi Bakar mengantarkannya ke Tan’im melakukan ihram untuk umrah.

...قَالَتْ فَكُنْتُ أَنَا مِمَّنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ فَخَرَجْنَا حَتَّى قَدِمْنَا مَكَّةَ فَأَدْرَكَنِي يَوْمُ عَرَفَةَ وَأَنَا حَائِضٌ لَمْ أَحِلَّ مِنْ عُمْرَتِي فَشَكَوْتُ ذَلِكَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ دَعِي عُمْرَتَكِ وَانْقُضِي رَأْسَكِ وَامْتَشِطِي وَأَهِلِّي بِالْحَجِّ قَالَتْ فَفَعَلْتُ فَلَمَّا كَانَتْ لَيْلَةُ الْحَصْبَةِ وَقَدْ قَضَى اللهُ حَجَّنَا أَرْسَلَ مَعِي عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ أَبِي بَكْرٍ فَأَرْدَفَنِي وَخَرَجَ بِي إِلَى التَّنْعِيمِ فَأَهْلَلْتُ بِعُمْرَةٍ فَقَضَى اللهُ حَجَّنَا وَعُمْرَتَنَا وَلَمْ يَكُنْ فِي ذَلِكَ هَدْيٌ وَلَا صَدَقَةٌ وَلَا صَوْمٌ . [رواه مسلم]



Artinya: “… (Aisyah ra.) berkata: Aku sendiri termasuk orang yang berniat ihram untuk umrah dan kita semua meninggalkan Madinah sampai datang di Makkah. Pada saat datangnya hari atau waktu Arafah saya haid, sehingga saya tidak dapat tahallul untuk umrahku. Aku mengadu kepada Nabi saw, lalu Nabi bersabda: Tinggalkan umrahmu dan lepaskan rambutmu dan bersisirlah kemudian niatlah ihram untuk haji. Selanjutnya Aisyah berkata: Akupun mengerjakannya, dan setelah sampai malam Hasabah (sesudah hari tasyriq) dan setelah kami selesai ibadah haji, Nabi saw menyuruh Abdurrahman bin Abi Bakar memboncengkan aku keluar ke Tan’im dan akupun ihram untuk umrah dan selesai. Maka Allah telah menentukan selesai haji dan umrah kami. Dalam hal ini tidak diperlukan membayar dam (menyembelih hewan), membayar sadaqah ataupun berpuasa.” [HR. Muslim]

Berdasarkan hadis di atas, jelas bahwa umrah tersebut dilakukan sesudah selesai haji dan dalam rangka menyempurnakan umrah sebelumnya. Nabi saw tidak memberikan tuntunan dan tidak menyuruh para sahabatnya untuk melakukan umrah berkali-kali dalam musim haji sebelum waktu wukuf di Arafah. Oleh karena itu, umrah seperti itu tidak perlu dilaksanakan. Amalan-amalan yang dianjurkan kepada jamaah haji adalah tadarrus al-Qur’an, memperbanyak doa atau thawaf di Masjidil Haram. Adapun melaksanakan umrah sesudah selesai melaksanakan ibadah haji boleh saja dilakukan.

Wallahu A’lam bi al Shawab. *Rf)


Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Fatwa Seputar Masalah Akikah

$
0
0


HUKUMAKIKAH, MENGAKIKAHI DIRI SENDIRI
DAN PENYEMBELIHAN AKIKAH DALAM ACARA KURBAN

Pertanyaan Dari:
Dani Iswadi, Jepara, via e-mail: vandhany_sambora@yahoo.com
(disidangkan pada hari Jum’at, 3 Zulhijjah 1433 H / 19 Oktober 2012 M)


Pertanyaaan:

Saya warga Muhammadiyah di Jepara yang berbaur di kalangan Nahdiyin di tempat saya:
1.Saya dimintai pertanyaan tentang mengakikahi diri sendiri ketika sudah besar, akikah itu hukumnya wajib atau sunah pak? Budaya masyarakat jika akikah belum dilaksanakan sejak kecil tapi kalau dewasa diakikahi, padahal akikah tersebut tugas orang tua tapi tatkala dewasa diakikahi sendiri berarti setiap bayi lahir punya tanggungan akikah besok kalau sudah dewasa.

2.    Ketika pelaksanaan Idul Qurban, saya sebagai panitia qurban mendapatkan peserta akikah dalam pelaksanaan idul qurban, apa yang akan kami kerjakan mengenai penyembelihan akikah dalam acara qurban pak?
      Mohon balasan dan jawabannya, terima kasih.


Jawaban:

Terima kasih atas pertanyaan yang telah bapak ajukan,semoga bapak selalu berada dalam rahmat dan lindungan Allah swt. Jawaban atas pertanyaan bapak akan kami sampaikan secara urut sebagai berikut:

1.      Sebelum menjawab pertanyaan pertama, perlu kami sampaikan beberapa hal terkait akikah.Secara bahasa, akikah adalah membelah dan memotong,sehingga hewan yang disembelih pun juga disebut akikah, karena tenggorokannya dibelah dan dipotong. Selain itu, ada juga yang mengartikannya dengan rambut yang terdapat di kepala bayi yang baru keluar dari perut ibunya (ash-Shan’any, Subulus-Salam, Bab al-Akikah, hlm. 333).

Adapun akikah menurut terminologi syariat adalah hewan yang disembelih untuk anak yang baru dilahirkan sebagai ungkapan syukur kepada Allah dengan niat dan syarat-syarat yang khusus (Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqhus-Sunnah, Bab al-Aqiqah, hlm. 636).

Hukum akikah berdasarkan pendapat rajih (kuat) yang disepakati oleh jumhur ulama adalah sunah muakadah. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw:

مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْهُ فَلْيَنْسُكْ.[رواه أبو داود والنسائى وأحمد والبيهقي]        



Artinya:“Barangsiapa yang dikaruniai anak dan ingin beribadah atas namanya, maka hendaklah ia beribadah (dengan menyembelih binatang akikah).”[HR. Abu Dawud no. 2842, an-Nasai vol. 7 no. 162, Ahmad vol. 2 no.194, dan al-Baihaqi vol. 9 no. 300]

Sabda Nabi saw: “Barangsiapa yang dikaruniai anak dan ingin beribadah atas namanya menunjukkan bahwa akikah sunnah hukumnya.

Adapun tentang pelaksanaannya,akikah disyariatkan pada hari ketujuh dari kelahiran anak, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Rasulullah saw:

كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى فِيهِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ. [رواه الخمسة عن سمرة بن جندب، وصححه الترمذي]

Artinya:“Tiap-tiap anak itu tergadai dengan akikahnya yang disembelih sebagai tebusan pada hari yang ketujuh dan diberi nama pada hari itu serta dicukur kepalanya.” [Hadis diriwayatkan oleh lima ahli hadis dari Samurah bin Jundub, disahihkan oleh at-Tirmidzi]

Memang ada beberapa pendapat tentang kapan waktu pelaksanaan akikah selain hari ketujuh sesudah kelahiran. Paling tidak ada dua pendapat:

Pertama, pendapat yang dikemukakan oleh ulama madzhab Hambali yang mengatakan bahwa pelaksanaan akikah boleh pada hari ke-14, 21 atau seterusnya manakala pada hari ke-7 dari kelahiran anak, orang tuanya tidak mampu mengakikahi. Mereka berhujah dengan hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya:

الْعَقِيقَةُ تُذْبَحُ لِسَبْعٍ وَلأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَلإِحْدَى وَعِشْرِينَ. [رواه البيهقي]                             



Artinya: “Akikah itu disembelih pada hari ketujuh dan pada hari keempat belas dan pada hari keduapuluh satu.”[HR. al-Baihaqi]


Kedua, pendapat yang dikemukakan ulama madzhab Syafi’i. Menurut mereka akikah tidak akan gugur atau hilang penundaannya sampai akikah itu dilakasanakan, meskipun oleh dirinya sendiri. Mereka berhujah dengan hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Anas ra yang menyebutkan bahwa Nabi saw baru melakukan akikah untuk dirinya setelah beliau menjadi Nabi:

أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ. [رواه البيهقي]



Artinya:“Bahwasanya Nabi saw mengakikahkan dirinya setelah beliau menjadi Nabi.”[HR. al-Baihaqi]

Akan tetapi, kedua hadis di atas diperselisihkan keotentikannya oleh para ulama. Hadis al-Baihaqi yang diriwayatkan dari Abdullah bin Buraidah di atas dinilai daifkarena dalam sanadnya terdapat Ismail bin Muslim al-Makky yang didaifkan oleh Ahmad, an-­Nasa’i dan Abu Zur’ah. Demikian juga hadis al-Baihaqi dari Anas ra dinilai daif karena pada sanadnya terdapat seorang yang ber­nama Abdullah bin al-Muharrar yang dinyatakan lemah oleh bebe­rapa ahli hadis antara lain oleh Ahmad, ad-Daruqutni, Ibnu Hibban dan Ibnu Ma’in (lihat buku Tanya Jawab Agama oleh Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih, jilid IV halaman 233). Bahkan an-­Nawawi menyebut hadis ini sebagai hadis batil karena al-Baihaqi meriwayatkan melalui jalan Abdullah bin al-Muharrar dari Qatadah. Al-Baihaqi sendiri menyebut hadis ini sebagai hadis munkar. Oleh karena itu, menurut hemat kami hadis-hadis tersebut tidak perlu diamalkan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
a.       Hukum akikah adalah sunnah muakadah dan waktu pelaksanaan akikah adalah hari ketujuh dari kelahiran bayi.
b.      Yang dituntut untuk melaksanakan ibadah akikah adalah orang tua dari bayi yang dilahirkan, sehingga seseorang tidak perlu mengakikahi diri sendiri.

2.      Mengenai pertanyaan kedua, sesungguhnya dari apa yang telah kami jelaskan di atas, pertanyaan kedua bapak tersebut secara tidak langsung telah terjawab, bahwa akikah disyariatkan pada hari ketujuh dari kelahiran bayi. Akikah terikat dengan waktu kelahiran sang bayi tersebut dan tidak ada tuntutan akikah ketika sudah melebihi 7 hari kelahiran bayi, maupun tatkala seseorang sudah dewasa. Sementara ibadah kurban dapat dilaksanakan setiap tahun sekali. Apabila hewan sembelihan akikah dimaksud adalah untuk akikah yang sudah lewat dari 7 hari kelahiran bayi atau untuk mengakikahi orang dewasa, alangkah baiknya jika disarankan untuk dialihkan niatnya sebagai hewan kurban. Namun jika akikah tersebut memang bertepatan dengan waktu penyembelihan kurban, maka tidak mengapa dilaksanakan bersamaandengan penyembelihan kurban itu.

Perlu diketahui pula, tidak dibenarkan menyatukan niat antara akikah dan kurban, yakni dalam satu hewan sembelihan untuk dua niat, akikah dan kurban sekaligus. Keduanya memiliki ketentuan-ketentuan yang berbeda satu sama lain, baik tentang waktu, syarat, dan lain-lainnya, juga tidak ada nas al-Qur’an atau hadis yang menyatakan bahwa akikah dan kurban dapat disatukan.

Wallahu a’lam bish-shawab. *putm-pa)

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Nisab Zakat Profesi dan Zakat Pertanian

$
0
0



Pertanyaan Dari:
Drs. Ngadimin, Trimulyo I Kepek Wonosari Gunung Kidul
(disidangkan pada hari Jum’at, 7 Jumadilawal 1433 H / 30 Maret 2012 M)


Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr wb.
Membaca penjelasan Tanya Jawab Agama Nomor 1/2012 tentang zakat profesi. Ternyata nishab zakat profesi itu penghasilan bersih setelah dikurangi pajak, dan kebutuhan sehari-hari. Kebanyakan pegawai penghasilannya habis untuk bayar listrik, kebutuhan sekolah anak, dan konsumsi harian. Apakah masih harus berzakat. Padahal biasanya mereka juga sudah mengeluarkan zakat 2,5%.

Petani yang berpenghasilan beberapa kwintal dan sudah sampai nishab, kalau dihitung-hitung untuk kebutuhan sehari-hari juga habis, apakah juga wajib zakat walaupun sudah sampai nishab saat panen?
Wassalamu’alaikum wr wb.


Jawaban:

Wa’alaikum salam wr wb.

Terima kasih atas pertanyaan saudara.
Sebelum kami menjawab, untuk lebih jelasnya, kami akan menguraikan sedikit tentang pengertian zakat profesi, yaitu zakat yang dikeluarkan setelah dikurangi dengan biaya kebutuhan hidup sehari-hari, seperti untuk kebutuhan sandang, papan, pangan, biaya pendidikan, biaya kesehatan, membayar hutang dan lain sebagainya. Apabila dalam jangka satu tahun telah mencapai nishabnya atau mencapai jumlah uang seharga 85 gram emas murni (24 karat) atau lebih (jika harga emas / gram itu ± Rp. 500.000,- jadi perhitungannya: Rp.500.000,- x 85 = Rp. 42.500.000,- /tahun)  maka ia wajib mengeluarkan zakatnya karena hikmah ditentukannya nishab, yaitu bahwa zakat merupakan kewajiban yang dibebankan atas orang kaya untuk bantuan kepada orang miskin dan untuk ikut berpartisipasi bagi kesejahteraan Islam dan kaum muslimin. Sebagaimana firman Allah swt:

...وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْوَ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ

Artinya: "... Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “ Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.” [Qs. Al Baqarah: 219]

Ayat di atas menjelaskan bahwa yang wajib berzakat adalah orang yang hartanya berlebih. Dalam tafsir Ibn Katsir dijelaskan bahwa “قُلِ الْعَفْوَ” itu diartikan sesuatu yang lebih dari kebutuhan keluarga, demikian juga yang dikatakan oleh Ibn Umar, Mujahid, Atha’, Ikrimah, dan lain-lain. Atha’ bisa memakai upah minimum suatu daerah. Dan telah dijelaskan dalam Tanya Jawab Agama no. 5 hlm. 95 bahwa zakat itu dikeluarkan oleh orang yang kaya sebagaimana sabda Rasulullah saw:

...فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ قَدِ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ فِي فُقَرَائِهِمْ
(متفق عليه واللفظ للبخارى عن ابن عباس رضى الله عنهما)

Beritahukanlah kepada mereka, bahwa Allah telah mewajibkan zakat pada harta mereka, di ambil dari orang-orang kaya dan diserahkan kepada orang-orang fakir di antara mereka.” (Muttafaqun ‘alaih dengan lafadz al-Bukhari dari Ibn Abbas).

Orang kaya dalam ukuran ibadah zakat ialah orang yang memiliki harta satu nisab. Untuk dapat disebut harta satu nisab, yakni apabila memenuhi syarat-syaratnya. Antara lain: harta setelah dikurangi kebutuhan pokok bagi pemiliknya dan orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya seperti biaya makan, pakaian, tempat tinggal, transportasi, kesehatan, pendidikan, pembelian atau perawatan alat kerja serta kebutuhan pokok yang lain ternyata masih ada kelebihan yang mencapai batas minimal harta yang diwajibkan oleh syara’ untuk dikeluarkan zakatnya.Maka keluarkanlah zakatnya.

Namun jika telah mencapai senishab kemudian dikurangi oleh kebutuhan pokok yang biasanya dikeluarkan maka tidak wajib zakat karena menjadi tidak cukup senishab. Dengan demikian jika penghasilan habis untuk bayar listrik, kebutuhan sekolah anak, dan konsumsi harian. Maka ia tidak harus berzakat.

Contoh 1: Gaji profesi seorang pegawai Rp. 6.000.000,- / bulan.
Setelah dipotong untuk membayar listrik, kebutuhan sekolah anak, dan konsumsi harian, ternyata masih tersisa Rp. 2.000.000,-  Jika dikalkulasi dalam setahun ia mendapat Rp. 2.000.000,- x 12 = Rp. 24.000.000,- maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat karena tidak mencapai nishabnya (Rp. 42.500.000,- /tahun senilai nishab emas 85 gr), namun jika masih tersisa Rp. 3.600.000,- x 12 = Rp. 43.200.000,- maka  sudah mencapai nisab sehingga ia berhak mengeluarkan zakat sebesar 2,5 % x Rp. 3.600.000,- = Rp.90.000,- jika dikeluarkan perbulan, atau bisa juga membayar satu kali tiap tahun sejumlah 12 x Rp.90.000,- = Rp. 1.080.000,-

Contoh 2: hasil panen padi
Nishab zakat pertanian : 653 kg setiap kali panen, jika harga padi Rp.6000,-/kg, maka Rp.6000,- x 653 kg=  Rp. 3.918.000,-
Pengairan tanpa biaya produksi : 10%, sedangkan disertai dengan biaya produksi : 5%.

Jika seorang petani ketika panen menghasilkan 2 ton padi (jika harga padi Rp. 6000,- /kg, maka Rp. 6.000,- x 2.000,- = Rp.12.000.000,-) kemudian dikurangi biaya produksi (pupuk, irigasi, dll) dan upah buruh sehingga tersisa Rp. 9.000.000,- sisa inilah yang nantinya akan diambil zakatnya sebanyak 5%, yaitu Rp. 450.000,- sehingga hasil akhirnya menjadi Rp. 8.550.000,- yang akan digunakan oleh petani untuk biaya hidupnya selama 4 bulan (panen padi setiap 4 bulan sekali). Bila tanpa biaya produksi, maka zakatnya sebesar 10%, yaitu Rp. 900.000,- sehingga biaya akhirnya menjadi Rp. 8.100.000,-. Hasil akhir inilah yang akan digunakan oleh petani untuk biaya hidupnya selama 4 bulan.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa setelah petani mengeluarkan biaya produksi, kemudian masih tersisa dan mencapai nishabnya, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya terlebih dahulu tanpa dikurangi oleh biaya kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini karena zakat pertanian itu bukan termasuk zakat maal yang harus dikurangi oleh kebutuhan sehari-hari terlebih dahulu lalu mengeluarkan zakatnya. (PUTM)

Wallahu a’lam bish shawwab



Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Zakat dan Pajak

$
0
0
Kewajiban Zakat Profesi Setelah Dipotong Pajak

Pertanyaan Dari:
Bapak Halim, di Jakarta
(disidangkan pada hari Jum’at, 29 Zulhijjah 1432 H / 25 November 2011 M)


Pertanyaan:

Yth Pengasuh Tanya Jawab Agama
As-salamu ‘alaikum wr. wb.
Saya seorang pegawai yang rutin menerima gaji setiap bulan. Setiap kali menerima gaji langsung dipotong pajak Pph 20%. Dengan adanya pemotongan Pph tersebut apakah saya masih wajib membayar zakat, infak, shadaqah?
Wassalam

Jawaban:

Waalaikumus-salam wr. wb.
Terima kasih atas pertanyaan saudara. Berikut ini jawaban kami atas pertanyaan yang Bapak ajukan.
Kita tahu memang ada banyak kesamaan antara pajak dengan zakat. Tetapi diantara keduanya tetap ada perbedaan yang hakiki. Sehingga keduanya tidak bisa disamakan begitu saja.

Persamaan Zakat dengan Pajak:

  1.  Keduanya bersifat wajib dan mengikat atas harta penduduk suatu negeri.
  2. Zakat dan pajak harus disetorkan pada lembaga resmi agar tercapai efisiensi penarikan keduanya dan alokasi penyalurannya.
  3. Ada kesamaan antara keduanya dari sisi tujuan yaitu untuk menyelesaikan problem ekonomi dan mengentaskan kemiskinan yang terdapat di masyarakat.
Namun dengan semua kesamaan di atas, bukan berarti pajak bisa begitu saja disamakan dengan zakat. Sebab antara keduanya, ternyata ada perbedaan-perbedaan mendasar dan esensial. Sehingga menyamakan begitu saja antara keduanya, adalah tindakan yang fatal.

Perbedaan antara Zakat dan Pajak:


1.Dari segi arti nama, zakat dalam bahasa Arab yang berasal dari kata زكى berarti bersih, bertambah, dan berkembang. Menurut istilah, seperti yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, zakat ialah jumlah harta tertentu yang wajib dikeluarkan oleh orang yang beragama Islam dan diberikan kepada golongan yang berhak menerimanya (fakir miskin dan lain sebagainya) menurut ketentuan syarak. Sedangkan pajak dalam hukum Islam memiliki beberapa istilah, yakni al-Jizyah, al-Kharaaj, adh-Dhariibah, dan al-‘Usyuriyah. Sedangkan pajak dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan lain sebagainya. 

2.   Dari segi dasar hukum, zakat diwajibkan berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah.
Allah berfirman dalam QS. al-Baqarah (2):43

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ...
Artinya: “Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang yang rukuk...”[QS. al-Baqarah (2):43]

Sebagaimana disebutkan pula dalam QS. at-Taubah (9):103:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا...
Artinya: Ambillah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka...”[QS. at-Taubah (9):103]

Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ لَهُ زَبِيبَتَانِ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُ بِلِهْزِمَيْهِ يَعْنِي شِدْقَيْهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا مَالُكَ أَنَا كَنْزُكَ ثُمَّ تَلَا { وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَة }(رواه البخارى( 

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang diberi kekayaan oleh Allah lalu ia tidak menunaikan zakatnya maka pada hari kiamat nanti ia akan didatangi oleh seekor ular jantan gundul yang sangat berbisa dan sangat menakutkan dengan dua bintik di atas kedua matanya, lalu melilit dan mematuk lehernya sambil berteriak;‘Saya adalah kekayaanmu yang kamu timbun dulu. Lalu Nabi saw membaca ayat: ‘Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. [HR. al-Bukhari dalam kitab Shahih al-Bukhari, bab Itsmu Maani’i az-Zakaati hadits nomor 1315]

Adapun pajak ditentukan oleh undang-undang suatu negara.
3.Motivasi pembayaran zakat ialah karena keimanan dan ketakwaan kepada Allah, untuk ber-taqarrub kepada Allah, karena Allah memerintahkan hamba-Nya yang memiliki kelebihan harta tertentu untuk membayar zakat. Salah satunya adalah dalam QS. al-Baqarah (2): 267, Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya, Maha Terpuji.”[QS. al-Baqarah (2):267]

Sementara pajak dibayar atas dasar kewajiban negara.

4.Dari segi nisab dan tarif, nisab zakat dan tarifnya ditentukan oleh Allah dan bersifat mutlak sedangkan pajak ditentukan oleh negara dan bersifat relatif. Nisab zakat memiliki ukuran tetap sedangkan pajak berubah-ubah sesuai dengan neraca anggaran negara. Sebagai contoh, zakat pertanian:

عَنْ عمرو بن يحيى المازني عن أبيه قال سمعت أَبا سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قال قالَ رَسول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ ذَوْد صَدَقَةٌ مِنْ الْإِبِلِ وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ و لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ (رواه البخارى( 

Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Amr bin Yahya al-Maziniy dari ayahnya ia berkata aku mendengar Abu Sa’id al-Khudry berkata: Rasulullah SAW bersabda: tidaklah wajib zakat pada yang kurang dari lima unta sampai tiga puluh unta, dan tidak wajib pula zakat pada yang kurang dari lima uqiyah (200 dirham), dan tidaklah wajib zakat pada yang kurang dari lima wasaq (653 kg).” [HR. al-Bukhari dalam kitab Shahih al-Bukhari,bab Zakat lil Wariqi hadits nomor 1355]

5.  Zakat dikenakan pada harta yang produktif, artinya harta itu memberikan keuntungan, pendapatan, keuntungan investasi, ataupun pemasukan. Ataupun kekayaan itu berkembang sendiri yakni menghasilkan produksi. Hal ini karena Nabi saw tidak mewajibkan zakat atas kekayaan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عن النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ليْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ صدقة في عبده و لا فِي فَرَسِهِ(رواه البخارى( 
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda: Seorang muslim tidak wajib mengeluarkan zakat dari kuda atau budaknya.[HR. al-Bukhari dalam kitab Shahih al-Bukhari bab Laisa ‘alal-Muslimi fii ‘Abdihi Shadaqatun hadits nomor 1371]

Sedangkan pajak dikenakan pada semua harta.
6.Perhitungan besar zakat dipercayakan kepada pembayar zakat dan dapat juga dengan bantuan lembaga amil zakat. Sedangkan perhitungan pajak menggunakan jasa akuntan pajak.

7.  Dari segi obyek dan alokasi penerima, zakat diberikan kepada orang muslim dan ditetapkan untuk 8 golongan, sebagaimana firman Allah:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mu'allaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.”[QS. at-Taubah (9):60]

Sedangkan pajak diberikan kepada semua warga negara, untuk kepentingan pembangunan dan anggaran rutin.

Melihat beberapa perbedaan di atas, jelaslah bahwa zakat tidak sama dengan pajak, sehingga pajak tidak dapat menggantikan kewajiban zakat. Seseorang yang telah membayar pajak tidak berarti kewajiban membayar zakatnya gugur. Begitu pula sebaliknya, jika seseorang telah membayar zakat bukan berarti ia terbebas dari beban pajak.

Zakat penghasilan/gaji/profesi yang diwajibkan untuk dizakati adalah apabila penghasilan selama 1 tahun (12 bulan) setelah dikurangi biaya hidup untuk diri dan keluarga yang masih menjadi tanggungannya dan hutang (jika ia berhutang), mencapai harga 85 gram emas murni (24 karat) dan besar zakatnya ialah 2,5 %. Dalam kasus yang Anda alami, maka jika setiap kali penerimaan gaji ada potongan pajak, maka ini mempengaruhi perhitungan zakat. Yakni sebelum dikeluarkan zakatnya, besar gaji dikurangi pajak terlebih dahulu kemudian dikurangi kebutuhan primer selama setahun dan hutang, baru kemudian dikeluarkan zakatnya, apabila kelebihan gaji selama setahun tersebut mencapai nisab (harga 85 gram emas murni/24 karat). Hal ini karena memang zakat diwajibkan pada harta yang kelebihan, sebagaimana firman Allah:
وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الْعَفْو...
Artinya: “Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, "kelebihan (dari apa yang diperlukan)..."[QS. al-Baqarah (2):219]

Sebagai contoh:
  • Nisab zakat = harga emas murni/ 24 karat 85 gram= Rp. 38.250.000,- (dengan asumsi harga emas murni/ 24 karat adalahRp. 450.000,- /gram
  • Gaji seorang pegawai Rp. 6.000.000,-/ bulan
  • Setelah dipotong biaya dapur, biaya pendidikan, kesehatan, biaya listrik, hutang, dan kebutuhan pokok lainnya, ternyata masih tersisa Rp. 4.500.000,-.
  • Kemudian dikurangi pajak 15 % tiap bulan (Rp. 900.000,-) sehingga tersisa Rp. 3.600.000,-
  • Jika dikalkulasi dalam setahun pegawai tersebut mempunyai kelebihan harta sebesar Rp. 3.600.000,- x 12 bulan = Rp. 43.200.000,-, maka sudah mencapai nisab dan wajib mengeluarkan zakat
  • Zakat yang dikeluarkan sebesar 2,5 % x Rp. 43.200.000,- = Rp. 1.080.000,- jika dikeluarkan pertahun, atau bisa juga dikeluarkan satu kali setiap bulan sejumlah 2,5 % x Rp. 3.600.000,- = Rp. 90.000,-.
Sedangkan infak dan shadaqah dalam al-Qur’an ada yang berarti zakat. Al-Qur’an menyebutkan zakat dengan menggunakan lafadz “إنفاق” seperti dalam QS. al-Baqarah (2): 267 sebagaimana tersebut terdahulu. Para ulama menafsirkan kata “infak” dalam ayat ini adalah membayar zakat.Zakat juga disebutkan dalam al-Qur’an dengan lafadz صدقة”, sebagaimana juga telah disebutkan terdahulu. Sehingga, makna infak dan sedekah memiliki arti yang sama dengan zakat.Namun masyarakat biasanya menyebut infak dan sedekah berbeda dengan zakat. Infak dan sedekah adalah sebuah pemberian yang bersifat sunnah.

Infak dan sedekah juga sama halnya dengan zakat dalam arti tidak bisa digantikan dengan adanya pajak.Oleh karena itu, kami menyimpulkan bahwa jika gaji Bapak setelah dikurangi pajak dan kebutuhan sehari-hari dan hutang dalam setahun ternyata masih memiliki kelebihan yang mencapai nisab, maka Bapak tetap dibebani kewajiban zakat gaji/profesi dan masih dapat mengeluarkan infak dan sedekah meskipun tidak bersifat wajib.

Sebagai penutup, perlu kami sampaikan bahwa Muhammadiyah telah memiliki lembaga zakat tingkat nasional dan telah resmi sesuai undang-undang yang berlaku di Indonesia, yaitu Lembaga Zakat Muhammadiyah atau di singkat LAZISMU. Oleh karena itu, sebagai warga Muhammadiyah kami sarankan agar membayarkan zakatnya melalui LAZISMU yang jejaringnya telah ada di seluruh wilayah di Indonesia. Bahkan, dengan membayar zakat melalui LAZISMU, dapat untuk mengurangi pajak yang wajib dibayarkan kepada negara.

Wallahu a’lambish-shawab. putm-pi*)
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Do'a Sesudah Shalat Dhuha

$
0
0
 
Pertanyaan Dari:
Singgih Hardjanto, NBM. 1046367, Tuguran Potrobangsan Magelang
(disidangkan pada hari Jum’at, 20 Syakban 1432 H / 22 Juli 2011 M)


Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Redaksi SM/ Pengasuh rubrik Tanya Jawab yang terhormat, bagaimanakah kedudukan doa setelah Shalat dhuha, adakah dapat digunakan, atau lebih baik digunakan, karena ada pendapat haditsnya dhaif jiddan (Nashiruddin Albani). Ini berkenaan dengan profesi kami sebagai pendidik.
Atas jawaban yang diberikan kami sampaikan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Jawaban:

Wassalamua ‘alaikum Wr. Wb.
Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan. Semoga saudara dan murid-murid yang saudara didik senantiasa berada dalam lindungan dan rahmat dari Allah Swt. Kami mendoakan pula agar lembaga pendidikan yang saudara kelola senantiasa memiliki semangat untuk menanamkan nilai dan ajaran-ajaran agama bagi putra-putri yang dididiknya dan senantiasa memiliki komitmen untuk ber-fastabiqul khairat(berlomba-lomba dalam kebajikan), yakni dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Sebab, masa depan negeri dan umat ini sangat bergantung dengan kualitas pendidikannya, tak terkecuali pendidikan agama.

Mengenai doa sesudah shalat Dhuha, kami telah menelusuri kitab-kitab fikih dan kitab-kitab hadis, dan sepanjang penelusuran kami memang tidak ditemukan adanya hadis yang menerangkan atau mengajarkan lafal-lafal atau doa-doa tertentu setelah selesai menunaikan Shalat Dhuha. Demikian juga kami telah meneliti kitab hadis Nashiruddin Albani yang berisikan hadis-hadis daif versi beliau, yaitu kitab Silsilahal-Da‘ifah dan kitab-kitabnya yang lain. Tidak ditemukan hadis yang saudara maksudkan. Namun demikian, jika yang dimaksudkan adalah pendapat Albani tentang hadis Shalat Dhuha lainnya, memang terdapat sejumlah riwayat yang ia anggap daif jiddan (lemah sekali) atau bahkan maudu’(palsu). Misalnya hadis yang menjelaskan bahwa “di surga ada satu pintu yang bernama pintu “ad-Dhuha” yang hanya bisa dimasuki oleh orang yang menjaga Shalat Dhuhanya” (Silsilah al-Da‘ifah, jilid I, hal 569).

Adapun doa dengan lafal “Inna Dhuha Dhuha-uka, wal-baha-u baha-uka, wal-jamalu jamaluka, wal-quwwatu quwwatuka, wal-qudratu qudratuka, wal-‘ushmatu ‘ushmatuka”, bukanlah doa yang berasal dari Nabi Muhammad saw, melainkan do’a yang dimunculkan pertama kali oleh ahli hukum (fuqaha), seperti oleh asy-Syarwani dalam Syarh Minhaj danad-Dimyati dalam I’anatut-Thalibin. Keduanya pun sesungguhnya tidak menyebut doa ini berasal dari Hadis Nabi Muhammad saw.
Dengan demikian, seorang yang selesai melaksanakan Shalat Dhuha, ia dapat melafalkan doa apa saja yang baik tanpa harus terikat dengan lafal yang dianggap berasal dari Rasulullah saw untuk Shalat Dhuha. Firman Allah dalam al-Qur’an:

فَإِذَا قَضَيْتُمُالصَّلاَةَ فَاذْكُرُوا اللهَ

Artinya: “Jika kamu telah menunaikan Shalat, maka berzikirlah (ingatlah) Allah” [QS. an-Nisa’ (4): 103]



يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اذْكُرُوا اللهَ ذِكْرًا كَثِيرًاِ . وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” [QS. al-Ahzab (33): 41-42]


Doa yang bisa digunakan dan diajarkan kepada peserta didik salah satunya misalnya adalah doa yang diajarkan oleh hadis berikut ini:

إِنَّ رَسُولَ اللهِ كَانَ يَتَعَوَّذُ بِهِنَّدُبُرَ الصَّلاَةِ: اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْبُخْلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ، وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدُّنْيَا، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ . [رواه البخاري ومسلم وأحمد والنسائي واللفظ للنسائي]

Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah berlindung (kepada Allah) dari lima hal setelah selesai Shalat. “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari sifat kikir, aku berlindung kepada Engkau dari sifat pengecut, aku berlindung kepada Engkau dari dikembalikan kepada umurnya yang paling hina (pikun), aku berlindung kepada Engkau dari fitnah dunia dan aku berlindung kepada Engkau dari azab kubur”.” [HR. al-Bukhari, Muslim, Ahmad dan an-Nasai, lafal dari an-Nasai].

Wallahu a’lam bish-shawab. *M-Rf)

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Kelemahan Rukyat Menurut Muhammadiyah

$
0
0
PERMASALAHAN RUKYAT

Pertanyaan dari:
Seorang mahasiswa S2 Ilmu Falak IAIN Walisanga, Semarang,
tidak ada nama, disampaikan lewat pesan pendek (sms)
(disidangkan pada hari Jum’at, 20 Syakban 1432 H / 22 Juli 2011 M)

Tanya:
Saya mahasiswa Semarang, yang dahulu pernah wawancara dengan bapak. Saya mau tanya, apa kelemahan rukyat menurut Muhammadiyah?

Jawab:

Hal yang perlu difahami adalah bahwa di zaman Nabi saw metode penentuan awal bulan kamariah, khususnya bulan-bulan ibadah, adalah rukyat. Nabi saw sendiri memerintahkan melakukan rukyat untuk memulai Ramadan dan Syawal, sebagaimana dapat kita baca dalam hadis beliau,

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا عِدَّةَ شَعْباَنَ ثَلاَثِيْنَ
[رواه البخاري ، واللفظ له ، ومسلم]

Artinya: Berpuasalah kamu ketika melihat hilal dan beridulfitrilah ketika melihat hilal pula; jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Syakban tiga puluh hari.
[HR al-Bukhari, dan lafal di atas adalah lafalnya, dan juga diriwayatkan Muslim]

Dalam hadis lain beliau diriwayatkan mengatakan,

لاَ تَصُوْمُوْا حَتىَّ تَرَوُا اْلهِلاَلَ وَلاَ تُفْطِرُوْا حَتىَّ تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ
 [رواه البخاري ومسلم]
     
Artinya: Janganlah kamu berpuasa sebelum melihat hilal dan janganlah kamu beridulfitri sebelum melihat hilal; jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah. [HR al-Bukhari dan Muslim]

Hadis pertama jelas memerintahkan berpuasa atau beridulfitri ketika hilal bulan bersangkutan terlihat; hadis kedua melarang berpuasa atau beridulfitri sebelum dapat merukyat hilal bulan bersangkutan. Oleh karena itu para fukaha berpendapat bahwa penentuan awal bulan kamariah, khususnya yang berkaitan dengan ibadah, dilakukan berdasarkan metode rukyat.

Namun dalam perjalanan sejarah peradaban Islam, muncul gagasan untuk menggunakan hisab sebagai metode penentuan awal bulan kamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Tercatat bahwa ulama pertama yang menyatakan sah menggunakan hisab adalah Muarrif Ibn ’Abdillah Ibn as-Syikhkhir (w. 95/714), seorang ulama Tabiin Besar. Kemudian Imam asy-Syafi‘i (w. 204/820), dan Ibn Suraij (w. 306/918), seorang ulama Syafiiah abad ke-3 H. Memang mula-mula penggunaan hisab dibatasi saat bulan tertutup awan saja. Namun kemudian pemakaian hisab itu meluas hingga mencakup penentuan awal bulan dalam semua keadaan tanpa mempertimbangkan keadaan cuaca. Di zaman modern penggunaan hisab semakin meluas dan didukung oleh ulama-ulama besar seperti Muhammad Rasyid Rida, Mustafa al-Maraghi, Syeikh Ahmad Muhammad Syakir, Muastafa Ahmad az-Zarqa, Yusuf al-Qaradawi, Syeikh Syaraf al-Qudhah, dan banyak yang lain. Dalam “Temu Pakar II untuk Pengkajian Perumusan Kalender Islam” tahun 2008 di Maroko, diputuskan bahwa,

    Para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan kamariah di kalangan kaum Muslimin tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penggunaan hisab untuk menetapkan awal bulan kamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu salat...


Apabila dilihat secara fakta alam, maka penggunaan rukyat di zaman Nabi saw itu tidak bermasalah karena umat Islam di zaman itu hanya berada di Jazirah Arab saja. Islam belum tersebar di luar kawasan itu. Apabila hilal terukyat di Madinah atau di Mekah, maka tidak ada masalah bagi daerah lain, karena belum ada umat Islam di luar rantau Arabia itu. Begitu pula sebaliknya apabila di Mekah atau Madinah hilal tidak dapat dilihat, maka tidak ada dampaknya bagi kawasan lain di timur atau di barat. Namun setelah Islam meluas ke berbagai kawasan di sebelah barat dan timur serta utara (pada abad pertama Hijriah Islam sudah sampai di Spanyol dan di kepulauan Nusantara), maka rukyat mulai menimbulkan masalah. Persoalannya adalah bahwa rukyat itu terbatas liputannya di atas muka bumi. Rukyat pada saat visibilitas pertama tidak mengkaver seluruh muka bumi. Ia hanya bisa terjadi pada bagian muka bumi tertentu saja, sehingga timbul masalah dengan bagian lain muka bumi. Hilal mungkin terlihat di Mekah, tetapi tidak terlihat di Kawasan timur seperti Indonesia. Atau hilal mungkin terlihat di Maroko, namun tidak terlihat di Mekah. Apabila ini terjadi dengan bulan Zulhijah, maka timbul persoalan kapan melaksanakan puasa Arafah bagi daerah yang berbeda rukyatnya dengan Mekah. Perlu dicatat bahwa Bulan bergerak (secara semu) dari timur muka bumi ke arah barat dengan semakin meninggi. Oleh karena itu semakin ke barat posisi suatu tempat, semakin besar peluang orang di tempat itu untuk berhasil merukyat. Jadi orang di benua Amerika punya peluang amat besar untuk dapat merukyat. Sebaliknya semakin ke timur posisi suatu tempat, semakin kecil peluang orang di tempat itu untuk dapat merukyat. Orang Indonesia peluang rukyatnya kecil dibandingkan orang Afrika yang lebih di barat. Apalagi orang Selandia Baru, Korea atau Jepang akan lebih banyak tidak dapat merukyat pada saat visibilitas pertama hilal di muka bumi.

Problem pertama yang muncul sehubungan dengan masalah keterbatasan rukyat ini adalah apa yang dicatat dalam hadis Kuraib yang amat terkenal itu,

عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَىَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِى آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلاَلَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ فَقُلْتُ أَوَلاَ تَكْتَفِى بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ فَقَالَ لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم [رواه مسلم]
Artinya:    Dari Kuraib (yang menyampaikan) bahwa Ummul-Fadl Binti al-Haris mengutusnya menemui Mu‘awiyah di Syam. Kuraib menjelaskan: Saya pun tiba di Syam dan menunaikan keperluan Ummul-Fadl. Ketika saya berada di Syam, bulan Ramadan pun masuk dan saya melihat hilal pada malam Jumat. Kemudian pada akhir bulan Ramadan, saya tiba kembali di Madinah. Lalu Ibn ’Abbas menanyai saya dan dia menyebut hilal. Ia bertanya: Kapan kalian melihat hilal? Saya menjawab: Kami melihatnya malam Jumat. Ia bertanya lagi: Apakah engkau sendiri melihatnya? Saya menjawab: Ya, dan banyak orang juga melihatnya. Mereka berpuasa keesokan harinya dan juga Mu‘awiyah berpuasa (keesokan harinya). Akan tetapi kami melihatnya malam Sabtu. Oleh karena itu kami akan terus berpuasa hingga genap tiga puluh hari atau hingga melihat hilal (Syawal). Lalu saya balik bertanya: Apa tidak cukup bagimu rukyat Mu‘awiyah dan puasanya? Ia menjawab: Tidak! Demikianlah Rasulullah saw memerintahkan kepada kita.[HR Muslim]

Rukyat Ramadan yang dilaporkan Kuraib dalam hadis ini, menururt suatu penelitian, adalah rukyat Ramadan tahun 35 H, bertepatan dengan hari Kamis sore (malam Jumat), 03 Maret 656 M. Permasalahn rukyat dalam hadis ini adalah bahwa di Damaskus rukyat berhasil dilakukan pada malam Jumat, sementara di Madinah malam Sabtu 04 Maret 656 M. Timbul pertanyaan dapatkah rukyat Damaskus diberlakukan ke Madinah? Ibn Abbas dalam hadis tersebut mejelaskan tidak dapat. Jadi awal Ramadan tahun itu berbeda antara Damaskus dan Madinah, meskipun kedua kota itu masih dalam satu negara Daulat Umaiyyah.
 
Masalah ini kemudian dalam sejarah Islam berkembang menjadi apa yang dikenal dengan “masalah matlak”. Matlak adalah batas berlakunya rukyat yang terjadi di suatu tempat. Pertanyaannya adalah apakah rukyat yang terjadi di suatu tempat dapat diberlakukan kepada tempat lain yang tidak dapat merukyat? Kalau dapat sejauhmana? Mengenai ini terdapat dua pendapat dalam fikih. Pertama pendapat yang menolak doktrin matlak. Bagi mereka tidak ada matlak. Rukyat yang terjadi di suatu tempat berlaku untuk seluruh penduduk di muka bumi. Pendapat ini dipegangi oleh para fukaha Hanafi dan beberapa ulama Syafiiah. Imam Nawawi (w.676/1277), seorang ulama Syafii, menyatakan dalam Syariat Muslim bahwa rukyat di suatu tempat di muka bumi berlaku untuk seluruh muka bumi (VII: 197). Kebanyakan ulama lain memegangi doktrin matlak, yaitu bahwa rukyat tidak dapat diberlakukan ke seluruh dunia, harus dibatasi berlakunya. Namun mereka tidak sepakat tentang batasan itu. Ada yang mengatakan hanya berlaku dalam batas salat belum bisa diqasar (± 90 km). Ada yang berpendapat dapat berlaku dalam satu negeri, dan ada pula dalam beberapa negeri berdekatan. Ibn Taimiah menolak semua pendapat ini dan mengatakan bahwa “rukyat tidak ada kaitannya dengan qasar salat dan negeri atau negeri-negeri tidak ada batas yang jelas.” Memang di zaman dahulu tidak ada batas geografi wilayah suatu negara seperti halnya sekarang ini.

            Kini pada abad ke-21, umat Islam sudah berada di seantero keliling bola bumi yang bulat ini. Bahkan di pulau-pulau terpencil di Samudera Pasifik pun sudah ada umat Islam, seperti di kepulauan Tongga dan Samoa. Rukyat yang terjadi pada hari pertama visibilitas hilal tidak dapat mengkaver seluruh umat Islam di dunia. Justeru rukyat akan memaksa umat Islam di dunia berbeda memulai bulan baru. Mari kita lihat simulasi rukyat pada beberapa tahun berbeda sebagaimana divisualisasikan pada beberapa ragaan berikut (Pembuatan semua ragaan didasarkan kepada al-Mawaqit ad-Daqiqah).

Ragaan 1: Kurve rukyat hilal Ramadan 1503 H (Selasa, 18 Juni 2080 M)


Ragaan 1 di atas memperlihatkan kurve rukyat hilal Ramadan hari Selasa sore 18 Juni 2080 dengan mata telanjang apabila cuaca terang. Kawasan yang tercakup dalam lengkungan kurve rukyat adalah kawasan yang dapat melihat hilal ramadan 1503 H (Selasa 18 Juni 2080 M), yaitu sebagian besar benua Amerika, benua Afrika, sebagian agak besar Eropa dan Asia. Sementara Australia, Selandia Baru, Papua Nu Gini, dan bagian utara bumi yang terletak di atas lintang 60º LU tidak dapat melihat hilal Ramadan 1503 H (2080 M). Pada hal rukyat ini adalah yang paling maksimal karena ujung kurvenya hampir mencapai garis Tanggal internasional di sebelah timur muka bumi. 

Berikutnya mari kita lihat pula simulasi rukyat yang divisualisasikan dalam ragaan 2 berikut. Pada Ragaan 2 terlihat bahwa di Mekah hilal Zulhijah 1455 H insya Allah akan terlihat pada hari Ahad 19 Februari 2034 M (tinggi toposentrik hilal hari itu 6,5º). Sementara pada hari itu di kawasan timur seperti di Indonesia hilal Zulhijah belum akan terlihat. Akibatnya Mekah mendahului kawasan timur satu hari dalam memasuki Zulhijah 1455 H, yaitu pada hari Senin 20-02-2034 M. Sementara itu kawasan timur bumi akan memasuki Zulhijah pada hari Selasa 21-02-2034 M. Ini akan menimbulkan masalah puasa Arafah, kapan kawasan timur berpuasa Arafah. Kalau mengikuti Mekah, maka di kawasan timur baru tanggal 8 Zulhijah karena kawasan timur terlambat 1 hari. Kalau puasa Arafahnya tanggal 9 Zulhijah waktu setempat, maka di Mekah tidak lagi wukuf, melainkan sudah Iduladha (10 Zulhijah). Jadi inilah dilemma yang ditimbulkan oleh rukyat.
   
Ragaan 2: kurve rukyat hilal Zulhijah 1455 (Ahad sore 19 Februari 2034 M) 


Mari kita lihat satu lagi simulasi rukyat, yaitu Zulhijah 1439 sebagaimana divisualisasikan pada Ragaan 3.

Ragaan 3 memperlihatkan bahwa hilal Zulhijah 1439 H terlihat jauh di sebelah barat bumi, yaitu di Samudera Pasifik termasuk Kepulauan Hawaii, pada Sabtu sore 11 Agustus 2018 M. Di ibukota Honolulu saat matahari terbenam, tinggi toposentrik hilal tersebut adalah 08º 07’ 37”. Jadi posisi hilal sudah sangat tinggi dan dapat dilihat dengan mata telanjang apabila cuaca terang. Akan tetapi, sebagaimana diperlihatkan oleh Ragaan 3, hilal Zulhijah 11-08-2018 itu tidak terlihat di daratan lima benua.

Ragaan 3: Kurve rukyat Zulhijah 1439 H (Sabtu sore 11 Agustus 2018 M)



Problemnya adalah karena pada hari Sabtu belum dapat melihat hilal Zulhijah, maka Mekah akan masuk Zulhijah pada hari Senin 13-08-2018 M, dan hari Arafah di Mekah jatuh Selasa 21-08-2018 M. Sementara itu Hawaii karena sudah dimungkinkan melihat hilal akan memasuki Zulhijah hari Ahad, 12 Agustus 2018 M, dan tanggal 9 Zulhijah di Hawaii akan jatuh pada hari Senin 20-08-2018 M. Bagaimana mereka puasa Arafah. Kalau puasanya hari Senin itu mendahului Mekah karena di Mekah baru tanggal 8 Zulhijah dan belum terjadi wukuf. Kalau mereka menunggu Mekah, berarti mereka puasa Arafah tanggal 10 Zulhijah menurut penanggalan Hawaii, dan itu adalah hari Iduladha di Hawaii. Suatu kawasan yang sudah terpampang hilalnya di ufuk mereka tidak boleh menunda masuk bulan baru karena alasan apapun misalnya mau menunggu Mekah, karena Nabi saw mengatakan berpuasalah apabila melihat hilal.

            Dengan demikian sangatlah jelas problem yang ditimbulkan oleh rukyat. Kalau ini mau disebut kelemahan silahkan sebut demikian. Secara singkat keseluruhan problem rukyat itu adalah:

1)      rukyat tidak bisa membuat sistem penanggalan yang akurat;
2)      rukyat tidak dapat menyatukan sistem penanggalan (kalender) hijriah sedunia secara terpadu dengan konsep satu hari satu tanggal di seluruh dunia;
3)      rukyat tidak dapat dilakukan secara normal pada kawasan lintang tinggi di atas 60º LU dan LS;
4)      rukyat menimbulkan problem puasa Arafah karena tidak dapat menyatukan hari Arafah di Mekah dan kawasan lain pada bulan Zulhijah tertentu.

            Oleh karena itu tidak berlebihan apabila Temu Pakar II di Maroko menyatakan bahwa penyatuan kalender Islam se dunia tidak mungkin dilakukan kecuali dengan berdasarkan hisab. Memang, sebagaimana dikemukakan oleh Nidhal Guessoum, adalah suatu ironi yang memilukakan bahwa setelah hampir 1,5 milenium perkembangan peradaban Islam, umat Islam belum mampunyai suatu sistem penanggalan terpadu yang akurat, pada hal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik. Menurut Prof. Dr. Idris Ibn Sari, Ketua Asosiasi Astronomi Maroko, sebab umat Islam tidak mampu membuat kalender terpadu adalah karena mereka terlalu kuat berpegang kepada rukyat.

            Kini dalam rangka mewujudkan kalender Islam tunggal (terpadu) yang dapat menyatukan selebrasi umat Islam sedunia, sedang dilakukan perumusan kalender Islam yang dibuat dan diuji selama kurang lebih satu abad hingga akhir tahun 2100. Ada empat rancangan yang diuji dan telah sering diberitakan. Perkembangan paling mutakhir tentang uji validitas ini adalah bahwa uji tersebut telah mencapai 93 tiga tahun, dan akan segera diadakan Temu Pakar III untuk membahas hasil uji validitas tersebut. *sy)



Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Hadis Tentang Posisi Tumit Nabi SAW Ketika Sujud

$
0
0



Pertanyaan Dari:
PCM Bumiayu, Brebes


Pertanyaan:
1.      Di tempat kami, ada yang berfaham bahwa ketika sujud, posisi tumit dirapatkan. Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak. Bagaimana status hadis tersebut?
2.      Bagaimana posisi kaki yang benar ketika sujud, merapat ataukah merenggang?

Jawaban
Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan. Jawaban kami adalah sebagai berikut. Untuk mengetahui tingkat kesahihan sebuah hadis, ada tiga langkah yang harus kita lakukan, yaitu:
1.      Melakukan takhrij, yaitu melacak hadis pada sumber-sumber aslinya (al-mashadir al-ashliyyah), yaitu kitab-kitab hadis primer yang memiliki sanad.   
2.      Melakukan i’tibar, yaitu menguraikan sanad untuk mengetahui kemungkinan adanya mutabi’ dan syahid. Mengetahui mutabi dan syahid diperlukan untuk mencari jalur penguat jika nanti ditemukan adanya perawi yang daif dalam sanad hadis tersebut. Mutabiadalah hadis yang memiliki kesamaan(baik redaksi maupun subtansinya)dengan hadis yang lain, disertai kesamaan perawi pada tingkatan sahabat.Syahid adalah hadis yang memiliki kesamaan (baik redaksi maupun subtansinya) dengan hadis yang lain, namun memiliki perbedaan perawi pada tingkatan sahabat.
3.      Melakukan kritik hadis. Dalam tahap ini yang dilakukan adalah mengumpulkan informasi tentang:
a. ketersambungan sanad (اتصال السند),
b. kredibilitas perawi (عدالة الرواة),
c. akurasi  hafalan perawi (ضبط الرواة),
d. koherensi dengan hadis lain (عدم الشذوذ),
e. keselamatan dari kecacatan tersembunyi (السلامة من العلة)

Berikut penelitian hadis riwayat al-Hakim yang saudara tanyakan.

Takhrij Hadisal-Hakim dan I’tibar Sanad

Setelah dilakukan penelitian, hadis riwayat al-Hakim tentang posisi kaki Rasulullah yang merapat ketika sujud, ternyata terdapat pula dalam Sunanal-Baihaqi, Sahih Ibnu Hibban dan Sahih Ibnu Khuzaimah. Berikut redaksi hadisnya:

قَالَتْ عَائِشَةُ زَوْجُ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- :فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- وَكَانَ مَعِى عَلَى فِرَاشِى ، فَوَجَدْتُهُ سَاجِدًا رَاصًّا عَقِبَيْهِمُسْتَقْبِلاً بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ الْقِبْلَةَ ، فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ : أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ ، وَبِعَفْوِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ ، وَبِكَ مِنْكَ ، أُثْنِى عَلَيْكَ لاَ أَبْلُغُ كُلَّ مَا فِيكَ. فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ : يَا عَائِشَةُ أَخَذَكِ شَيْطَانُكِ. فَقُلْتُ : أَمَا لَكَ شَيْطَانٌ؟ قَالَ : مَا مِنْ آدَمِىٍّ إِلاَّ لَهُ شَيْطَانٌ ». فَقُلْتُ : وَأَنْتَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ :« وَأَنَا ، لَكِنِّى دَعَوْتُ اللهَ عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ. [رواهابن خزيمة و ابن حبان و البيهقي و الحاكم]

Artinya:“Aisyah istri Rasulullah berkata: Saya merasa kehilangan Rasullalah saw, padahal beliau beserta saya di tempat tidur saya, (kemudian saya mencari beliau) dan saya temukan Rasulullah sedang sujud dalam keadaan merapatkan dua tumitnya sambil menghadapkan ujung-ujung dua telapak kakinya ke arah kiblat. Aku mendengar beliau berdoa: “A’udzu biridlaka min sakhatika, wa ‘afwika min ‘uqubatika, wa bika minka, utsnia alaika la ablughu kulla ma fika”. Setelah selesai, beliau berkata kepadaku: “Wahai Aisyah, syaitan yang  ada pada dirimu telah memperdayaimu.” “Syaitan apa yang engkau maksud (wahai Rasulullah)?” Beliau menjawab: “Tidaklah setiap anak Adam, kecuali ia memiliki syaitan (yang berada bersamanya)”. Aku mengatakan: “Apakah engkau juga, ya Rasulullah?” beliau menjawab: “Aku juga, tetapi aku berdoa kepada Allah, maka aku selamat”. [HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Baihaqi dan al-Hakim]
 


 
Keterangan:Jaringan sanad di atas menunjukkan bahwa hadis tersebut tidak mempunyai syahid, sedangkan mutabi terdapat pada perawi setelah Said bin Abi Maryam.

Kritik Hadis :

Penelitian terhadap hadis di atas langsung dilakukan dengan melihat aspekkredibilitas dan akurasi perawi serta melihat kemungkinan terjadinya pertentangan dengan hadis lain yang lebih sahih. Untuk mempersingkat penelitian, faktor ketersambungan sanad dan keselamatan dari cacat yang tersembunyi tidak dilakukan.

a.    Kredibilitas dan Akurasi Hafalan Perawi
Setelah memperhatikan sanad (rantaian perawi) di atas, ditemukan seorang perawi yang lemah (dlaif) dalam aspek akurasi hafalan (dhabt), yaitu sosok yang bernama Yahya bin Ayyub. Berikut ini kami kutipkan data tentang perawi tersebut dari kitab Tahdzibu al-Tahdzib (vol. 11, hal. 163) karya Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H/1448 M).
Nama : Yahya bin Ayyub al-Ghafiqi Abul Abbas al-Mishri (dijuluki Bapaknya Abbas, berasal dari Mesir).

Guru-gurunya: Humaid, Yahya bin Said, Abdullah bin Abi Bakar, Abdullah bin Dinar, Rabi’ah bin Ja’far, Ismail bin Umayyah, Bakir bin Asyaj, Ibnu Juraij, Ubaidullah bin Abi Ja’far, Ubaidullah bin Jahr, Umarah bin Ghaziah, Abul Aswad, Muhammad bin Ajlan, Yazid bin Abi Habib, Yazud bin al-Had, Malik bin Anas dan Khalaq.

Murid-muridnya: Ibnu Juraij, al-Laits, Juraij bin Hazim, Ibnu Wahab, Ibnu Mubarak, Asyhab, Zaid bin Habba, Yahya bin Ishq, al-Maqbari, Abu Shalil, Said bin Abi Maryam, Said bin Afir, Ishaq bin al-Farat, Musa bin A’yun, Amru bin Rabi, dll.

Penilaian ulama terhadapnya:
a.       Imam Ahmad : hafalannya lemah,
b.      Ibnu Main : salih, tsiqah (kredibel)
c.       Ibnu Abi Hatim : jujur, hadisnya dapat ditulis tetapi tidak dapat dijadikan hujjah (dalil)
d.      Abu Dawud : tsiqah (kredibel)
e.       Nasai : Ia tidak apa-apa, di lain kesempatan ia menilai Yahya tidak kuat
f.       Ibnu Hibban : tsiqah (kredibel)
g.      Ibnu Saad: munkarul hadis
h.      Daruquthni : di sebagian hadisnya ada ketumpangtindihan
i.        Tirmidzi mengutip Bukhari : tsiqah (kredibel)
j.        Ismaili: tidak dapat dijadikan hujah
k.      Abu Zar’ah: ada kecacatan dalam hafalannya
l.     Ibnu Adi : jika ia menerima hadisnya dari orang yang tsiqah(kredibel), hadisnya tidak munkar. Ia jujur.
m.    Uqaili : memasukkannya ke dalam al-dlu’afa (orang-orang yang lemah)

Keterangan :
Melihat penilaian para kritikus hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa Yahya bin Ayyub adalah pribadi yang dipermasalahkan oleh para ulama. Sekalipun banyak ulama yang menganggapnya memiliki kredibilitas yang baik, namun ia adalah sosok yang memiliki hafalan yang lemah. Kelemahan hafalan tersebut juga tidak dapat dikuatkan oleh hadis yang lain karena tidak terdapat mutabi dan syahiduntuknya. Kelemahan dalam faktor hafalan inilah yang membuat hadis di atas menjadi bernilai daif.

b.   Meneliti Koherensi Hadis
Langkah selanjutnya dalam menguji kesahihan hadis ini, adalah melihat apakah ia bertentangan (inkoheren) dengan hadis lain atau tidak. Setelah dilakukan penelitian, ternyata hadis ini bertentangan dengan hadis lain yang bernilai sahih, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dan an-Nasai.  Di mana dalam hadis tersebut tidak disebutkan kisah Aisyah melihat kaki Rasulullah yang berdempet ketika salat. Hadis yang bertentangan dengan hadis yang lebih sahih disebut hadis syadz dandikategorikan sebagai hadis daif.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ فَقَدْتُ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِى عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُولُ :اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ. [رواه مسلم و النسائي]

Artinya:“Diriwayatkan dari Aisyah r.a. dia berkata, “Aku merasa kehilangan Rasulullah saw suatu malam dari tempat tidur, maka aku cari-cari beliau, selanjutnya kenalah satu telapak tanganku pada dua telapak kaki Rasulullah saw ketika beliau berada di masjid. Dua telapak kaki beliau tegak. Beliau berdo’a: “Ya Allah aku berlindung dari kemarahan-Mu dengan keridaan-Mu, berlindung dengan ampunan-Mu dari siksaan-Mu, saya berlindung pada-Mu dari siksaan-Mu, aku berlindung pada-Mu dari-Mu, aku tidak bisa menghitung pujian bagi-Mu, yakni Engkau seperti Engkau memuji pada diri-Mu.” [HR Muslim dan an-Nasai]

Keterangan :
Tampak dalam hadis ini, ada bagian cerita yang sama dan ada bagian yang berbeda dengan hadis riwayat al-Hakim di atas. Bagian yang sama adalah laporan bahwa Aisyah dalam suatu malam kehilangan Rasulullah dari sisinya dan kemudian berusaha mencari beliau. Kesamaan ini menunjukkan bahwa kejadian yang dilaporkan oleh al-Hakim dan Muslim dalam hadis masing-masing adalah peristiwa yang sama. Adapun bagian yang berbeda dalam dua hadis ini adalah hadis Muslim menceritakan Aisyah sempat memegang kaki Rasulullah ketika sujud dan hadis al-Hakim tidak. Hadis Muslim tidak menyebutkan Aisyah melihat posisi kaki Rasulullah ketika sujud yang merapat, sedangkan hadis al-Hakim menyebutkannya. Terakhir, hadis al-Hakim menyebutkan terjadinya dialog antara Rasulullah dan Aisyah setelah beliau selesai salat, sedangkan hadis Muslim tidak.

Hadis Abu Dawud dapat dijadikan penguat?

Setelah diteliti, hadis al-Hakim, ad-Daruquthni, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah yang disebutkan di atas ternyata memiliki pendukung dari hadis lain, yaitu hadis riwayat Abu Dawud, yang secara substansi senada dengan hadis di atas. Dalam hadis Abu Dawud ini, Rasulullah saw diriwayatkan memerintahkan untuk merapatkan kedua paha ketika salat. Jika kita perhatikan, merapatkan paha sama memang artinya dengan merapatkan kedua kaki. Namun demikian, sayang sekali setelah diteliti, hadis Abu Dawud  tidak dapat dijadikan penguat, karena hadis ini sendiri juga bernilai lemah. Terdapat seorang perawi yang bernama Darraj yang ditolak oleh para kritikus hadis. Ibnu Abi Hatim menilainya lemah dan Imam Ahmad menilainya munkarul hadis (dikutip dari Tahdzibu al-Tahdzib Ibnu Hajar, vol. 3, hal. 180). Dengan demikian ia tidak dapat dijadikan penguat untuk hadis al-Hakim, ad-Daruquthni, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah di atas. Berikut ini adalah jaringan sanad dan hadisnya:



  
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ :إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَفْتَرِشْ يَدَيْهِ افْتِرَاشَ الْكَلْبِ وَلْيَضُمَّ فَخِذَيْهِ.

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Jika salah seorang di antara kalian sujud, janganlah ia menempelkan kedua tangannya ke lantai (iftirasy), seperti perilaku anjing (yang sedang duduk) dan hendaklah ia merapatkan kedua pahanya.”

Hadis tentang Merenggangkan Kaki

Di sisi lain, terdapat pula hadis riwayat Abu Dawud yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. salat dengan merenggangkan kedua pahanya. Berikut adalah jaringan sanad beserta hadisnya.

عَنْ أَبِى حُمَيْدٍ بِهَذَا الْحَدِيثِ قَالَ وَإِذَا سَجَدَ فَرَّجَ بَيْنَ فَخِذَيْهِ غَيْرَ حَامِلٍ بَطْنَهُ عَلَى شَىْءٍ مِنْ فَخِذَيْهِ

Artinya: “Dari Abu Humaid, (ia meriwayatkan sifat salat nabi), bahwa beliau apabila sujud merenggangkan kedua pahanya dan tidak membebankan perutnya pada kedua pahanya.”

 

 Namun, setelah dilakukan penelitian ditemukan data bahwa menurut Nashiruddin Albani dalam Irwaul Ghalil, jilid 2 hal. 80, perawi yang bernama ‘Utbah dalam jaringan sanad di atas bernama lengkap Utbah bin Abi Hakim al-Hamdani. Jika memang nama lengkap Utbah menurut Albani tersebut benar, maka berarti ia adalah sosok yang lemah (daif). Karena dalam Taqribu al-Tahdzib, jilid 2, hal. 380, Ibnu Hajar menyebut Utbah bin Abi Hakim al-Hamdani sebagai “shaduq yukhtik katsiran” (perawi yang jujur, namun sering melakukan kesalahan).
 
Kesimpulan:

1.    Hadis Aisyah dari Muslim dan an-Nasai sahih, tetapi tidak ada di dalamnya dilalah(keterangan yang menunjukkan) tentang posisi kaki yang merapat ataupun merenggang.
2.    Baik hadis yang menyebutkan kaki Rasulullah saw merapat dan merenggang ketika sujud, kedua-duanya adalah daif, sehingga keduanya tidak bisa dijadikan hujah. 
3.    Karena tidak ada satupun informasi yang sahih mengenai hal ini, maka dapat dipilih posisi manapun yang nyaman untuk dilakukan.

Wallahu a’lam bish-shawab.*M-Rf)

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Hewan Sembelihan untuk Selamatan

$
0
0


yang Digunakan untuk Selamatan


Pertanyaan Dari:
Saudara Edi, PCM Geyer
(disidangkan pada hari Jum’at, 7 Jumadilawal 1433 H / 30 Maret 2012)


Pertanyaan:

As-Salamu ‘alaikum wr. wb.
Hewan sembelihan yang digunakan untuk selamatan 3 hari, 7 hari dan lain-lain, halal atau haram?
Terimakasih.


Jawaban:

Wa ‘alaikumus-salam wr. wb.
Terima kasih kami ucapkan atas pertanyaan saudara. Pada dasarnya, memakan daging sembelihan itu dibolehkan (mubah), karena segala sesuatu yang ada di bumi ini boleh untuk dimakan dan boleh untuk digunakan selama tidak ada dalil al-Qur’an atau al-hadis yang melarangnya, sebagaimana kaidah usuliyah:

اَلْاَصْلُ فِي اْلاَشْيَاءِ اْلاِبَاحَةُ
Artinya: Asalnya sesuatu itu mubah/boleh.”

 Adapun  yang saudara tanyakan itu mengenai memakan daging sembelihan yang digunakan untuk selamatan 3 hari, 7 haridan lain-lain. Sedangkan upacara selamatan tiga hari, lima hari, tujuh hari, dan seterusnya itu adalah sisa-sisa pengaruh budaya animisme, dinamisme, serta peninggalan ajaran Hindu yang sudah begitu mengakar dalam masyarakat. Tahlilan atau selamatan merupakan budaya agama Hindu, hal ini dibuktikan dengan ungkapan syukur pendeta dalam sebuah acara berikut ini:

“Tahun 2006 silam bertempat di Lumajang, Jawa Timur, diselenggarakan kongres Asia para penganut agama Hindu, Salah satu poin penting yang diangkat adalah ungkapan syukur yang cukup mendalam kepada Tuhan mereka, karena bermanfaatnya salah satu ajaran agama mereka yakni peringatan kematian pada hari 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 40, 100, 1000 dan hari matinya tiap tahun yang disebut geblake dalam istilah Jawa, untuk kemaslahatan manusia yang terbukti dengan diamalkannya ajaran tersebut oleh sebagian umat Islam.”

Selain itu, karena hal semacam ini ada hubungan dengan ibadah, maka kita harus kembali kepada tuntunan Islam. Dan terkadang upacara semacam itu harus mengeluarkan biaya yang besar, yang kadang-kadang harus meminjam uang kepada tetangga atau saudaranya, sehingga selamatan ini akan semakin memberatkan pihak keluarga si mayit.

Muhammadiyah pernah menetapkan hukum tahlilan ini dalam fatwa tarjih yang dimuat pada Majalah Suara Muhammadiyah No. 11 tahun 2003, bahwa upacara yang dikaitkan dengan tujuh hari kematian, atau empat puluh hari atau seratus hari dan sebagainya, sebagaimana dilakukan oleh pemeluk agama Hindu, ditambah lagi harus mengeluarkan biaya besar, sehingga terkesan tabzir (berbuat mubazir) itu dilarang, karena tidak ada dalil al-Qur’an dan hadis Nabi saw yang menjelaskan kebolehannya. Senada dengan itu, pada fatwa tarjih yang dimuat dalam Majalah Suara Muhammadiyah No. 24 tahun 2005, bahwa setelah jenazah selesai dimakamkan, tuntunan Rasulullah saw yang ada adalah tentang pemberian tanda dengan batu atau benda lain yang tahan lama, berdoa kepada Allah memohon kebaikan kepada kedua orang tua yang sudah meninggal dan ziarah kubur. Selain itu tidak ditemukan tuntunandari Nabi saw di dalam hadis-hadis yang maqbul.

Pada masa Rasulullah saw pun perbuatan semacam itu dilarang. Pernah beberapa orang Muslim yang berasal dari Yahudi, yaitu Abdullah bin Salam dan kawan-kawannya, minta izin kepada Nabi saw untuk memperingati dan beribadah pada hari Sabtu, sebagaimana dilakukan mereka ketika masih beragama Yahudi.Tetapi Nabi Muhammad saw tidak memberikan izin, dan kemudian turunlah ayat:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” [QS. al-Baqarah (2):208]

Dalam syari’at Islam, ketika ada orang yang meninggal dunia, seharusnya kita bertakziyah/melayat dan mendatangi keluarga yang terkena musibah kematian dengan membawa bantuan/makanan seperlunya sebagai wujud bela sungkawa. Hal ini seperti yang pernah diajarkan Nabi saw ketika Ja'far bin Abi Thalib syahid dalam medan perang, Nabi saw menyuruh kepada para sahabat untuk menyiapkan makanan bagi keluarga Ja'far, bukan datang ke rumah keluarga Ja'far untuk makan dan minum, seperti sabda Nabi saw:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ: لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفرٍ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَإصْنَعُوْالِأهْلِجَعْفَرٍطَعَامًافَإِنَّهُقَدْجَاءَهُمْمَا يُشْغِلُهُمْ. [أخرجه أبو داود والترمذي]

Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Ja’far, ia berkata: Ketika datang berita kematian Ja’far, Rasulullah saw bersabda: ‘Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena telah datang suatu urusan yang menyibukkan mereka’.” [HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi]

Selain itu, makan hidangan yang berasal dari upacara selamatan 3 hari, 7 hari, hal ini termasuk dari nihayah (ratapan), sebagaimana dalil-dalil berikut ini:
1.      Hadist mauqûfatau âtsar yang sahih:

عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ اْلبَجَلِي قَالَ: كُنَّا نَرَىاْلإجْتِمَاعَ إِلَي أهْلِ الْمَيِّتِ وَ صَنْعَةُ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ.  [رواه ابن ماجه]

Artinya: “Diriwayatkan dari sahabat Jarir bin Abdullah al-Bajaly dia berkata: Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul dirumah keluarga mayit serta menghidangkan makanan merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” [HR. Ibnu Majah]

2.      Dalam kitab Mushannif Ibnu Abi Syaibah hal 291 dengan susunan sanad yang sahih disebutkan:

عَنْ طَلْحَةَ، قَالَ: قَدِمَ جَرِيرٌ عَلَى عُمَرَ، فَقَالَ: هَلْ يُنَاحُ قِبَلَكُمْ عَلَى الْمَيِّتِ؟ قَالَ: لاَ، قَالَ: فَهَلْ تَجْتَمِعُ النِّسَاءُ عِنْدَكُمْ عَلَى الْمَيِّتِ وَيُطْعَمُ الطَّعَامُ؟ قَالَ: نَعَمْ، فَقَالَ: تِلْكَ النِّيَاحَةُ.

Artinya:“Diriwayatkan dari Thalhah ia berkata: Jarir mendatangi Umar. Umar berkata:Apakah kamu sekalian suka meratapi mayit? Jarir menjawab: Tidak. Umar berkata: Apakah di antara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya? Jarir menjawab: Ya. Umar berkata: Hal itu sama dengan niyahah (meratap)”.

3.      Dalam atsar lain yang juga sahih menyebutkan:

حَدَّثَنَا وَكِيعُ بْنُ الْجَرَّاحِ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ هِلاَلِ بْنِ خَبَّابٍ، عَنْ أَبِي الْبَخْتَرِيِّ، قَالَ: الطَّعَامُ عَلَى الْمَيِّتِ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ وَالنَّوْحُ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ.

Artinya: “Diceritakan oleh Waki’ bin Jarrah dari Sufyan, dari Hilal bin Khabbab, dari Abi al-Bakhtari, ia berkata: Makanan atas mayit itu termasuk perbuatan jahiliyah dan niyahah (ratapan) itu termasuk perbuatan jahiliyah.

Dalam kaidah usuliyah juga disebutkan:

لِلْوَسَائِلِ حُكْمُ اْلمَقَاصِدِ
Artinya: “Hukum sarana itu menyesuaikan maksud atau tujuannya.”

Jadi,dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya, bisa jadi daging sembelihan tersebut halal secara zatnya, karena tetap disembelih dengan menyebut nama Allah, namunkarena maksud atau tujuan dari penyembelihan tersebut adalah untuk dihidangkan padaupacara selamatan tiga hari, tujuh hari, dan seterusnya, maka penyembelihan tersebut tidak dapat dibenarkan, sehingga daging hewan yang disembelih pun tidak boleh dimakan. Penyembelihandan menghidangkan daging hewan sembelihan untuk upacara selamatan tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam, karena tuntunan Nabi saw justru menganjurkan kita membawa makanan pada keluarga yang berduka, bukan sebaliknya, yaitu makan-makan di rumah keluarga yang berduka. Bahkan hal tersebut jugatermasuk dalam kategori niyahah (ratapan) yang dilarang.

Oleh karena itu, sebagai langkahuntuk ihtiyat (berhati-hati), lebih baik memakan daging dari hewan yang disembelihuntuk acara selamatan itu tidak dilakukan.
Wallahu a’lam bish-shawab. putmpi*)

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Mahram

$
0
0

Pertanyaan Dari:
Mirman Lasyahouza Dafinsyu, syahboy93@gmail.com,
SMA Muhammadiyah Bangkinang
(disidangkan pada hari Jum’at, 9 Jumadilakhir 1432 H / 13 Mei 2011 M)


 Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum w.w.
Pak saya seorang pelajar berumur 17 tahun, yang ingin saya tanyakan adalah selain keluarga saya, siapa saja yang termasuk muhrim saya?
Terima kasih atas penjelasannya.
Wassalamu ‘alaikum w.w.

Jawaban:

Sebelumnya kami lebih dulu mengingatkan bahwa kata “muhrim” dalam bahasa Arab berarti “orang yang sedang berihram”, sedangkan yang dimaksud oleh penanya dalam bahasa Arab disebut “mahram”. Mahram adalah orang perempuan atau laki-laki yang masih termasuk sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah di antara keduanya.
Dari definisi di atas, dapat diketahui bahwa hubungan mahram dapat terjadi karena tiga sebab, yaitu:

1.      Mahram sebab Keturunan
Orang-orang yang termasuk mahram sebab keturunan ada tujuh, sebagaimanafirman Allah:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isteri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 
[QS. an-Nisâ’ (4):23]

Berdasarkan ayat di atas, dapat diketahui bahwa orang-orang yang termasuk mahram, yaitu yang tidak boleh dinikahi dengan sebab keturunan ada tujuh golongan, yaitu:
1.      ibu-ibumu;
2.      anak-anakmu yang perempuan
3.      saudara-saudaramu yang perempuan;
4.      saudara-saudara ayahmu yang perempuan;
5.      saudara-saudara ibumu yang perempuan;
6.      anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
7.      anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan
Anak akibat dari perzinahan termasuk mahram, dengan berdalil pada keumuman firman Allâh; “...anak-anakmu yang perempuan[QS.An-Nisâ’ (4): 23].

2.      Mahram sebab Susuan
Mahram sebab susuan ada tujuhgolongan, sama seperti mahram sebab keturunan, tanpa pengecualian. Inilah pendapat yang dipilih setelah ditahqiq(ditelliti) oleh al-Hâfizh 'Imâdud-Din Ismâ'il bin Katsir [Tafsirul-Qur’ânil-Azhim, 1/511].

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ :قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بِنْتِ حَمْزَةَ لَا تَحِلُّ لِي يَحْرُمُ مِنْ الرَّضَاعِمَا يَحْرُمُ مِنْالنَّسَبِهِيَ بِنْتُ أَخِي مِنْ الرَّضَاعَة.
 [رواه البخاري]

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, dia berkata bahwa Nabi saw bersabda tentang putri Hamzah: “Dia tidak halal bagiku, darah susuan mengharamkan seperti apa yang diharamkan oleh darah keturunan, dan dia adalah putri saudara sepersusuanku (Hamzah)".”[HR. al-Bukhâri]

Al-Qur'ân menyebutkan secara khusus dua bagian mahram sebab susuan, yaitu yang terdapat pada QS.an-Nisâ’ (4): 23:

وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ...
(1) dan ibu-ibumu yang menyusui kamu;
(2)dan saudara-saudara perempuan sepersusuan.


3.      Mahram sebab Perkawinan
Mahram sebab perkawinan ada enam golongan, yaitu
a.    "Dan ibu-ibu istrimu (mertua)"[QS.an-Nisâ’ (4): 23]
b.    "Dan istri-istri anak kandungmu (menantu)"[QS.an-Nisâ’ (4): 23]
c.    "Dan anak-anak istrimu yang dalam pemelihraanmu dari istri yang telah kamu campuri"[QS.an-Nisâ’ (4): 23]
Menurut Jumhur Ulama, termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaan seseorang mempunyai hubungan mahramdengannya. Anak tiri menjadi mahram jika ibunya telah dicampuri, tetapi jika belum dicampuri maka dibolehkan untuk menikahi anaknya setelah bercerai dengan ibunya. Sedangkan ibu dari seorang perempuan yang dinikahi menjadi mahram hanya sebab akad nikah, walaupun si puteri belum dicampuri, kalau sudah akad nikah maka si ibu haram dinikahi oleh yang menikahi puterinya.
d.    "Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri)"[QS.an-Nisâ’ (4): 22]
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آَبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ.
Wanita yang dinikahi oleh ayah menjadi mahram bagi anak ayah dengan hanya aqad nikah, walaupun belum dicampuri oleh ayah, maka anak ayah tak boleh menikahinya.
e.    "Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara"[QS.an-Nisâ’ (4): 23]
Rasulullah saw melarang menghimpunkan dalam perkawinan antara perempuan dengan bibinya dari pihak ibu, dan menghimpunkan antara perempuan dengan bibinya dari pihak ayah. Nabi saw bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَعَمَّتِهَا وَلَا بَيْنَ الْمَرْأَةِ وَخَالَتِهَا . [رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw bersabda: ‘Tidak boleh perempuan dihimpun dalam perkawinan antara saudara perempuan dari ayah atau ibunya’.” [HR. Muslim]

f.     "Dan diharamkan juga kamu mengawini wanita yang bersuami"[QS.an-Nisâ’ (4): 24]

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاء
 Mahram disebabkan keturunan dan susuan bersifat abadi, begitu pula mahram disebabkan pernikahan. Kecuali menghimpun dua perempuan bersaudara, menghimpun perempuan dengan bibinya, yaitu saudara perempuan dari pihak ayah atau ibu, bila yang satu meninggal dunia maka boleh menikah dengan yang lain, karena bukan menghimpun dalam keadaan sama-sama masih hidup. Usman bin Affan menikahi Ummu Kulsum setelah Ruqayyah wafat, kedua-duanya adalah anak Nabi saw.
Demikianlah perempuan-perempuan yang termasuk mahram yang tidak boleh dinikahi oleh seorang laki-laki. Adapun perempuan-perempuan yang selain di atas adalah bukan mahram, sehingga halal dinikahi.

وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِين
Artinya: "Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina"[QS.an-Nisâ’ (4): 24].


Ada beberapa ketentuan dalam agama Islam yang berkaitan dengan mahram, selain dari larangan menikahi. Di antaranya batasan aurat perempuan bagi mahram abadi adalah seluruh badan selain wajah, kepala, leher dan betis (di bawah lutut). Sedangkan untuk mahram mu’aqqat (tidak abadi) adalah seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan. Aurat laki-laki bagi mahram dan selain mahram adalah antara pusar dan lutut.

Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT.

 َقُلْ لِلْمُؤمِنِيْنَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْ ذلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَايَصْنَعُوْنَ وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلاَيُبْدِيْنَ زِيْنًتَهُنَّ إِلاَّ مَاظَهَرَ مِنْهَا ...  
Artinya: “Katakanlah olehmu (wahai Muhammad) kepada para lelaki mukmin, hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah maha Mengetahui pada apa-apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada para wanita mukmin, hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka dan tidak menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa tampak darinya ...” [QS.an-Nûr (24):30]

Dan hadits Nabi Muhammad saw:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَسْمَاء "يَا أَسْمَاء !إِنَّ المَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمََحِيْضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هذَا وَهذَا"وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ . [أخرجه أبو داود]
Artinya: “Rasulullah saw bersabda kepada Asma’: “Wahai Asma’! sesungguhnya seorang perempuan yang sudah haid tidak boleh dilihat darinya kecuali ini dan ini” dan dia mengisyaratkan kepada wajah dan kedua telapak tangannya.” [HR. Abu Dawud]

Di samping itu, pada dasarnya setiap orang tidak dilarang berduaan dengan mahramnya, namun akan lebih baik jika dia mengusahakan untuk tidak pernah berduaan dalam suatu kamar, khususnya dengan mahram mu’aqqat (ipar atau bibi istri) untuk suatu hal yang tidak penting, demi menyelamatkan diri dari fitnah.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam bish-shawab. *L.Sy)


Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Hukum Menghias Masjid dengan Kaligrafi Al-Qur'an

$
0
0
Hukum Menghias Masjid dengan Kaligrafi Al-Qur'an

Pertanyaan Dari:
a.n. Ta’mir Masjid al-Islah, Jl. Nyi Adisari No 740 Pilahan Kotagede Yogyakarta
(disidangkan pada hari Jum’at, 17 Zuhijjah 1433 H / 2 November 2012 M)



Pertanyaan:

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Kami ingin konsultasi masalah agama kepada Majelis Tarjih. Hal ini terkait rencana panitia masjid (takmir) yang berencana merenovasi sedikit bagian dalam masjid. Rencananya bagian yang akan direnovasi adalah bagian jendela yang terbuat dari kaca, dan kebetulan masjid kami tersebut di sebelah kanan imam terdapat jalan, jadi ketika shalat sedikit banyak mengganggu kekhusyukan dalam beribadah. Oleh sebab itu kami berencana mengganti jendela tersebut dengan jendela dari kayu dan rencananya di bagian jendela tersebut akan dihiasi dengan kaligrafi yang memuat asmaul-husna.

Permasalahan kami adalah: apakah boleh menghiasi masjid dengankaligrafi yang terdiri dari ayat-ayat al-Qur'an? Mohon diberikan penjelasan yang komprehensif. Terima kasih

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh.
Para pengurus ta’mir Masjid al-Islah Kotagede yang dirahmati Allah swt. Pada prinsipnya, menulis ayat-ayat al-Qur’an atau penggalan ayat tertentu yang memiliki pesan untuk mengajak seseorang salat berjamaah, khusyuk dalam beribadah, menjaga etika di rumah Allah (masjid) dengan menulisnya di dinding masjid, atau menggunakan media tertentu seperti kaca, kayu dan sejenisnya lalu ditempel di dinding masjid merupakan hal yang mubah (boleh) hukumnya. Bahkan menulis ayat dan hadis tertentu dengan maksud memberikan motivasi ibadah, syi’ar Islam serta agar masjid terlihat indah dengan kaligrafi yang bagus, termasuk persoalan yang diperbolehkan. Islam disamping memperhatikan aspek hukum, juga sangat memperhatikan aspek etika dan estetika.
Bahkan jika dibaca tentang sejarah awal pemeliharaan al-Qur’an hingga pengumpulan dan penulisannya sejak masa Rasulullah saw hingga masa al-Khulafa’ ar-Rasyidun, para sahabat menjaga al-Qur’an dengan dua metode sekaligus, yaitu metode menghafal (al-jam’u fi ash-Shudur), dan metode penulisan al-Qur’an (al-jam’u fi ash-shuthur) baik di pelepah kurma, bebatuan, dedaunan hingga  kulit binatang yang sudah disamak. Hal tersebut dilakukan oleh para sahabat dan juru tulis wahyu (kuttab an-Nabi/kuttab al-wahyi), sebagaimana dijelaskan dalam riwayat berikut ini:

حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَنْ جَمَعَ الْقُرْآنَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرْبَعَةٌ كُلُّهُمْ مِنْ الْأَنْصَارِ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ وَمُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَأَبُو زَيْدٍ.[رواه البخاري ومسلم]

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Umar, telah menceritakan kepada kami Hammam, telah menceritakan kepada kami Qatadah, (ia) berkata; saya telah bertanya kepada Anas bin Malik ra., siapakah orang yang telah mengumpulkan al-Qur’an pada masa Nabi saw? Anas menjawab: ada empat orang seluruhnya dari kaum Anshar, yaitu; Ubai bin Ka’ab, Muaz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah mengusulkan dan menyarankan kepada Abu Bakar ash-Shiddiq untuk mengumpulkan dan membukukan (memushafkan) al-Qur’an agar tidak hilang seiring dengan banyaknya para huffazh (para penghafal al-Qur’an) yang meninggal baik saat peperangan maupun lainnya. Dengan pertimbangan yang sangat matang dan berat akhirnya Abu Bakar menerima usulan Umar untuk mengumpulkan dan menulis kembali al-Qur’an dengan memerintahkan beberapa sahabat juru tulis wahyu pada Nabi saw., dengan menjadikan Zaid bin Tsabit sebagai penanggung jawabnya. Dengan pertimbangan yang sangat mendalam pula, akhirnya Zaid bin Tsabit menerima usulan Abu Bakar tersebut, lalu beliau mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai sumber, antara lain sebagaimana dijelaskan dalam penggalan riwayat al-Bukhari berikut ini:

... ... قَالَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَعُمَرُ عِنْدَهُ جَالِسٌ لَا يَتَكَلَّمُ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّكَ رَجُلٌ شَابٌّ عَاقِلٌ وَلَا نَتَّهِمُكَ كُنْتَ تَكْتُبُ الْوَحْيَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ... ... فَقُمْتُ فَتَتَبَّعْتُ الْقُرْآنَ أَجْمَعُهُ مِنْ الرِّقَاعِ وَالْأَكْتَافِ وَالْعُسُبِ وَصُدُورِ الرِّجَالِ. [رواه البخاري]

Artinya: “… ... Zaid bin Tsabit berkata dan Umar duduk bersamanya tanpa bicara sedikitpun. Lalu Abu Bakar berkata (kepada Zaid bin Tsabit): sesungguhnya engkau adalah seorang yang muda belia, cerdas dan kami tidak menyangsikanmu sedikitpun. Engkau telah menulis wahyu bagi Rasulullah saw … … lalu saya berdiri (menerima amanah tersebut), lalu saya mencari dan mengumpulkan al-Qur’an dari kulit-kulit binatang (yang sudah disamak), tulang-tulang, pelepah-pelepah kayu (kurma) dan dari hafalan para sahabat. [HR. al-Bukhari]

Salah satu kesimpulan yang dapat dipetik dari riwayat tersebut adalah tentang kebolehan menulis ayat al-Qur’an baik pada pelepah kayu (papan dan sejenisnya), kulit dan tulang binatang yang halal dimakan seperti sapi dan kambing dan media lainnya. Namun, sekalipun menulis kaligrafi berupa ayat-ayat al-Qur’an atau kalimat-kalimat yang terkait dengan nama dan sifat-sifat Allah swt. (al-Asma’ al-Husna) diperbolehkan secara syar’i, tetapi yang harus diperhatikan ta’mir masjid al-Islah khususnya dan umat Islam pada umumnya adalah hendaknya media yang digunakan untuk menulis ayat al-Qur’an tersebut harus dipastikan kesuciannya (bukan barang najis), diletakkan pada posisi yang tepat dan terhormat (bukan di kamar mandi dan sejenisnya), dan tidak berlebihan sehingga membuat jamaah terganggu kekhusyukannya dalam melaksanakan salat.
Terkait dengan tempat yang dilarang untuk menulis ayat al-Qur’an maupun tulisan-tulisan yang terdapat nama-nama Allah dan Rasul-Nya sebagaimana penjelasan di atas adalah kamar mandi, WC dan sejenisnya. Hal ini dapat difahami dari spirit hadis Nabi saw. sebagai berikut:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْخَلَاءَ نَزَعَ خَاتَمَهُ. [رواه الترمذي والنسائي وأبوداود وابن ماجة]

Artinya: “Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata: adalah Rasulullah saw apabila masuk ke kamar kecil beliau menanggalkan cincinnya (yang bertuliskan Muhammad Rasulullah).” [HR. at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Majah]

Ketika menjelaskan matan hadis tersebut, para ulama menyatakan bahwa hadis ini merupakan dalil tentang larangan membawa, menyebut maupun menuliskan nama-nama Allah, Rasulullah dan al-Qur’an. Sedangkan Ibnu Hajar berpendapat tentang kesunnahan untuk tidak membawa (termasuk tulisan) atau menyebutkan seluruh nama dan sifat-sfat Allah, nama para Nabi dan Malaikat, namun jika hal itu dilanggar maka hukumnya makruh.

Dari penjelasan tersebut, maka langkah yang ditempuh oleh pihak ta’mir Masjid al-Islah untuk menutup bagian masjid yang dapat mengganggu kekhusyukan salat merupakan langkah yang sangat tepat. Adapun solusi yang ditempuh dengan membuat jendela yang diukir dengan kaligrafi al-asma’ al-husna maupun ayat-ayat al-Qur’an pada prinsipnya hukumnya mubah (boleh) dengan memperhatikan aspek-aspek etika, estetika dan hukum sebagaimana dijelaskan di atas.

Wallahu a’lam bish-shawab.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Hukum Wanita Bernyanyi di Hadapan Bukan Mahram

$
0
0
Bolehkah Wanita Bernyanyi 
di Hadapan Orang Bukan Mahram

Pertanyaan Dari:
Miftahul Ajri, Suryowijayan, Yogyakarta


Pertanyaan:
Assalamu'alaikum wr. wb.
Bolehkah wanitamenyanyi dihadapan orang yang bukan mahramnya? Kalau diperbolehkan,menyanyi yang seperti apa?
Terima kasih.
Wassalamu’alaikum w. w.

Jawaban:
Terimakasih atas pertanyan saudari. Hal serupa pernah ditanyakan kepada kami dan telah dimuat penjelasannya pada buku Tanya Jawab Agama jilid 5, halaman 214-218, cetakan Januari 2006, oleh penerbit Suara Muhammadiyah. Kami akan sedikit memaparkannya kembali dengan menambahkan beberapa penjelasan terkait.

Apa yang seperti saudari kemukakan biasanya berangkat dari asumsi yang sering muncul yaitu, apakah suara perempuan itu aurat atau bukan? Aurat secara bahasa berarti celah atau lubang yang menyebabkan sesuatu tidak seimbang. Ulama mendefinisikannya dengan bagian-bagian tubuh laki-laki dan perempuan dengan batasan yang dikaitkan dengan jenis (lelaki atau perempuan), umur seseorang, dan perempuan itu sendiri yang dinisbahkan pada mahram atau non mahram (Asy-Sarh ash-Shaghir, 1: 283). Istilah mahram mengacu pada kata  haram. Maksudnya, perempuan atau laki-laki yang haram untuk dinikahi. Ulama lain, al-Khatib asy-Syarbini mendefinisikan aurat dengan sesuatu yang diharamkan untuk dilihat (Mughni al-Muhtaj, 1: 185).

Seorang perempuan dibolehkan terlihat sebagian auratnya di depan laki-laki yang menjadi mahram baginya serta di depan sesama muslimah. Kepada laki­laki yang bukan mahram, juga dengan sesama wanita tapi bukan muslimah, maka yang boleh terlihat hanya wajah dan kedua tapak tangannnya saja. Sebaliknya, di depan suami sendiri seorang wanita dibolehkan terlihat seluruh bagian tubuhnya. Artinya halal dan sah.

Mengenai suara perempuan itu aurat atau bukan, sepengetahuan kami tidak pernah ditemukan dalil yang menunjukkan bahwa suara wanita adalah aurat. Realitas sejarah kehidupan para sahabat menunjukkan, bagaimana para sahabat (baik lelaki maupun perempuan) berinteraksi dengan  para istri Nabi saw, bertanya mengenai suatu permasalahan, saling memberikan fatwa, dan meriwayatkan Hadis. Tentu interaksi mereka dilandasi dengan adab dan akhlak yang baik. Bahkan Aisyah r.a sendiri termasuk sahabat kedua yang paling banyak meriwayatkan Hadis.

Jika ditelisik dalam al-Qur’an dan Hadis, banyak sekali ayat dan riwayat yang  menganjurkan agar kita menjadi estetikus, manusia yang menghargai estetika (keindahan) segala ciptaan Allah SWT. Beberapa di antaranya sebagai berikut:



Artinya: “Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan. Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan.[QS. an-Nahl (16): 5-6]



Artinya: “(Dialah) yang membuat segala sesuatu (dengan) sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. [QS. al-Infithar (82): 7]


Artinya: “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.[QS. al-Baqarah (2): 29]

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ، عَنِ النَّبِيِّ قَالَ:لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ.قَالَرَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا، وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قَالَ: إِنَّ اللهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ. الْكِبْرُ: بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ. [رواه مسلم ]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi saw beliau bersabda: Tidak akan masuk surga siapa yang di dalam hatinya ada kesombongan meski (porsinya) kecil. Berkata seorang lelaki: (Kalau) ada seseorang yang menyukai pakaian dan sandalnya bagus. Nabi bersabda: Sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan, sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia (lain).[HR. Muslim]

Melalui dalil-dalil di atas, Islam  menganjurkan  umatnya untuk menghargai keindahan, sehingga diperlukan sarana pengungkapan atau penyaluran ekspresi tersebut. Oleh karena itukita mengenal seni sastra hingga seni musik yang menjadi sarana ekspresi keindahan bunyi, suara, sebagaimana manusia diberikan anugerah indera pendengaran.

Nyanyian dalam Islam termasuk dalam kategori masalah duniawi sehingga berlaku kaidah fiqhiyah“Pada dasarnya segala sesuatu itu mubah (diperbolehkan) hingga terdapat dalil yang melarangnya”, kaidah ini disimpulkan dari ayat 29 surat al-Baqarah di atas. Para  ahli hukum Islam memasukkan kebutuhan terhadap seni secara umum, khususnya lagu, ke dalam kategori mashlahah tahsiniyah, yaitu kebutuhan (hidup) yang apabila tidak terpenuhi, tidak akan mengakibatkan seseorang terancam hidupnya, mengalami kesengsaraan dan kesulitan. Penjelasan demikian tidak berlebihan jika kita membaca riwayat Hadis di atas. Selain itu terdapat sebuah riwayat berikut:

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ ذَكْوَان قَالَ: قَالَتِ الرُّبَيِّعُ بِنْتُ مُعَّوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ: جَاءَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ حِينَ بُنِيَ عَليّ فَجَلسَ عَلَى فِراشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي، فَجَعَلَتْ جُوَيْرِيَاتٌ لَنَا يَضْرِبْنَ بالدُفِّ وَيَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِي يَوْمَ بَدْرٍ، إِذْ قَالَتْ إِحْدَاهُنَّ: وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدِ، فَقَالَ: دَعَي هَذِهِ وَقَوْلِي بِالَّذِيِ كُنْتِ تَقُولِينَ.[رواه البخارى]

Artinya: “Menceritakan pada kami Musaddad (dari) Bisyr bin Mufadhal (dari) Khalid bin Dzakwan: Rubayyi’ binti Mu’awwidz bin Afra’ berkata: Nabi saw datang (menghadiri pesta nikah) lalu duduk (di tempat yang sama ketika) aku (dulu) menikah (sehingga) aku dan Nabi saling berhadapan. (Lalu) beberapa wanita membawakan nyanyian disertai iringan tambor  untuk mengenang keluarganya yang mati syahid di Badar. Salah seorang wanita (penyanyi) tersebut mengatakan bahwa (di depan mereka) ada Rasul yang mengetahui apa yang terjadi hari esok. Rasul bersabda: Jauhi meramal dan teruslah bernyanyi.[HR. al-Bukhari]

Seni suara sebagai ekspresi keindahan pada diri manusia, dengan demikian tidak dapat dikatakan bertentangan dengan agama. Namun perlu diperhatikan bagaimana suatu seni disajikan. Setiap karya memiliki unsur tekstual dan visual. Apabila teks (isi) nyanyian tersebut mengajak orang kepada kemaksiatan atau dibawakan oleh seseorang, misalkan wanita, dengan pakaian yang bertentangan dengan ajaran Islam, maka terlarang.  Di sini yang dilarang bukan nyanyiannya sebagai suatu ekspresi seni semata, melainkan cara-cara penampilan (visual) dan isinya (tekstual) yang membawa kepada kemaksiatan, yaitu perbuatan-perbuatan di luar ketaatan kita kepada Allah atau hal-hal yang diharamkan oleh Allah (Ushul Bazdawi, 3: 200)

Dalam khazanah fikih klasik, para ulama fikih memang sebagian besar mengharamkan nyanyian. Imam asy-Syafi’i mengatakan bahwa nyanyian adalah permainan yang sia-sia (lahw) yang mirip kebatilan. Orang yang banyak mendengarkannya menjadi orang tolol dan kesaksiannya di depan hakim tidak sah. Murid-muridnya mengharamkan mendengar wanita menyanyi. Imam Abu Hanifah menganggap nyanyian itu dosa (Ihya’ Ulumiddin, 2: 1121-1122). Ibnu Qudamah dari mazhab Hanbali menyatakan, memainkan alat musik seperti gambus, genderang, gitar, rebab, seruling, dan lainnya adalah haram. Kecuali duff (tambor), karena Nabi saw membolehkan di pesta pernikahan dan di luarnya sebagaimana riwayat di atas (al-Mughni, 3: 40-41). Pandangan para ulama ini sesuai dengan situasi zaman mereka dan keadaan bagaimana nyanyian pada waktu itu disuguhkan.

Keharaman nyanyian biasanya dihubungkan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang ditafsirkan pada satu makna saja. Sebagai contoh yang dijadikan dalil untuk mengharamkan nyanyian adalah firman Allah berikut:

 Artinya: “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.[QS. Lukman (31): 6]

Kata-kata “perkataan yang tidak berguna” (Lahw al-Hadits) di atas ditafsirkan sebagai nyanyian sebagaimana pendapat sahabat Ibnu Umar ra., Ibnu Mas’ud ra., Ibnu Abbas ra., serta Ikrimah dan Mujahid dari tabi’in. Perlu dipahami bahwa: pertama; selain dimaksudkan sebagai nyanyian, masih ada penafsiran lain yaitu kabar, berita, kisah-kisah asing tentang para raja Romawi sebagaimana pernah diceritakan oleh seorang musyrik Quraisy, Nadhar bin al-Harits pada penduduk Mekah sehingga melalaikan mereka dari al-Qur’an, kedua; penafsiran sahabat tidak dapat dihukumi marfu’(setara berasal dari Nabi) kecuali terkait dengan sebab turunnya suatu ayat (asbab nuzul). Sekalipun ada yang menghukuminya marfu’, tapi terkategorikan pada marfu’ fi’lan (perbuatan) yang tidak dapat digunakan sebagai landasan perbedaan pendapat dalam hal ini. Ayat di atas secara eksplisit tidak mengerucut mencela pada penyanyi, pemusik, dan yang melakukan perbuatan sia-sia. Tapi mencela dan mengancam siapa yang memperjualbelikannya untuk menyesatkan manusia lain dari jalan Allah, membawa kepada kemaksiatan, dan untuk sekedar olok-olokan. (Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh al-Ghina’ wal-Musiqa: 30). Penafsiran Ibnu Umar dan Ibnu Abbas adalah pemahaman mereka terhadap ayat al-Qur’an, di mana para sahabat lain juga mempunyai pemahaman yang berbeda, di antaranya Umar bin al-Khatab ra., Utsman bin Affan ra., Abdurrahman bin Auf ra., dan Abdullah bin az-Zubair ra. Oleh karena itu, perkataan baik yang tidak membawa pada arah kesesatan dan kemaksiatan, tidak termasuk dalam larangan ayat di atas.

Banyak riwayat (kurang lebih sekitar 15 buah, sebagaimana dikumpulkan oleh Yusuf al-Qaradhawi) yang digunakan oleh mereka yang mengharamkan musik. Di antaranya adalah riwayat berikut:

قَالَ هِشَامُ بْنُ عَمَارٍ(بِسَنَدِهِ إِلَى) أَبِى عَامِرٍ أَوْأَبُو مَالِكٍ الْأشْعَرِيسَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَالْحِرَ وَاْلحَريرَ وَالْخَمْرَ وَاْلمَعَازِفَ. [رواه البخارى]

Artinya: “Berkata Hisyam bin Amar (dengan sanadnya sampai kepada) Abi Amir atau Abu Malik al-Asy’ari (yang) mendengar Nabi saw bersabda: Sungguh akan ada di antara umatku, kaum-kaum yang akan menghalalkan zina, sutera, khamr dan alat­alat yang melalaikan.” [HR. al-Bukhari]

Hadis  di atas terdapat dalam Shahih al-Bukhari, maka sisi kesahihannya tidak ada  masalah. Sanadnya sahih meski ada sebagian ulama Hadis yang masih meragukannya karena termasuk dari “mua’llaqat” (putus, gugur rawinya seorang atau lebih pada awal sanadnya). Keterputusan ada pada sosok Hisyam bin Amar. Ibnu Hajar al-Asqalani telah mencoba menguat-sambungkan sanad ini dengan sekitar 9 jalur, tapi kesemuanya mengarah pada sosok Hisyam bin Amar ini, meski terkenal sebagai ulama bagi penduduk Damaskus, dikuatkan oleh Ibnu Ma’in. Namun Abu Dawud mengomentarinya,bahwa ia pernah meriwayatkan sekitar 400 hadis yang tidak berasal-usul. Ibnu Hatim menilainya benar, tapi sering berubah (shaduq wa qad taghayyara), an-Nasa’i menilai tidak mengapa (la ba’sa bihi, -tapi ini ungkapan melemahkan dalam kajian kritik hadis-), dan oleh Imam adz-Dzahabi dikomentari bahwa ia benar tapi banyak yang menilainya mungkar. Imam al-Bukhari pun hanya memasukkan dua hadis dari sosok perawi ini dalam kitab Shahih-nya. Dan dari obyektifitas (amanah dan kefakihannya), Imam al-Bukhari memberi judul bab dimana terdapat riwayat ini dengan “Bab Tentang Menghalalkan Khamr dan Menamakannya dengan Nama Lain. Artinya, ia tidak akan menyebutkan secara eksplisit, misalkan tentang bab khusus diharamkannya al-Ghina’ (musik-nyanyian).

Dari sisi istidlal (penalaran), teks Hadis di atas masih bersifat umum, tidak menunjuk alat­alat tertentu dengan namanya secara  spesifik dan eksplisit. Di kisaran inilah, para ulama berselisih pendapat. Dalil yang bersifat umum masih mungkin dipersoalkan bila secara langsung dijadikan landasan untuk mengharamkan sesuatu. Batasan yang ada dan disepakati adalah bila alat itu bersifat melalaikan. Apakah bentuknya alat musik atau bukan, para ulama berbeda pendapat. Oleh karena itu, Hadis-hadis yang ada dan sering digunakan oleh mereka yang mengharamkan musik-nyanyian dapat disimpulkan ternilai sahih tapi tidak eksplisit-detail menjelaskan, atau eksplisit-detail menjelaskan tapi tidak sahih, sehingga tidak dapat dijadikan dalil pengharamannya (Yusuf al-Qaradhawi, Fiqh al-Ghina’ wal-Musiqa: 63). Abu Bakar Ibnu al­Arabi dalam Ahkam al-Qur'an menguatkan, "Tidak ada satu pun dalil yang sahih untuk mengharamkan nyanyian.”

Pemaparan di atas menyimpulkan beberapa hal yang menjadi pendapat kami, yaitu pertama, suara perempuan bukanlah aurat, sehingga tidak ada halangan untuk didengar oleh orang yang bukan mahram; kedua, hukum musik-nyanyian-lagu adalah diperbolehkan (mubah) dengan syarat isinya tidak bertentangan dengan ketentuan agama, di antaranya tidak mengandung kata-kata yang menyesatkan dan menjurus pada kemaksiatan, serta biduan yang menyanyikan berpenampilan Islami, yakni menutup aurat dan tidak mengarah pada gerakan-gerakan erotis.

Wallahu a’lam bish-shawab. *mr.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Hukum Membuat Patung dan Melukis

$
0
0

Pertanyaan Dari:
Amrillah,dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah(IMM) Bali,
immbali2012@yahoo.com
(disidangkanpadahari Jum’at, 9Safar 1434 H / 21Desember 2012 M)

Pertanyaan:

Ada salah satu kader kita, dia adalah mahasiswa seni rupa di IKIP PGRI Bali, dia bertanya: Bagaimana hukum membuat patung dan melukis? Karena dia selalu ditakut-takuti akan dituntut oleh Allah untuk membuatkan nyawa terhadap keduanya. Mohon penjelasan.
 
Jawaban:

Terimakasih kepada saudara Amrillah yang telah menyampaikan pertanyaan kepada kami. Pertanyaan yang saudara ajukan tersebut sebenarnya sudah ada pembahasannya dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah pada bab Hukum Gambar (cetakan III hlm. 283) dan lebih lengkap lagi terdapat dalam Tanfidz Keputusan Munas Tarjih ke-23 di Banda Aceh tentang Kebudayaan dan Kesenian dalam Perspektif Islam halaman 1-12. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan serupa juga telah bayak ditanyakan oleh orang lain dan telah dijawab oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah lewat fatwa-fatwanya yang antara lain terdapat dalam Buku Tanya Jawab Agama I: Masalah Aqidah no. 10; II: Masalah kesenian dan Adat; V: Masalah Hukum Gambar dan Menggambar.

Dengan membaca referensi-referensi tersebut sebenarnya pertanyaan saudara sudah dapat terjawab dengan cukup lengkap. Namun untuk mempertegas dan memfokuskan kepada pertanyaan yang saudara ajukan, maka kami mencoba menyajikan kembali jawaban-jawaban tersebut yang sekiranya relevan dengan pertanyaan saudara di atas.

Mengenai hukuman di hari Kiamat bagi para pembuat patung dan lukisan yaitu diperintahkan untuk membuatkan nyawa kepada benda-benda tersebut, bersumber pada sebuah hadis Muttafaq ‘alaih (disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim) dari sahabat Ibnu Umar dengan lafal sebagai berikut,



عَنْ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الَّذِينَ يَصْنَعُونَ هَذِهِ الصُّوَرَ يُعَذَّبُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ لَهُمْ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ

Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya orang-orang yang membuat gambar-gambar ini akan disiksa di hari kiamat. Kepada mereka dikatakan: Hidupkanlah apa-apa yang kamu buat itu.”[HR. Muslim, II: 323; al-Bukhari, VII: 85, hadis no. 5957-8]

Jika dilihat secara parsial, yaitu dengan hanya melihat hadis tersebut, maka kesimpulan yang didapatkan akan mengarah kepada pengharaman pembuatan patung dan lukisan. Namun dalam hal ini, Majelis Tarjih menggunakan metode Istiqra’ Ma’nawi. Sebuah metode pengambilan hukum dengan cara mengumpulkan seluruh dalil-dalil yang sejenis dan mengkomparasikannya, sehingga akan menghasilkan sebuah hukum yang komprehensif tidak parsial.

Dalil-dalil lain yang sejenis dengan tema hadis diatas namun memiliki sudut pandang yang  berbeda antara lain adalah sebagai berikut:
Firman Allah swt dalam surat Saba’ (34): 13;



يَعْمَلُونَ لَهُ مَا يَشَاءُ مِنْ مَحَارِيبَ وَتَمَاثِيلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُورٍ رَاسِيَاتٍ.

Artinya: “Mereka (para jin itu) membuatkan untuknya (Sulaiman) apa yang ia kehendaki berupa gedung-gedung tinggi, tamatsil (patung-patung) dan piring-piring besar seperti kolam dan periuk yang tetap berada di tungkunya.” [QS. Saba’ (34): 13], (Tanya Jawab Agama V:225).

Hadis Nabi Muhammad saw:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ لِي صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِي فَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ مِنْهُ فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَيَّ فَيَلْعَبْنَ مَعِي.[رواه البخاري]

Artinya: Diriwayatkan dari Aisyah ra ia berkata: Aku selalu bermain boneka di dekat Nabi saw. Aku mempunyai beberapa orang teman yang bermain bersamaku. Apabila Rasulullah saw datang mereka bubar, lalu beliau mengumpulkan mereka untuk bermain kembali bersamaku.”[HR. al-Bukhari, VII: 133, hadis no. 6130]

Jika diperhatikan secara seksama, maka zahir-nya dalil-dalil di atas bertentangan satu sama lain. Yaitu, hadis pertama membicarakan tentang hukuman bagi pembuat gambar, namun ayat al-Qur’an dan hadis yang kedua menunjukkan kebolehan membuat dan mempunyai gambar dan boneka/patung. Oleh karena itu, dalam masalah ini Majelis Tarjih melakukan pengkompromian terhadap beberapa dalil yang nampak bertentangan tersebut. Hasilnya adalah sebagaimana yang terdapat dalam Himpunan Putusan Tarjih hlm. 281 yang menyatakan: gambar (dalam kasus ini termasuk juga patung) itu hukumnya berkisar kepada ‘illat(sebabnya), ialah ada 3 macam:
a.    Untuk disembah, hukumnya haram berdasarkan nash.
b.    Untuk sarana pengajaran hukumnya mubah.
c.    Untuk perhiasan ada dua macam: pertama, tidak dikhawatirkan mendatangkan fitnah, hukumnya mubah; kedua, mendatangkan fitnah ada dua macam: yang pertama, jika fitnah itu kepada maksiat hukumnya makruh, dan jika fitnah itu kepada musyrik hukumnya haram. (Tanya Jawab Agama V: 224).

Dari pemaparan di atas perlu kiranya kami menjelaskan dua istilah yang kami anggap penting untuk diketahui yaitu kata fitnah dan maksiat.

Fitnah dalam bahasa arab secara bahasa memiliki banyak makna. Bahkan dalam kamus Lisanul-Arab Ibnu Mandzur kata fitnah mempunyai berbagai macam makna, mulai dari makna yang paling ringan seperti aib/noda sampai makna terberat seperti kesesatan dan kekufuran (Kamus Lisanul-Arab Ibnu Mandzur, Babul-Fa, XIII: 317-318). Kata yang kedua adalah maksiat, secara bahasa kata maksiat adalah lawan dari ketaatan dan memiliki beberapa makna, antara lain adalah kedurhakaan dan kesalahan (Kamus Lisanul-Arab Ibnu Mandzur, Babul-‘Ain, VI: 293-295). 

Untuk menghindari pemaknaan yang keliru, penting kiranya kami menambahkan catatan bahwa makna fitnah dan maksiat yang mengarah kepada hukum makruh di atas hanya pada fitnah dan maksiat yang bermakna ringan sebatas kesalahan, misalnya seperti membuat karikatur tokoh nasional untuk mengejeknya. Namun jika yang dimaksud maksiat adalah lawan dari ketaatan dan merupakan perbuatan durhaka maka sudah jelas hukumnya adalah haram, misalnya saja membuat lukisan yang seronok yang dapat menimbulkan syahwat bagi yang melihatnya dan membuat patung para dewa untuk disembah.

Namun perlu diperhatikan bahwa, perbuatan kesalahan yang terus-menerus dilakukan juga dapat mengarah kepada kemaksiatan yang berat dan menjadi dosa besar, oleh karena itu meskipun hukumnya dikatakan makruh namun lebih baik untuk menghindari perbuatan-perbuatan tersebut sejauh-jauhnya.

Keputusan mengenai hukum menggambar diambil berdasarkan beberapa pertimbangan:

Pertama, masalah seni gambar dan patung dapat dikategorikan sebagai masalah hukum yang ma’qulul-ma’na, yaitu masalah hukum syar’i yang logika hukumnya dapat dipahami melalui penalaran rasional.

Kedua, larangan pembuatan patung dan gambar makhluk hidup itu dapat dilihat dalam konteks perjuangan Nabi Muhammad saw memberantas ajaran penyembahan berhala dan menegakkan ajaran tauhid yang murni, apabila membuat patung dan gambar itu tidak diberantas maka akan terjadi perusakan akidah baru itu. Sedangkan bilamana tidak dikhawatirkan merusak akidah, maka larangan tersebut tidak ada. Seperti dalam kasus boneka mainan anak-anak. Hal ini juga dapat dipahami dari alasan Nabi saw memerintahkan penyingkiran tabir bergambar karena memalingkan beliau dari Allah dan mengingatkan pada dunia serta mengganggu kekhusyukan salatnya. Jika semua alasan itu tidak ada, maka larangannya pun tidak ada.

Ketiga,di zaman modern, pembuatan patung dan gambar makhluk bernyawa kebanyakan bukanlah untuk disembah dan bagaimanapun,rasanya tidak ada umat Islam yang menyembah patung. Di lain pihak, patung dan gambar mempunyai beberapa manfaat, yang dulu tidak ada di zaman Nabi saw, misalnya untuk pelajaran, pengabadian peristiwa sejarah seperti patung biorama, dan lain-lain.

Keempat,dalam al-Qur’an kecaman kepada patung adalah karena dipuja dan diyakini sebagai penjelmaan Tuhan. Sedangkan patung-patung yang dibuat Nabi Sulaiman as tidak dikecam karena bukan untuk tujuan dan tidak terkait dengan penyembahan. (Tanya Jawab Agama V: 227-228).

Wallahu a’lam bish-shawab.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Do'a Penguat Iman

$
0
0



Pertanyaan Dari:

Mulyadi, Laren, Lamongan, Jawa Timur

(disidangkan pada hari Jum’at, 9 Muharram 1434 H / 23 November 2012)


Pertanyaan :

Kepada para pengasuh fatwa yang terhormat, kami ingin bertanya; Doa apa yang harus dibaca untuk menguatkan iman kita? Terima kasih.


Jawaban :

Terimakasih atas pertanyaan yang saudara ajukan, kami memohon kepada Allah swt semoga senantiasa memberikan keteguhan iman yang menghunjam kuat di dalam hati kita semua. Sesungguhnya permasalahan mengenai iman merupakan permasalahan yang paling urgendan vital. Selamat dan tidaknya seseorang di kehidupan yangkekal kelakbergantung pada masalah ini.

Allah dan Rasul-Nya menjelaskan perihal karakterstik iman yang memang fluktuatif (terkadang bisa naik dan bisa juga turun), sehingga dibutuhkan cara atau langkah untuk menjaganya. Banyak sekali langkah atau kiat-kiat untuk memperkuat iman agar tidak mudah goyah, kami akan memaparkan beberapa tips atau kiat-kiat untuk memperkuat iman tersebut. Tips atau kiat-kiat tersebut terdiri dari yang primer (utama) dan sekunder (pendukung). Berikut kiat-kiatnya:

A.      Faktor Primer (utama), yakni, merupakan faktor atau tips utama berupa tindakan nyata yang harus dilakukan oleh seseorang yang ingin memperkuat keimanannya.Di antaranya adalah
1.         Akrab dengan al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan petunjuk utama untuk mencapai tsabat (keteguhan iman) sekaligus merupakan penghubung yang amat kokoh antara hamba dengan Rabb-nya. Barangsiapa berpegang teguh padaal-Qur’an, niscaya Allah akan memeliharanya.Barangsiapa mengikuti al-Qur’an, niscaya Allah akan menyelamatkannya dan akan menunjukinya ke jalan yang benar.
Allah swt berfirman:



يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

Artinya: “Wahai manusia sungguh telah datang pelajaran dari Tuhan-Mu (al-Qur’an), sebagai penyembuh bagi penyakit yang ada di dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman.” [QS. Yunus (10): 57]

2.         Berusaha istiqamah dengan Syari’at Islam
Allah swt menjamin orang-orang yang istiqamah terhadap agama Islam, kepadanya akan diturunkan malaikat agar dia senantiasa merasa tentram dalam hatinya dan tidak bersedih. Dengan istiqamah juga Allah swt akan memelihara kualitas keimanannya.

Allah swt berfirman:



إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang berkata Tuhan kami adalah Allah kemudian dia beristiqamah dengan perkataannya, maka malaikai-malaikat akan turun kepada mereka dan berkata: “janganlah kamu takut dan sedih, berilah kabar gembira dengan surga yang dijanjikan.”  
[QS. al-Ahqaf (46): 13]

3.         Menjauhi maksiat
Rasullullah saw menggambarkan maksiat ibarat sebuah noda yang menempel di hati. Semakin seseorang menjauhi maksiat maka akan bercahayalah hatinya sehingga petunjuk akan mudah diterimanya. Demikian pula sebaliknya, ketika seseorang sering berbuat maksiat maka hatinya sedikit demi sedikit akan tertutupi hingga cahaya petunjuk pun sulit diraihnya.

4.         Berteman dengan orang-orang yang sholeh
Faktor eksternal (luar), merupakan faktor pendukung yang dapat mewarnai kualitas keimanan seseorang, dalam hal ini memilih teman. Allah dan Rasul-Nya pun mewanti-wanti kepada kita untuk lebih selektif dalam memilih teman agar tidak menyesal di kemudian hari, sekaligus teman bisa menjadi tolok ukur baik dan tidaknya agama seseorang.
Allah swt berfirman:


يَا وَيْلَتَى لَيْتَنِي لَمْ أَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيلًا
Artinya: “Wahai celaka aku, sekiranya aku dulu tidak menjadikan fulan sebagai teman akrabku” [QS. al-Furqan (25): 28]

Rasulullah saw bersabda:


الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ، فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلْ
Artinya: “Kualitas agama seseorang itu bisa dilihat dari teman akrabnya, maka hendaklah di antara kalian memperhatikan kepada siapa dia berteman.” [HR. Ahmad]

B.       Faktor Sekunder  (pendukung), yakni merupakan faktor pendukung dari faktor primer (utama), yaitu memohon pertolongan kepada Allah swt agar memelihara keimanan kita.  

Setelah kita berusaha menjaga kualitas keimanan kita melalui tindakan nyata, maka langkah terakhir yang kita lakukan adalah mensingkronkan (menyambungkan) usaha tersebut dengan doa. Sebab akan sangat mustahil jika seseorang hanya berdoa saja sementara ia tidak melakukan tindakan apapun untuk memperbaiki dan memelihara keimanannya. Begitu pula sebaliknya, seseorang tidak akan pernah berhasil memelihara keimanannya jika ia hanya mendasarkan pada usaha saja dengan meninggalkan doa, sebab masalah keimanan ini erat kaitannya dengan Allah swt selaku al-Khalik, Dzat yang membolak-balikkan hati manusia. Jika ia tidak mau berdoa, maka bagaimana mungkin Allah akan menjaga keimanannya?

Pada dasarnya tidak terlarang bagi seseorang untuk berdoa dengan lafadz dan bahasa apapun yang ia mampu, asalkan substansi (isi) doanya baik dan mengena, akan tetapi seyogyanya setiap muslim dalam berdo’a hendaknya senantiasa melandaskan prinsip ittiba’ (mengikuti)Allah dan Rasul-Nya, sebab doa yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya itulah merupakan sebaik-baik doa.
Di antara doa-doa ma’tsur dari al-Qur’an maupun as-Sunnah untuk menjaga keteguhan iman adalah:

1.         Doa dari al-Qur’an

رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ

Artinya: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau condongkan kami kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepeda kami rahmat dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Pemberi.” [QS. Ali-Imran (3): 8]

رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ

Artinya; “Ya Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami dan tetapkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap orang-orang yang kafir.” [QS. Ali-Imran (3): 147]

رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَاد

Artinya :”Ya Rabb kami, sesungguhnya kami mendengar orang yang menyeru kepada iman, (yaitu): “berimanlah kalian kepada Rabb kalian, maka kami pun beriman. Ya Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan hapuslah kesalahan-kesalahan kami, serta wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti (shalih). Ya Rabb kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui Rasul-Mu. Dan janganlah Engkau hinakan kami pada hari kiamat kelak. Sesungguhnya Engkau tidak pernah menyalahi janji.[QS. Ali-Imran (3): 193-194]

رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا

Artinya: “Wahai Rabb kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah petunjuk yang lurus bagi kami dalam urusan ini.”[QS. al-Kahfi(18): 10]

Dan masih banyak doa-doa lain dari al-Qur’an yang dapat dibaca. Silakan saudara mencarinya dengan seksama.
2.         Doa dari as-Sunnah

اَللَّهُمَّ ياَمُصَرِّفَالْقُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْبُنَاعَلَىطَاعَتِكَ
Artinya: “Ya allah, Dzat yang mencondongkan hati, condongkanlahhati-hati kami untuk taat kepada-Mu.”[HR. Muslim,no. 2654]

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِيْنِكَ
Artinya: “Wahai Rabb yang membolak-balikan hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu” (HR. At-Tirmidzi no. 3522, Ahmad no. 302, 315)

اللَّهُمَّ ثَبِّتْنِي وَاجْعَلْنِي هَادِيًا مَهْدِيًّا
Artinya: “Ya Allah, teguhkanlah diriku, jadikanlah diriku pemberi petunjuk dan diberi petunjuk (olehmu).” [HR. al-Bukhari, no. 2725]

اللَّهُمَّ اهْدِنِي وَ سَدِّدْنِي اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَ السَّدَادَ
Artinya: “Ya Allah, berikanlah petunjuk kepadaku dan luruskanlah diriku. Ya Allah, sesungguhnya aku mohon petunjuk dan kelurusan kepada-Mu. [HR. Muslim,2725]

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَ التُّقَى وَ الْعَفَافَ وَ الْغِنَى
Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon petunjuk, ketakwaan, kesucian, (dijauhkan dari hal-hal yang tidak halal/tidak baik), dan kecukupan.” [HR. Muslim, no. 2721; at-Tirmidzi, no. 3489; Ibnu Majah no. 3832]

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ اْلعَجْزِ وَاْلكَسَلِ وَاْلجُبْنِ وَاْلبُخْلِ وَاْلهَرَمِ وَعَذَابِ اْلقَبْرِ. اَللَّهُمَّ آتِ نَفْسِي تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا ، اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لَا يُسْتَجَابَ لَهَا
Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kelemahan, kemalasan, sifat pengecut, kekikiran, pikun, dan adzab kubur. Ya Allah, berikanlah ketaqwaan pada diriku, dan sucikanlah ia, Engkau adalah sebaik-baik Dzat yang Maha Mensucikannya, Engkau Dzat yang Melindungi dan Memeliharanya. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, nafsu yang tidak pernah puas, dan doa yang tidak dikabulkan.” [HR. Muslim,no. 2722, dan an-Nasa’I,no. 269]

Demikianlah kiat-kiat dan doa-doa ma’tsur baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah untuk memelihara keimanan kita. Semoga Allah swt senantiasa menjaga keimanan kita. Amin yaa Mujiibas-sa’ilin.

Wallahu a’lam bish-shawab.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Doa Iftitah Menurut Putusan Tarjih Muhammadiyah

$
0
0
Pilihan Doa Iftitah
Menurut Putusan Tarjih Muhammadiyah

Pertanyaan Dari:
H. Mufti Muhammadi, muftimuhammadi@yahoo.co.id,
SMA Muhammadiyah 11 Rawamangun
(Disidangkan pada hari Jum’at, 16 Jumadilakhir 1432 H / 20 Mei 2011 M)


Pertanyaan

Assalamu’alaikum wr.wb.
Mohon penjelasan tentang perbedaan doa iftitah dari buku produk Muhammadiyah yang berbeda. Pertama: buku Shalat Sesuai Tuntunan Nabi saw yang disusun oleh Bapak Syakir Jamaluddin, MA., penerbit LPPI UMY dengan kata pengantar ketua MTT PP Muhammadiyah. Pada halaman 73 dijelaskan bahwa doa iftitah itu ada 3 macam, yaitu: Allahumma Ba’id …, Allahuakbar Kabira … dan Wajjahtu wajhiya … . Sementara dalam buku HPT, pilihan doa iftitah hanya dua, yaitu: Allahumma ba’id baini … dan Wajjahtu wajhiya … . Kami umat yang di bawah merasa bingung membaca kedua buku ini, oleh karena itu mohon penjelasan dengan hadis shahih.
Terima kasih.


Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr.Wb.
Terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan oleh Bapak H. Mufti Muhammadi kepada Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Pertanyaan yang serupa sesungguhnya banyak dilontarkan oleh warga Muhammadiyah baik secara langsung maupun tertulis. Buku yang berjudul “Shalat Sesuai Tuntunan Nabi saw: Mengupas Kontroversi Hadis Sekitar Shalat” yang disusun oleh Bapak Syakir Jamaluddin, M.A., tersebut memang banyak disoroti oleh warga Muhammadiyah, baik terkait dengan eksistensi buku maupun beberapa materi yang terkait seputar shalat. Terkait dengan eksistensi buku, warga Muhammadiyah banyak yang bertanya apakah buku tersebut merupakan produk Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (MTT PP) Muhammadiyah ataukah bukan. Pertanyaan tersebut muncul setidaknya karena dua hal, pertama; karena diterbitkan oleh institusi atau lembaga di lingkungan Muhammadiyah, kedua; karena kata pengantar buku tersebut  ditulis oleh Prof. Dr. H. Syamsul Anwar, M.A. yang saat ini menjadi Ketua MTT PP Muhammadiyah. Sedangkan dari aspek materi seputar salat yang paling banyak disoroti, antara lain; tentang pilihan salam dan bacaan do’a iftitah pada saat salat.
Terkait dengan permasalahan pertama, perlu dijelaskan bahwa produk MTT PP Muhammadiyah dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu:
1.      Keputusan Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah, yakni hasil Muktamar/Musyawarah Nasional Tarjih yang kemudian dibukukan dan disebut Himpunan Keputusan Majelis Tarjih atau sering disingkat HPT;
2.      Fatwa Tarjih, yaitu keputusan MTT PP Muhammadiyah atas persoalan yang muncul di masyarakat. Fatwa Tarjih bias merupakan respon MTT PP Muhammadiyah atas persoalan yang terjadi di masyarakat atau merupakan jawaban atas pertanyaan yang disampaikan kepada MTT PP Muhammadiyah dan kemudian dimuat di rubrik Tanya Jawab Agama Majalah Suara Muhammadiyah. Saat ini sebagian Fatwa-fatwa Tarjih telah diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Tanya Jawab Agama sejumlah 6 jilid.
3.      Wacana, yaitu pengembangan pemikiran dalam soal keagamaan yang bersifat tidak mengikat secara kelembagaan, diterbitkan dalam bentuk buku maupun jurnal.

Adapun buku yang disusun oleh Bapak Syakir Jamaluddin, MA., tidak termasuk ke dalam salah satu dari ketiga produk MTT PP Muhammadiyah tersebut. Buku tersebut merupakan hasil karya pribadi salah seorang warga Muhammadiyah dan bukan merupakan keputusan MTT PP Muhammadiyah. Dengan demikian, buku tersebut TIDAK termasuk buku tuntunan resmi yang dikeluarkan oleh Persyarikatan Muhammadiyah.

Pada prinsipnya setiap keputusan MTT PP Muhammadiyah selalu dilandasi oleh dalil-dalil yang terkuat baik dari al-Qur’an maupun sunnah-sunnah Nabi saw yang maqbulah. Namun demikian, setiap orang terbuka untuk mengkaji dan mengkritisi keputusan Tarjih asalkan dilakukan secara argumentatif serta berpedoman kepada semangat dan Manhaj Tarjih. Bahkan berbeda dalam beberapa hal dengan putusan Tarjih bukanlah sesuatu yang terlarang dalam kaidah Tarjih itu sendiri. Dalam Penerangan tentang Hal Tarjih yang dikeluarkan oleh Hoofdbestuur Moehammadijah (PP Muhammadiyah) tahun 1935 dinyatakan: …kami berseru juga kepada sekalian ulama’ supaya suka membahas pula akan kebenaran putusan Majelis Tarjih itu dimana kalau terdapat kesalahan atau kurang tepat dalilnya diharap supaya diajukan, syukur kalau dapat memberikan dalilnya yang lebih tepat dan terang, yang nanti akan dipertimbangkan pula, kemudian kebenarannya akan ditetapkan dan digunakan.” (lihat kata pengantar, halaman. viii dan HPT, hlm. 371-372)

Dengan demikian, setiap warga Muhammadiyah maupun pihak lain berhak untuk mengkritisi setiap keputusan Tarjih dengan mengemukakan argumentasi (dalil) yang lebih kuat (rajih), lalu diajukan kepada MTT PP Muhammadiyah untuk dibahas baik oleh Tim Fatwa MTT PP Muhammadiyah maupun dibawa ke Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah. Sebab pendapat yang berbeda dengan keputusan Tarjih dari hasil kajian dan penelitian seseorang baik dari warga Muhammadiyah maupun pihak lain merupakan hal yang tidak bisa dihindari maupun dilarang. Namun secara norma dan etika berorganisasi, pendapat perseorangan tidak semestinya disebarkan di lingkungan warga Persyarikatan. Terlebih lagi, jika pendapat pribadi tersebut dibenturkan dengan pendapat resmi Persyarikatan yang telah diputuskan berdasarkan ijtihad jama’i (ijtihad kolektif). Sebab dalam kaidah MTT PP Muhammadiyah, jika ada keputusan  di tingkat yang lebih rendah (apalagi pendapat perseorangan) berbeda dengan keputusan di tingkat yang lebih tinggi, maka keputusan (pendapat) yang digunakan adalah keputusan di tingkat yang lebih tinggi.

Karena itu, terkait dengan bacaan doa iftitah yang bapak tanyakan, maka dari beberapa alternatif bacaan doa iftitah yang ada, MTT PP Muhammadiyah memilih doa yang dianggap lebih kuat, yaitu: 

اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنْ الدَّنَسِ اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ.


Atau dengan membaca: 

وَجَّهْتُ وَجْهِىَ لِلَّذِى فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلاَتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ (وََأَنَا مِِنَ الْمُسْلِمِينَ)، اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لاَ إِلَهَ لِى إِلاَّ أَنْتَ أَنْتَ رَبِّى وَأَنَا عَبْدُكَ ظَلَمْتُ نَفْسِى وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِى فَاغْفِرْ لِى ذُنُوبِى جَمِيعًا لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ وَاهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنِّى سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيْكَ وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

MTT PP Muhammadiyah melalui mudarasah dan ijtihad jama’i (ijtihad kolektif) memilih kedua alternatif doa tersebut di atas secara hirarkis. Artinya bahwa alternatif pertama yaitu “Allahuma baid …” secara kualitas periwayatan lebih sahih (hadis sahih riwayat al-Bukhari, Muslim dan lainnya dari Abu Hurairah r.a.) dan lebih praktis (ringkas) dibandingkan dengan alternatif lainnya. Namun demikian, doa iftitah yang berbunyi “Wajjahtu wajhiya …” dapat pula dijadikan sebagai alternatif bacaan doa iftitah, karena dalil yang digunakan termasuk hadis sahih riwayat Muslim dan lainnya.

Sampai saat ini, kedua alternatif bacaan doa iftitah tersebut di atas belum pernah  diubah atau dibatalkan dengan keputusan yang memiliki kekuatan yang sama (Musyawarah Nasional Tarjih). Oleh sebab itu, kedua alternatif doa iftitah tersebut di atas merupakan pendapat dan pilihan resmi Persyarikatan untuk dapat dijadikan pedoman bagi warga Muhammadiyah, tanpa menafikan adanya alternatif lain yang juga sahih.

Memang pada dasarnya, semua amalan yang memiliki landasan atau dalil yang kuat dapat diamalkan. Namun terkadang dalam beberapa persoalan yang memiliki variasi atau beragam cara dan bacaannya (at-tanawwu’ fil-‘ibadah), maka dalam rangka mempermudah (at-taisir) dan agar tidak membingungkan warga dan masyarakat awam, maka MTT PP Muhammadiyah memilih salah satu atau beberapa alternatif yang dianggap paling kuat untuk dijadikan pedoman resmi warga Muhammadiyah baik lewat kajian Tim Fatwa MTT PP Muhammadiyah maupun Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah dengan melibatkan perwakilan tokoh dan ulama’ se-Indonesia baik dari kalangan Muhammadiyah maupun lainnya.

Dari uraian di atas, maka semakin jelas bahwa buku yang bapak tanyakan tersebut bukanlah produk MTT PP Muhammadiyah, sehingga tidak menjadi sikap dan pendirian resmi Muhammadiyah. Namun demikian dapat saja dibaca dan digunakan oleh siapa saja sebagai salah satu referensi untuk menambah wawasan dan cakrawala keilmuan dalam masalah terkait. Sedangkan untuk menghilangkan kebingungan bapak dan masyarakat awam, karena tidak (dapat) melakukan kajian secara mandiri dan mendalam, maka hendaknya merujuk kepada keputusan MTT PP Muhammadiyah yang telah ada.
Wallahu a’lam bish-shawab. *rf)


Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Hukum Menyekolahkan Anak di Sekolah Non-Muslim

$
0
0
Hukum Menyekolahkan Anak di Sekolah Non-Muslim 



Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah mendapatkan pertanyaan dari majalah SuaraAisyiyah berkenaan dengan hukum menyekolahkan anak di sekolah non-muslim. Pertanyaan tersebut kemudian disidangkan pada dua kali kesempatan, Pertama: Rapat Divisi Fatwa dan Pengembangan Tuntunan pada hari Jumat, tanggal 6 Maret 2015; Kedua, Rapat Pimpinan Majelis Tarjih dan Tajdid pada hari senin, tanggal  9 Maret 2015. Berikut ini Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid tentang hukum menyekolahkan anak di sekolah non-muslim:  

A.   Dasar Pertimbangan Fatwa:

1. Pentingnya pendidikan bagi anak
a.       QS. Al-Nisa ayat 9 

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.

Menurut ayat di atas, pendidikan bagi anak adalah prinsip dasar yang harus dipenuhi. Dalam kondisi bagaimanapun, anak harus mendapatkan haknya mengenyam pendidikan. Anak yang tidak mengenyam bangku sekolah, akan menjadi generasi yang lemah, dan lebih dari itu bahkan mereka dapat menjadi problem bagi peradaban.
 

2. Pentingnya pendidikan agama bagi anak
a.       QS. Al-Tahrim ayat 6:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. 

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa tanggungjawab orangtua terhadap anak adalah menyelamatkannya dari api neraka. Diantara jalan yang harus ditempuh untuk sampai ke sana adalah dengan memberikan bekal ilmu agama yang memadai dalam diri anak. Anak harus mendapatkan pengetahuan akidah, ibadah dan akhlak sesuai ajaran Islam. 

b.      Hadis Riwayat Bukhari-Muslim : 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ]متفق عليه[
“Dari Abu Hurairah Ra. Ia berkata. Rasulullah Saw. bersabda: setiap anak dilahirkan sesuai dengan fitrah (Islam). Kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi” [HR Muttafaq Alaih].

Dalam hadis di atas Nabi menerangkan bahwa pada prinsipnya anak lahir dengan fitrah sebagai seorang muslim. Perubahan keyakinan dalam diri anak sesungguhnya terjadi akibat dari pendidikan yang diberikan orang tua dan lingkungan di sekitar anak. Oleh karena itu, menjadi penting orang tua menanamkan akidah Islam yang kuat dan memberikan ilmu agama yang cukup kepada anak.

3. Prinsip tentang relasi muslim dengan non-mulim
a.       QS. al-Mumtahanah ayat 8-9

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ () إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ()
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

Dalam ayat di atas disebutkan bahwa sepanjang non-muslim tidak memerangi dan berlaku kasar terhadap umat Islam, maka hubungan sosial kemasyarakatan harus berlangsung secara damai.
b.      Hadis Riwayat Ahmad 

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ نَاسٌ مِنَ الأَسْرَى يَوْمَ بَدْرٍ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ فِدَاءٌ فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلمفِدَاءَهُمْ أَنْ يُعَلِّمُوا أَوْلاَدَ الأَنْصَارِ الْكِتَابَةَ قَالَ فَجَاءَ يَوْماً غُلاَمٌ يَبْكِى إِلَى أَبِيهِ فَقَالَ مَا شَأْنُكَ قَالَ ضَرَبَنِى مُعَلِّمِى.]رواه احمد و قال شعيب الأرناؤوط حديث حسن[
Artinya:
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Sebagian dari tawanan perang Badar tidak memiliki (uang) untuk tebusan. Maka Rasulullah menentukan tebusan mereka mengajarkan anak-anak dari kalangan Anshar baca tulis”. Ibnu Abbas berkata. “Seorang anak suatu ketika datang kepada ayahnya sambil menangis. Ayahnya bertanya, “ada apa dengan dirimu?”. Ia menjawab, “guruku memukulku” [HR Ahmad, Komentar Syuaib al-Arnauth, hadis ini hasan]

Dalam hadis di atas, kita mendapatkan informasi bahwa pada zaman Rasulullah sendiri pernah terjadi anak-anak dari keluarga muslim belajar kepada non-muslim. Namun, patut pula dicatat bahwa hal tersebut terjadi karena saat itu belum ada dari kalangan muslim yang bisa membaca dan menulis. Selain itu, para tahanan non-muslim yang mengajar juga tidak mungkin memurtadkan anak yang belajar pada mereka karena status mereka sebagai tawanan perang dan berada dalam pengawasan. 

 4. Prinsip tidak boleh ikut dalam peribadatan agama orang lain
a.       QS. al-Kafirun 

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ () لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ () وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ () وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ () وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ () لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ()
“Katakanlah wahai orang-orang yang kafir. Aku tidak menyembah apa yang kalian sembah. Dan kalian tidak menyembah apa yang aku sembah. Aku bukanlah penyembah sebagaimana kamu menyembah. Dan kamu bukanlah penyembah sebagaimana aku menyembah. Untukmu agamu dan untukku agamaku”.

Dalam ayat di atas, umat Islam diajarkan bahwa akidah Islam tidak boleh tergadaikan dengan cara mengikuti keyakinan dan peribadatan agama lain. Kepada non-muslim pun diserukan untuk tidak menyampaikan mempengaruhi umat Islam agar mengikuti agama mereka.


5.       UU NOMOR 39 TAHUN 1999TENTANGHAK ASASI MANUSIA
a.       Pasal 22 ayat (1)
“Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

b.      Pasal 55
“Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat intelektualitas dan biaya di bawah bimbingan orang tua dan atau wali”.


6.       UU NO 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
a.       Pasal 6 :
“Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua”.

b.      Pasal 37 ayat (3):
“... anak yang diasuh harus yang seagama dengan agama yang menjadi landasan lembaga yang bersangkutan”.

c.       Pasal 42 ayat (2) :
Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orangtuanya.

d.      Pasal 43 ayat (1) :
“Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali, dan lembaga sosial menjamin
perlindungan anak dalam memeluk agamanya”.

ayat (2) :
“Perlindungan anak dalam memeluk agamanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak”.


7.       UU NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISDIKNAS
a.       Pasal 12 ayat (1) a:
Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhakmendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yangseagama;


8.       Kenyataan bahwa lembaga pendidikan non-negeri senantiasa membawa misi atau ideologi tertentu yang harus dijadikan pertimbangan saat menyekolahkan anak.

B.    Fatwa:
Berdasarkan beberapa pertimbangan di atas, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan fatwa sebagai berikut:

  1. Orangtua wajib menjamin keselamatan dan kemurnian akidah anak.
  2. Harambagi orang tua menyekolahkan anak di sekolah yang mengancam akidah Islam.
  3. Haram bagi orang tua menyekolahkan anak di sekolah yang menghalangi anak belajar agama Islam.
  4. Harambagi orang tua menyekolahkan di sekolah non-muslim yang tidak mengajarkan pelajaran agama Islam.
  5. Harambagi orang tua membiarkan anak mengikuti pendidikan atau pelajaran agama non-Islam.
  6. Bersekolah di lembaga non-muslim yang tidak termasuk ke dalam poin 2-5 di atas hukumnya boleh, dengan catatan:
a.      Bukan untuk jenjang pendidikan usia dini (PAUD) sampai S1, karena pada usia tersebut anak dianggap rentan dan mudah terpengaruh oleh keyakinan agama lain.
b.     Dalam kondisi ketiadaan alternatif lembaga pendidikan Islam atau negeri, seperti tinggal di kawasan mayoritas non-muslim. 
c.      Harus ada jaminanakan adanya pengajaran agama Islamuntuk anak dari pihak sekolah.
d.     Orang tua harus terus menanamkan pada anaknya identitas, kesadaran dan perilaku bahwa dirinya adalah orang yang beragama Islam.

C. Rekomendasi:
Untuk mendukung fatwa di atas, Majelis Tarjih dan Tajdid juga menyampaikan seruan berikut ini:

  1. Diharapkan sekolah Islam secara umum dan sekolah Muhammadiyah secara khusus agar meningkatkan kualitas pendidikan lembaga masing-masing agar dapat menjadi pilihan utama bagi masyarakat.
  2. Lembaga pendidikan Islam, khususnya Muhammadiyah, memiliki kewajiban untuk menyantuni keluarga-keluarga tidak mampu dengan cara memberikan beasiswa. Sebab, mempertahankan dan merawat akidah anak, bukan hanya tugas orangtua semata, tetapi juga tugas umat Islam secara keseluruhan. Majelis Tarjih dan Tajdid dalam hal ini sangat menekankan dan agar menjadi perhatian serius lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah jangan sampai ada keluarga yang menyekolahkan anaknya di sekolah keagamaan non-muslim karena faktor biaya yang mahal di sekolah Muhammadiyah atau karena mereka tidak memiliki biaya.

Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Download Buku Tuntunan Ibadah Ramadhan (Edisi Revisi)

$
0
0

Alhamdulillah, buku saku Tuntunan Ibadah Pada Bulan Ramadhan ini dapat diterbitkan kembali. Pada edisi revisi ini terdapat beberapa koreksi. Pertama, koreksi atau perbaikan teknis, tata letak, pembetulan kesalahan cetak. Kedua, koreksi atau perbaikan materi, khususnya beberapa hadits yang dijadikan sumber. 

Buku ini dicetak dalam ukuran saku supaya mudah dibawa dan dapat dibaca sewaktu-waktu. Versi lengkap Tuntunan Ramadhan dapat dilihat di buku Tuntunan Ramadlan terbitan Suara Muhammadiyah. Diharapkan, dengan membaca buku kecil ini para pembaca dapat menunaikan ibadah pada bulan Ramadhan secara lebih baik dan khusyuk. Buku ini juga diedarkan dalam format e-book, dan dapat diunduh di bawah ini. 

Kepada para pembaca kami harapkan masukan, kritik dan sarannya untuk penerbitan buku ini selanjutnya. Demikian, semoga bermanfaat. Amin


Link DOWNLOAD
atau Klik Gambar berikut

Tuntunan Ibadah Ramadhan

Link Alternatif Via Ziddu:
Tuntunan Ibadah di Bulan Ramadhan
Himpunan Putusan Tarjih PDF


Tags: Buku Panduan Puasa, Tanya Jawab Puasa, Seputar Puasa Ramadhan, Tuntunan Puasa, Buku Saku Ramadhan, Buku Puasa, Tuntunan Puasa Ala Nabi, Sunah Puasa, Amalan Ketika Berpuasa, tuntunan I'tikaf, Yang membetalkan Puasa dll
 
 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Apa itu Nadzar dan Sumpah ?

$
0
0

Pertanyaan Dari:
Dani, Sulawesi Selatan
(disidangkan pada hari Jum’at, 23 Jumadilakhir 1432 H / 27 Mei 2011 M)
 
Pertanyaan:

As-salaamualaikum wr.wb.
Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid yang terhormat.
Pertanyaan saya:
1.      Definisi Nadzar dan syarat-syaratnya?
2.      Sumpah dan syarat-syaratnya?
3.   Ada kasus begini; ada orang bertanya kepada saya, katanya dia bernadzar sesuatu jika hajatnya kelak terkabul. Ketika hajatnya sudah tercapai dia ingat pernah bernadzar tapi lupa jenis nadzarnya (karena mungkin sudah terlalu lama), jadi apa yang mesti dilakukan?
Terima kasih atas jawabannya. Wassalaam.

Jawaban:

Waalaikumus-salam wr. wb.
Saudara Dani yang baik, berikut ini jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saudara:
1.   Oleh karena sumpah itu asal nadzar, maka berikut ini diterangkan mengenai pengertian sumpah dahulu, lalu setelah itu baru pengertian nadzar. 

Sumpah, di dalam bahasa Arab disebut: al-yamin atau al-hilf ialah kata-kata yang diucapkan dengan menggunakan nama Allah atau sifat-Nya untuk memperkuat suatu hal. Contohnya: "WalLahi (Demi Allah) saya sudah belajar" dan "Wa'adhamatillah (Demi Keagungan Allah) saya tidak mencuri". Oleh karena sumpah itu menggunakan nama Allah atau sifat-Nya, maka ia tidak boleh dibuat main-main.

Syarat sumpah: (1) berakal (2) baligh (3) Islam (4) bisa melaksanakannya (5) suka rela (tidak dipaksa). Rukun sumpah: Lafaz yang dipakai dalam bersumpah yaitu harus menggunakan nama Allah atau sifat-Nya.

Sumpah itu ada tiga macam:
a.     Sumpah Laghwi: Yaitu sumpah yang tidak dimaksudkan untuk bersumpah. Contohnya: "Demi Allah kamu harus datang" dan "Demi Allah kamu wajib makan". Meskipun kata-kata di atas menggunakan nama Allah, namun karena kata-kata "demi Allah" tersebut tidak dimaksudkan untuk bersumpah, tapi untuk memperkuat saja, maka hukum sumpah tersebut tidak wajib membayar kaffarah dan tidak ada dosanya. Hal ini berdasarkan firman Allah:

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.[QS. al-Baqarah (2):225]

b.  Sumpah Mun'aqadah:Yaitu sumpah yang memang benar-benar sengaja diucapkan untuk bersumpah untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu hal. Contohnya: "Demi Allah saya akan bersedekah sebanyak satu juta rupiah" dan "Saya bersumpah demi Allah tidak akan menipumu". Hukum sumpah ini ialah wajib membayar kaffarahjika melanggarnya. Hal ini berdasarkan firman Allah:

 Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat/tebusan (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” [QS. al-Maidah (5): 89]

Menurut ayat ini, jika seseorang bersumpah untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, lalu ia tidak bisa menepati sumpahnya itu, ia terkena kaffarat. Kaffarat ialah penebus dosa sumpah. Kaffaratsumpah secara tertib ialah: memberi makan kepada sepuluh orang miskin dengan makanan yang biasa diberikan kepada keluarga, atau memberi mereka pakaian, atau memerdekakan hamba sahaya. Jika semua itu tidak bisa dilakukan maka ia wajib puasa tiga hari, baik secara berturut-turut maupun tidak.

c.   Sumpah Ghamus: ialah sumpah palsu/bohong, yaitu sumpah yang diucapkan untuk menipu atau mengkhianati orang lain. Sumpah palsu ini adalah salah satu dosa besar sehingga tidak ada kaffaratnya atau tidak bisa ditebus dengan kaffarat. Pelakunya wajib bertaubat nasuha. Dinamakan ghamuskarena akan menjerumuskan pelakunya ke dalam api neraka. Jika sumpah ini menyebabkan hilangnya hak-hak, maka hak-hak tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya. Hal ini berdasarkan ayat berikut:

“Dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki(mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah; dan bagimu azab yang besar.”[QS. an-Nahl (16): 94]
Dan berdasarkan hadis berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْكَبَائِرُ: الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ، وَقَتْلُ النَّفْسِ، وَالْيَمِينُ الْغَمُوسُ. [رواه البخاري]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru ra. dari Nabi saw. bersabda: “Dosa-dosa besar ialah: menyekutukan Allah, mendurhakai kedua orang tua, membunuh jiwa dan sumpah palsu”.” [HR. al-Bukhari]

Selain pembagian di atas, sumpah itu bisa dibagikan lagi --jika dilihat dari jenis isi sumpahnya-- seperti berikut:
a.      Bersumpah untuk mengerjakan yang wajib atau meninggalkan yang haram. Hukumnya, sumpah ini tidak boleh dilanggar karena menguatkan apa yang dibebankan oleh Allah kepada hamba-hambaNya.
b.      Bersumpah meninggalkan yang wajib atau mengerjakan yang haram. Hukumnya, sumpah ini wajib dilanggar karena ia adalah sumpah untuk melakukan maksiat atau pendurhakaan kepada Allah, dan ia terkena kaffarat.
c.      Bersumpah mengerjakan atau meninggalkan sesuatu yang mubah atau halal. Hukumnya, makruh untuk melanggarnya dan disunatkan untuk memenuhi sumpahnya itu.
d.     Bersumpah meninggalkan yang sunat atau mengerjakan yang makruh. Hukumnya, melanggar sumpah ini disunatkan dan ia terkena kaffarat.
e.      Bersumpah untuk mengerjakan yang sunat atau meninggalkan yang makruh. Hukumnya, sumpah ini sunat dipenuhi dan makruh dilanggar. Kalau dilanggar ia terkena kaffarat.

2.      Nadzar ialah mewajibkan suatu qurbah (kebajikan) yang sebenarnya tidak wajib menurut syari’at Islam dengan lafaz yang menunjukkan hal itu.

Syarat nadzar: (1) Berakal (2) Baligh (3) Suka rela (tidak dipaksa). Nadzar itu adalah ibadah kuno yang telah lama dilakukan orang-orang dahulu. Nadzar itu disyariatkan, namun tidak digalakkan. Hal ini karena nadzar itu menunjukkan kekikiran orang yang bernadzar tersebut. Orang yang mau melakukan ketaatan atau kebajikan hendaknya melakukannya saja tanpa harus  dengan nadzar. Hal ini sesuai dengan hadis berikut:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ النَّذْرِ وَقَالَ: إِنَّهُ لَا يَرُدُّ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنْ الْبَخِيلِ. [رواه البخاري ومسلم]

Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra., ia berkata: Nabi saw. melarang nadzar dan bersabda: "Sesungguhnya ia tidak menolak apapun (takdir) dan hanya saja ia dikeluarkan dari orang yang kikir".”[HR. al-Bukhari dan Muslim]

Nadzar itu ada dua macam;
a.       Nadzar Mutlak, yaitu nadzar yang diucapkan secara mutlak tanpa dikaitkan dengan hal lain, seperti "LilLahi 'alayya (Wajib atasku untuk Allah) bersedekah satu juta rupiah".
b.      Nadzar bersyarat, yaitu nadzar yang akan dilakukan jika mendapat suatu kenikmatan atau dihilangkan suatu bahaya, seperti: "Jika Allah menyembuhkan penyakitku ini, aku akan berpuasa tiga hari".

Nadzar itu wajib dipenuhi/dilaksanakan jika merupakan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Contohnya, bernadzar shalat di masjid jika hajatnya terkabulkan, dan seperti bernadzar memberi makan anak yatim jika mendapat rezeki. Jika nadzar ini tidak dilaksanakan, maka orang yang bernadzar terkena kaffarat.Kaffarat nadzar sama dengan kaffarat sumpah, yaitu memberi makan kepada sepuluh orang miskin dengan makanan yang biasa diberikan kepada keluarga, atau memberi mereka pakaian, atau memerdekakan hamba sahaya. Jika semua itu tidak bisa dilakukan maka ia wajib puasa tiga hari, baik secara berturut-turut maupun tidak. Hal ini berdasarkan hadis berikut:

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كَفَّارَةُ النَّذْرِ كَفَّارَةُ الْيَمِينِ. [رواه مسلم]
Artinya: Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir dari Rasulullah saw. bersabda: "Kaffarat nadzar itu kaffarat sumpah".”[HR. Muslim]

Tapi jika nadzar itu merupakan kemaksiatan/kedurhakaan kepada Allah dan Rasul-Nya maka nadzar tersebut tidak wajib dilaksanakan. Contohnya, bernadzar minum arak jika lulus ujian, dan seperti bernadzar membunuh si polan atau meninggalkan sholat jika naik pangkat. Hal ini sesuai dengan hadis berikut:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ. [رواه البخاري ومسلم.]

Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah ra. dari Nabi saw. bersabda: "Barangsiapa bernadzar untuk mentaati Allah maka hendaklah ia mentaatiNya, dan barangsiapa bernadzar untuk mendurhakai-Nya maka janganlah ia mendurhakai-Nya".”[HR. al-Bukhari dan Muslim]

Orang yang bernadzar dengan suatu kemaksiatan lalu tidak melaksanakannya tidak terkena kaffarat.

Dan jika nadzar itu atas sesuatu yang mubah atau halal, seperti bernadzar memakai baju baru ketika pergi ke kantor dan bernadzar mengendarai mobil untuk pergi ke masjid jika bisa membeli mobil, maka nadzar ini juga wajib dilaksanakan dan apabila tidak dilaksanakan terkena kaffarat.Hal ini berdasarkan hadis berikut:

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ امْرَأَةً أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنِّي نَذَرْتُ أَنْ أَضْرِبَ عَلَى رَأْسِكَ بِالدُّفِّ، قَالَ: أَوْفِي بِنَذْرِكِ. [رواه أبو داود]

Artinya: “Diriwayatkan dari Amru bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya bahwa ada seorang perempuan mendatangi Nabi Saw lalu berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah bernadzar menabuh gendang di hadapanmu. Beliau bersabda: "Penuhilah nadzarmu".[HR. Abu Dawud]

Menurut hadis ini, bernadzar menabuh kendang itu wajib dilaksanakan, padahal menabuh gendang itu kalau bukan suatu yang mubah maka ia adalah suatu yang makruh dan tidak akan pernah menjadi suatu qurbah (kebajikan/ketaatan). Jika ia mubah maka hadis di atas merupakan dalil yang mewajibkan pelaksanaan nadzar atas yang mubah, dan jika ia makruh maka izin untuk memenuhi nadzar tersebut menunjukkan bahwa memenuhi nadzar atas yang mubah itu lebih utama.

3.      Jika seseorang itu bernadzar, lalu ia lupa jenis nadzarnya, maka karena ia tidak bisa melaksanakannya, ia wajib membayar kaffarat nadzarnya itu. Hal ini karena nadzar tersebut masih menjadi hutangnya kepada Allah. Kaffaratnadzar sebagaimana diterangkan yaitu dengan memberi makan sepuluh orang miskin dengan makanan yang biasa ia makan untuk dirinya dan keluarganya atau memberi mereka pakaian atau dengan memerdekakan seorang hamba. Jika semua itu tidak sanggup ia lakukan, maka ia harus berpuasa selama tiga hari, boleh berturut-turut dan boleh tidak berturut-turut.

Wallahu a'lam bush-shawab. *mi)

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Hukum Nikah Beda Agama

$
0
0

Pertanyaan Dari:
Hamba Allah, di Jawa Tengah, nama dan alamat diketahui redaksi
(Disidangkan pada hari Jum’at, 20 Syakban 1432 H / 22 Juli 2011 M)


Pertanyaan:

Assalaamu'alaikum wr.wb.
Saya seorang hamba Allah di bumi Allah ingin menanyakan kasus berikut:Ada seorang laki-laki Muslim berbuat zina dengan seorang wanita Katolik sehingga hamil sekian bulan, lalu ia ingin bertanggungjawab dengan menikahinya dengan kondisi berikut:

1.   Wanita Katolik tesebut menginginkan menikah di gereja dengan cara Katolik kemudian setelahnya menikah secara Islam, kemudian catatan negara dilakukan dengan administrasi Katolik, sedangkan secara Islam tanpa catatan.

2.   Kemudian keduanya setelah itu hidup berkeluarga dalam keadaan berbeda agama. Dalam hal ini pihak laki-laki istilahnya terpojokkan karena sudah menghamili sehingga HARUS menikahi dengan cara tersebut, dengan tetap pada keyakinan masing-masing.

Dalam prosesnya, orang tua (bapak) dari laki-laki itu sudah mengusahakan dengan semaksimal mungkin untuk menikah dengan cara Islam tanpa syarat,wanita tersebut harus masuk Islam dulu. Namun dari pihak wanita (keluarganya) tetap tidak menyetujui. Kemudian akhirnya, dengan berbagai pertimbangan orang tua ini menyetujui prosesi tersebut. Dan untuk proses bertaubat, mau diarahkan untuk kembali ke jalan yang benar. Laki-laki tadi juga akan menyeru istrinya untuk masuk Islam. Proses tersebut belum terjadi dan masih menunggu hari H.

Pertanyaan:
1.     Bagaimana hukumnya yang sesuai syariat Islam untuk kasus di atas?
2.     Bagaimana status anak yang sudah dikandung ini dan apabila terlahir?
3.     Bagaimana hukum dari tindakan orang tua dari laki-laki ini?
4.   Bagaimana sikap saya (sebagai saudara sepupu) jika nanti proses itu terjadi? Tentang menghadiri pestanya? Karena dalam benak saya saat ini, haram untuk menghadiri yang seperti itu.

Mohon penjelasan dengan sangat detail, mengingat saya masih awam. Terima kasih sebelumnya.

Wassalamu alaikum wr. wb.


Jawaban:

Wa'alaikumus-salam wr. wb.
Saudara hamba Allah dari Jawa Tengah yang baik, berikut ini jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saudara:
1.   Hukum nikah beda agama menurut syariat Islam itu sudah kami terangkan beberapa kali dalam rubrik tanya jawab agama ini, bahkan telah pula menjadi keputusan Muktamar Tarjih ke-22 tahun 1989 di Malang Jawa Timur. Kesimpulannya, para ulama sepakat bahwa seorang wanita Muslimah haram menikah dengan selain laki-laki Muslim. Ulama juga sepakat bahwa laki-laki Muslim haram menikah dengan wanita musyrikah (seperti Budha, Hindu, Konghuchu dan lainnya). Dalilnya firman Allah:

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. [QS. al-Baqarah (2): 221]

Yang diperselisihkan para ulama ialah: Bolehkah laki-laki Muslim menikah dengan wanita Ahlul Kitab (yaitu Yahudi dan Nasrani: Katolik/Protestan)? Ada yang mengatakan boleh, dengan bersandarkan kepada firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 5. Ada pula yang mengatakan tidak boleh. Namun demikian kami telah mentarjihkan/menguatkan pendapat yang mengatakan tidak boleh dengan beberapa alasan, antara lain:

a.    Ahlul Kitab yang ada sekarang tidak sama dengan Ahlul Kitab yang ada pada waktu zaman Nabi SAW. Semua Ahlul Kitab zaman sekarang sudah jelas-jelas musyrik atau menyekutukan Allah dengan mengatakan bahwa Uzair itu anak Allah (menurut Yahudi) dan Isa itu anak Allah (menurut Nasrani).
b.     Pernikahan beda agama dipastikan tidak akan mungkin mewujudkan keluarga sakinah sebagai tujuan utama dilaksanakannya pernikahan.
c.    Insya Allah umat Islam tidak kekurangan wanita Muslimah, bahkan realitasnya jumlah kaum wanita Muslimah lebih banyak dari kaum laki-lakinya.
d.  Sebagai upaya syadz-adz-dzari’ah(mencegah kerusakan), untuk menjaga keimanan calon suami/isteri dan anak-anak yang akan dilahirkan.

Bahkan, sekalipun seorang laki-laki Muslim boleh menikahi wanita Ahlul Kitab menurut sebagian ulama sebagaimana kami katakan, namun dalam kasus yang saudara sebutkan di atas, kami tetap tidak menganjurkan perkawinan tersebut karena syarat wanita Ahlul Kitab yang disebut dalam surat al-Maidah ayat 5 yang dijadikan oleh mereka yang membolehkan perkawinan tersebut tidak terpenuhi, yaitu syarat al-ihshan (الإِحْصَانُ),yang artinya wanita Ahlul Kitab tersebut haruslah wanita baik-baik yang menjaga kehormatan, bukan pezina. Perhatikan firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 5:

 Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.[QS. al-Maidah (5):5]

Dan perlu diketahui, negara kita tidak mengakui perkawinan beda agama, karena menurut Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1 dinyatakan: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu."Ini artinya, negara kita tidak mewadahi dan tidak mengakui perkawinan beda agama (meskipun pengantin laki-laki beragama Islam). Oleh karena itu, sebagaimana kata saudara, perkawinan tersebut tidak bisa dilakukan dan didaftarkan secara Islam, yaitu di KUA. Dan yang dapat dilakukan hanyalah mencatatkan perkawinan tersebut di Catatan Sipil, sebagaimana penduduk non Muslim lainnya mencatatkan perkawinan mereka di sana.

Perlu ditekankan di sini, pihak laki-laki Muslim tersebut seharusnya tidak merasa terpojokkan sehingga "HARUS" menikahi wanita Katolik itu sebagaimana yang saudara katakan. Perzinaan itu bisa saja terjadi karena atas dasar suka sama suka sehingga menurut hukum positif tidak bisa dipidanakan. Dengan demikian, upaya agar menikahkan mereka berdua dengan cara Islami, yaitu masuk Islam dahulu lalu menikah di KUA, harus terus dilakukan semaksimal mungkin.

2.  Mengenai status anak mereka berdua jika ia lahir dapat kami jelaskan sebagai berikut: Jika keduanya tidak jadi menikah maka anak tersebut dinasabkan kepada ibunya. Ini karena anak tersebut hasil perzinaan dan lahir di luar perkawinan yang sah. Dan perzinaan itu tidak menimbulkan dampak penetapan nasab anak tersebut (kepada laki-laki yang berzinadengan ibunya), menurut kesepakatan jumhur (mayoritas) ulama. Alasannya, nasab itu adalah kenikmatan yang dikurniakan oleh Allah. Dengan ditetapkannya nasab itu seorang ayah wajib menafkahi, mendidik, menjadi wali nikah, mewariskan dan lainnya. Oleh karena nasab itu adalah kenikmatan, maka ia tidak boleh didapatkan dengan sesuatu yang diharamkan.Dalil yang mendasari hal tersebut adalah hadis berikut:

قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اْلوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ اْلحَجَرُ. [رواه البخاري ومسلم]

Artinya: “Rasulullah SAW bersabda: "Anak itu dinasabkan kepada yang memiliki tempat tidur (laki-laki yang menikahi ibunya), dan bagi yang melakukan perzinaan (hukuman) batu (rajam sampai mati)".”[HR. al-Bukhari dan Muslim]

Hadis ini menunjukkan bahwa hanya anak yang lahir dari perkawinan sah saja yang dinasabkan kepada ayahnya yang mempunyai tempat tidur (maksudnya, yang menikahi ibunya). Manakala zina itu tidak layak untuk dijadikan sebab menetapkan nasab, bahkan pezina itu harus mendapatkan hukuman rajam.

Pendapat yang menasabkan anak hasil zina kepada ibunya ini juga selaras dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100 yang berbunyi: "Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya".

Jika keduanya menikah setelah wanita tersebut masuk Islam, maka jika anak tersebut lahir setelah 6 (enam) bulan dari pernikahan, maka anak tersebut dinasabkan kepada si laki-laki Muslim di atas. Alasannya ialah, tempo kehamilan itu minimalnya adalah enam bulan menurut kesepakatan para ulama. Dan setelah itu, laki-laki Muslim tersebut bertanggung jawab atas segala sesuatu yang berkenaan dengan anaknya itu seperti nafkah, pendidikan, kesehatan, perwalian, pewarisan dan lainnya sama persis dengan anak hasil pernikahan yang sah.Namun jika anak hasil zina tersebut lahir sebelum 6 (enam) bulan dari pernikahan, maka anak tersebut dinasabkan kepada ibunya. Dan laki-laki Muslim tersebut tetap bertanggung jawab atas nafkah, pendidikan dan kesehatannya, karena ia adalah anak istrinya. Tapi dari segi perwalian dan pewarisan, laki-laki Muslim itu tidak berhak menjadi wali anak tersebut dan tidak waris-mewarisi dengannya. Ini menurut para ulama fiqih.

Namun perlu diketengahkan di sini bahwa menurut KHI, anak hasil zina yang lahir sebelum enam bulan tersebut dapat dinasabkan kepada si laki-laki Muslim di atas karena anak yang sah menurut KHI pasal 99 adalah: a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. b. Hasil perbuatan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Besar kemungkinan KHI menetapkan demikian demi kemaslahatan anak tersebut.

3.   Mengenai tindakan orang tua laki-laki Muslim di atas sebaiknya tetap berusaha untuk menikahkan keduanya dengan cara Islam, yaitu di KUA. 

4.  Mengenai sikap saudara terutama dalam menghadiri pesta perkawinan jika proses perkawinan seperti yang dikehendaki keluarga wanita Katolik itu terjadi, saudara boleh menghadirinya jika diundang.

Wallahu a'lam bish-shawab.mi*)

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Hukum Memelihara Anjing Bagi Seorang Muslim

$
0
0
DAN  SOAL MALAIKAT YANG TIDAK MAU MASUK RUMAH

Pertanyaan Dari:
Iqbal Tawakkal, 21 tahun, NBM 1060760,
Jl. M. Kahfi no 27Cipedak-Jagakarsa, Jakarta Selatan
(disidangkan pada hari Jum’at, 21 Muharram 1433 H / 16 Desember 2011 M)


Pertanyaan:

      Assalamualaikum wr.wb.
  1. Bolehkahkeluarga muslim memelihara anjing ?
  2. Benarkah jika dikatakan bahwa malaikat tidak mau masuk ke rumah keluarga muslim yang memelihara anjing ?
  3. Hewan apa saja yang boleh dipelihara oleh keluarga muslim ? 
 Terima kasih atas jawabannya. Wassalamualaikum wr. wb.

 
Jawaban:

Waalaikumussalam wr. wb.
Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan. Sebelum kami menjawab pertanyaan saudara, terlebih dahulu akan kami jelaskan beberapa prinsip penting dari ajaran Islam yang terkait dengan pertanyaan tersebut. Agama Islam adalah agama yang mengajarkan kasih sayang (QS.  9: 128, 16: 125, 21: 107) dan kelemahlembutan (QS. 3: 159). Umat Islam diajarkan oleh agamanya untuk tidak menyakiti siapapun dan apapun, kecuali berdasarkan aturan yang telah digariskan oleh agama dengan alasan-alasan syari serta dengan batasan yang tegas dan jelas (QS. 2: 190). Islam mengajarkan agar kita berbuat baik (ihsan) terhadap siapa saja, tanpa melihat sekat-sekat keagamaan (QS. 60: 8) dan sekat-sekat primordial/kesukuan (QS. 53: 31, 55: 60). Islam sejak awal telah memproklamirkan diri sebagai agama kasih sayang yang mengajarkan umatnya “risalah menyantuni” (QS. 2; 274, 76: 9, QS. 107) dan  “teologi berkorban” (76:9, 3: 134) kepada dan untuk sesama. 

Bila kita telusuri dan renungkan, ajaran mengenai kasih sayang ternyata tidak hanya untuk manusia, tetapi juga berlaku terhadap binatang. Dalam kitab-kitab fikih misalnya, kita bisa menemukan satu bab tentang “berbuat baik kepada binatang” (al-rifqu bi al-hayawan) (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah,  II: 7901) atau bab “memberi nafkah kepada binatang” (nafaqatu al-hayawan) (Fiqh al-Sunnah, III: 565). Oleh karena itu umat Islam dilarang menyakitibinatang atau menyiksanya,bahkan juga dilarang untuk ‘sekedar’ menelantarkannya.

Al-Quran telah mengajarkan beberapa prinsip moral bagi umat Islam dalam memandang dan berperilaku terhadap binatang. Misalnya al-Quran mengajarkan bahwa binatang adalah ciptaan Allah yang  dapat dijadikan bahan renungan dan sumber inspirasi bagi orang yang beriman (QS. 2: 164, 42: 29, 45: 4). Al-Quran menegaskan bahwa binatang walau bagaimanapun adalah makhluk Allah seperti halnya manusia; diciptakan oleh Allah dan berhak mendapatkan perlakuan baik dan layak. Dalam al-Quran, Allah berfirman:  

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلاَّ أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ

Artinya: Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kamu”.. [QS. al-An’am (6): 38]

Islam mengajarkan bahwa berbuat baik dan lemah lembuh harus dilakukan kepada siapa saja, termasuk juga kepada binatang.


أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَ :يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ وَيُعْطِى عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِى عَلَى الْعُنْفِ وَمَا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  لاَ يُعْطِى عَلَى مَا سِوَاهُ . 
[رواه مسلم]

Artinya: “Bahwasanya Rasululllah saw bersabda: Wahai Aisyah, sesungguhnya Allah itu Maha Lembut dan menyukai kelembutan. Allah akan memberikan kepada orang yang berlemah lembut sesuatu yang tidak diberikan kepada orang yang kasar dan yang tidak juga diberikan kepada yang lain.[HR. Muslim]

Berbuat baik kepada binatang bahkan disebutkan dapat menjadi jalan atau cara memperoleh pahala dan mendapat ampunan Allah dari dosa-dosa yang pernah dilakukan. Kisah yang tercantum dalam hadis berikut ini penting untuk direnungkan: 

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَ بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِى بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ، فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ، فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنَ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِى كَانَ بَلَغَ بِى، فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلأَ خُفَّهُ، ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ، فَسَقَى الْكَلْبَ، فَشَكَرَ اللهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ. قَالُوا:يَا رَسُولَ اللهِ وَإِنَّ لَنَا فِى الْبَهَائِمِ أَجْرًا. فَقَالَ:فِى كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ .
 [متفق عليه]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw pernah bercerita: Suatu ketika ada seorang laki-laki yang melewati satu jalan dalam keadaan sangat kehausan. Kemudian ia menemukan sumur. Ia pun berhenti di sumur itu dan meminum airnya. Ketika ia selesai dan beranjak dari sumur itu, ia menemukan seekor anjing yang menjulur-julurkan lidah sembari memakan tanah yang lembab karena saking hausnya. Si lelaki itu kemudian bergumam, ‘anjing ini telah sampai rasa haus yang sangat, seperti yang tadi aku rasakan’. Ia pun kembali ke sumur dan mengisi sepatunya dengan air, kemudian ia  memegangi anjing tersebut dengan tangan dan memberinya minum. Allah kemudian memberinya pahala dan mengampuni dosa-dosanya. Para sahabat kemudian bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apa di dalam binatang ada (potensi) pahala juga bagi kami?’ Rasulullah menjawab: pada setiap yang memiliki hati yang basah (makhluk hidup) ada (potensi) pahala.”  
[HR. Mutaffaqun Alaihi]

Setelah terlebih dahulu menekankan pentingnya berkasih sayang terhadap binatang, Islam kemudian membuat regulasi dan batasan (syariah) dalam hal memanfaatkan dan berinteraksi dengan binatang. Aturan umum dari regulasi tersebut misalnya Islam mengajarkan tentang halalnya binatang ternak (QS. 16: 66, 22: 28, 23: 21), dan binatang laut (HR. Abu Dawud dan an-Nasai) untuk dimakan. Islam mendorong agar manusia memfungsikan binatang sebagai partner untuk membantunya mencari rezeki (QS. 5: 4, 16: 5-6) dan sebagai alat transportasi (40: 79). Selain itu, Islam kemudian mengharamkan binatang yang kotor (QS. 7: 157), binatang buas yang bertaring dan bercakar (HR. Muslim), dan secara spesifik al-Quran menyebut haramnyababi, binatang yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh dan yang ditanduk (QS. 5: 3).

Berbeda dengan kebanyakan binatang lainnya, binatang yang banyak mendapatkan regulasi khusus dari agama Islam adalah anjing. Terdapat banyak nash yang menyebutkan regulasi tersebut. Dengan pendekatan tematik terhadap berbagai nash yang ada mengenai anjing, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya Islam melarang memelihara anjing, kecuali memanfaatkannya untuk kebutuhan-kebutuhan yang sangat diperlukan. Di luar itu kebutuhan-kebutuhan tersebut, Islam lebih cenderung mengambil sikap mengedepankan larangan.

Dalam hal ini, nash-nash terkait adalah :

1-   يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ . [المائدة (5): 4]

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah “Yang dihalalkan bagimu adalah (makanan) yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu latih menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu.[QS. al-Maidah (5): 4]
 
2-   عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنِ اتَّخَذَ كَلْبًا إِلاَّ كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ صَيْدٍ أَوْ زَرْعٍ انْتَقَصَ مِنْ أَجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطٌ . [رواه مسلم وأبو داود]


Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang memelihara anjing, kecuali anjing untuk menjaga ternak, berburu dan bercocok tanam, maka pahalanya akan berkurang setiap satu hari sebanyak satu qirath.” [HR. Muslim dan Abu Dawud]


3-   عن ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُماَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَ: مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا لَيْسَ بِكَلْبِ مَاشِيَةٍ أَوْ ضَارِيَةٍ ، نَقَصَ كُلَّ يَوْمٍ مِنْ عَمَلِهِ قِيرَاطَانِ . [رواه البخاري ومسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, dari Nabi saw, beliau bersabda: Barangsiapa yang memelihara anjing, selain anjing ternak dan anjing untuk berburu, maka berkuranglah setiap hari dari perbuatannnya dua qirath.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Ayat al-Quran dan dua hadis di atas menunjukkan bahwa menurut ajaran Islam anjing tidak boleh dipergunakan kecuali untuk kepentingan membantu pertanian, menggembalakan hewan atau berburu. Dari tiga fungsi tersebut, para ulama menarik satu illah (kausa hukum) berupa kemanfaatan dalam berinteraksi dengan anjing (Ibnu Bathal, XI: 379). Jika terdapat suatu manfaat tertentu yang bersifat halal, maka anjing boleh digunakan. Oleh karena itubeberapa ulama kemudian memberlakukan kausa tersebut kepada fungsi anjing lainnya, seperti menjaga rumah (al-Mahalla, IX: 13, Fath al-Bari, VII: 171) dan menjadi hewan pelacak. Di luar kepentingan itu, Islam menutup rapat celah-celah untuk memelihara anjing. Memang dalam literatur Islam klasik ditemukan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang jenis hukum memelihara anjing, apakah makruh atau sampai pada derajat haram. Diantara ulama yang menganggap makruh memelihara anjing adalah Ibnu Abdil Barr(XIV: 218), seorang ulama dari Andalusia yang bermazhab Maliki. 

Menurutnya, sesuatu yang dihukumi haram, haruslah bersifat tetap (konstan), tidak kondisional dan tanpa mengenal eksepsi (pengecualian) (Nail al-Authar, XII: 493). Menurutnya, memelihara anjing tidak mencapai derajat haram, karena perbedaan situasi dapat membawa hukumnya menjadi berubah.  Namunlogika ini dapat diselesaikan oleh satu kaedah hukum,  مَا حُرِّمَ لِذَاتِهِ أُبِيْحَ لِلضَّرُوْرَةِ ، وَمَا حُرِّمَ لِلسَدِّ الذَّرِيْعَةِ أُبِيْحَ لِلْحَاجَةِ,artinya ‘sesuatu yang diharamkan karena dzatnya [asalnya], maka ia dapat dibolehkan karena ada suatu kondisi yang mendesak’. Sesuatu yang diharamkan sebagai langkah preventif, maka ia dapat dibolehkan karena ada kebutuhan terhadapnya). Eksepsi atau pengecualian memang dapat terjadi di dalam hal-hal yang haram karena ada situasi yang mengharuskannya atau menghendakinya.

Sebagian besar ulama Islam (seperti al-Nawawi, V; 421, Ibnu Rajab, Ibnu Hajar, XV: 413, al-‘Aini, XXX: 486, al-Shan’ani, IV: 70) berpendapat bahwa memelihara anjing di luar kepentingan yang telah disebutkan di atas hukumnya haram. Di antara indikasi keharaman tersebut adalah keterangan Nabi saw tentang berkurangnya pahala setiap hari sebanyak satu atau dua qirathkarena memelihara anjing. Di dalam ilmu ushul fikih disebutkan bahwa perbuatan haram ditunjukkan tidak semata-mata oleh suatu larangan (al-nahy), tetapi bisa juga oleh implikasi (al-‘uqubah) yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut (Wahbah al-Zuhailiy, I: 86-7).

Beberapa ulama telah berusaha menjelaskan makna “berkurangnya pahala” dan besaran “qirathdalam hadis-hadis di atas. Pengertian “berkurangnya pahala” menurut al-Qariseperti dinukil oleh Mubarakfuri adalah hilangnya pahala masa lalu.Sementara menurut Mubarakfuri sendiri dalam Tuhfatul Ahwadzi (IV: 137) adalah perbuatan baik di masa depan tidak diberi pahala. Tidak ada yang dapat dikomentari dari dua kemungkinan penafsiran tersebut kecuali dengan mengatakan “wallahu a’lam”(hanya Allah yang tahu). Tugas umat Islam adalah mempercayai bahwa perbuatan memelihara anjing dapat berimplikasi negatif pada pahala kitadan mengamalkannya. Sebesar apa implikasi itu, kita serahkan kepada Allah.

Sedangkan pengertian qirath dalam dua hadis di atas menurut para ulama adalah suatu simbol akan kerasnya peringatan dari perbuatan memelihara anjing. Ibnu Bathal (dikutip dari al-Ainiy, XXI: 98) menggunakan istilah innahu ghalazhun alaihim (memelihara anjing adalah perkara berat untuk umat Islam). Sedangkan besaran qirath, menurut para ulama hanya Allah yang tahu (Abadi, VI: 306). Bisa jadi qirath di sini hanya suatu metafora (majaz) untuk suatu perbuatan yang amat tidak disukai oleh Allah.

Di antara ‘illah(kausa atau motif hukum) dari terlarangnya memelihara anjing selain untuk kebutuhan yang disebutkan di atas adalah penegasan dan peringatan dari Rasulullah saw, bahwa malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat (memelihara) anjing. Peringatan Rasulullah tersebut bermakna bahwa rumah tersebut tidak mendapatkan kebaikan, rahmat, keberkahan dan tidak mendapatkan pengampunan dari Allah (al-Nawawi, VII: 207). Hadis yang menerangkan hal tersebut adalah: 

عَنْ أَبِى طَلْحَةَ الأَنْصَارِىِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلم يَقُولُ:لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلاَ تَمَاثِيلُ. [رواه البخاري ومسلم واللفظ له]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Thalhah al-Anshari, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Malaikat tidak masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat anjing (dipelihara) dan patung (untuk disembah)”. [HR. al-Bukhari dan Muslim dengan redaksi dari Muslim].

Suatu catatan diperlukan di sini bahwa makna hadis tersebut tidak berarti bahwa malaikat maut dan malaikat pencatat amal perbuatan manusia juga tidak masuk ke dalam rumah manusia pemelihara anjing, sehingga pemelihara anjing berada pada “zona aman” (ghairu mukallaf). Malaikat-malaikat tersebut tetap menjalankan tugasnya, karena itulah kewajiban yang mereka emban dari Allah.

Dapat disimpulkan dari pemaparan di atas, menurut agama Islam memelihara anjing hanya dapat diperkenankan untuk kebutuhan-kebutuhan yang penting, seperti menjaga ternak, menjaga sawah, menjaga rumah, berburu atau menjadi hewan pelacak. Di luar itu memelihara anjing tidak diperkenankan. Catatan yang perlu diperhatikan adalah untuk kebutuhan pengecualian tersebut hendaknya anjing jangan sampai masuk ke dalam rumah (ruangan yang dihuni manusia), karena hal tersebut akan menghalangi masuknya kebaikan, karena membuat orang lain tidak nyaman, merasa takut dan risih. Selain itu keberadaan anjing di luar rumah harus benar-benar diperhatikan agar jangan sampai menjilati pemiliknya atau menjilati barang-barang lain yang bersih. Karena jilatan anjing, sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadis, adalah suatu najis yang harus dihindari (HR al-Bukhari dan Muslim).

Mengenai hewan apa saja yang boleh dipelihara oleh keluarga muslim, kita dapat bersandarkan pada satu kaedah fikih,اْلأَصْلُ فِي اْلأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ مَا دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلَي تَحْرِيْمِهِ, artinya ‘pada dasarnya segala sesuatu itu boleh kecuali setelah ada dalil yang melarang’. Menurut induksi yang kami lakukan, selain hewan yang masuk ke dalam kategori di bawah ini, boleh dipelihara oleh umat Islam:
  1. Hewan yang menimbulkan bahaya atau kerusakan, seperti ular, singa dan harimau.Dalilnya adalah hadis nabi : لاَ ضَرَرَ وَ لاَ ضِرَارَ, tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain (HR. al-Hakim).
  2. Hewan yang pada dasarnya haram untuk dimakan, seperti babi (QS. 2: 173).
  3. Hewan yang termasuk satwa langka dan dilindungi oleh undang-undang. Sebaiknya hewan jenis ini tidak dipelihara di rumah, tetapi diserahkan kepada kebun binatang, suaka margasatwa atau perlindungan pemerintah (QS. 4: 83).  
Demikian jawaban dari kami.
Wallahu a‘lam bish-shawab. M-Rf*)

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Hukum Meminta Uang Ganti Sperma Binatang

$
0
0
KARENA SAPI PEJANTAN TIDAK DAPAT MEMBAJAK

Pertanyaan Dari:
Seorang jamaah masjid di Yogyakarta
(disidangkan pada hari Jum’at, 17 Zulhijjah1433 H / 2 November 2012)

Pertanyaan:

Orang tua saya petani. Kebetulan saat ini punya sapi dua; betina dan jantan. Banyak tetangga komentar pejantannya sangat baik. Dua sapi ini digunakan untuk membajak di sawah. Namun tidak jarang saat pagi akan membajak sawah, datang seseorang membawa sapi betina untuk dikawinkan. Ayah saya tahu masa birahi sapi terbatas waktunya, maka harus segera dikawinkan. Lalu, beliau mengurungkan membajak ke sawah karena sapi jantannya untuk melayani yang betina. Kadang-kadang ayah saya diberi uang sekalipun tidak sebanding dengan hasil membajak. Pertanyaan saya:

  1. Bolehkah ayah saya menerima uang karena mengizinkan sapi pejantannya untuk memenuhi kepentingan sapi betina milik orang lain?
  2. Untuk tidak merugikan dalam pekerjaan, dapatkah ayah saya meminta uang ganti yang sebanding karena tidak dapat membajak?
  3. Apakah tidak sama dengan jual beli sperma binatang?

 Jawaban:

Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan. Sebelumnya perlu kami tegaskan terlebih dahulu, karena ayah anda dan si pemilik sapi betina tidak pernah melakukan akad jual beli, maka apa yang dilakukan ayah saudara dan si pemilik sapi betina itu bukanlah akad jual beli. Oleh karenanya masalah yang dihadapi ayah saudara itu tidak bisa disamakan dengan jual beli sperma binatang.

Pada dasarnya menerima suatu pemberian dari orang lain adalah hal yang dibolehkan, apapun bentuknya asalkan tidak membahayakan orang lain. Termasuk dalam hal ini adalah menerima uang yang diberikan seseorang karena ia merasa telah dibantu dan sebagai ucapan terima kasih. Oleh karenanya, diperbolehkan bagi ayah saudara untuk menerima uang yang diberikan tetangga anda tersebut.

Kemudian pertanyaan saudara tentang bolehkah ayah saudara meminta uang ganti karena sapinya tidak bisa membajak, perlu kiranya dijelaskan dahulu tentang prinsip-prinsip muamalah yang ada dalam Islam. Paling tidak ada empat prinsip muamalah yang relevan dengan pertanyaan saudara. Pertama, pada dasarnya segala macam bentuk muamalah adalah mubah (boleh), kecuali yang ditentukan lain oleh al-Qur’an dan Sunnah Rasulsaw. Kedua, muamalah dilaksanakan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur paksaan. Ketiga, muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam hidup bermasyarakat. Keempat, muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-unsur penganiayaan dan unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan (Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), hlm. 15-16).

Pertanyaan saudara tersebut bila dilihat dari kacamata prinsip muamalah tidak melanggar sama sekali, jika ayah anda dan si pemilik sapi betina memang telah sama-sama rela dan setuju dengan apa yang disepakati sebelumnya serta yang paling penting adalah tidak ada yang terzhalimi (dirugikan) satu sama lain. Bahkan dengan adanya semacam uang ganti dari si pemilik sapi betina kepada ayah anda, ayah anda bisa menggunakan uang tersebut - selain untuk memenuhi kehidupan sehari-hari - untuk membeli makanan yang lebih bergizi sehingga kesehatan sapi dapat terjaga.

Berdasarkan prinsip-prinsip muamalah di atas, dan mengingat pula permintaan mengawinkan itu tidak berlangsung setiap hari yang dapat menghambat pekerjaan membajak sekaligus menghambat income keluarga, Namun tidak ada salahnya sekali waktu ayah saudara mau meminjamkan sapi jantannya untuk mengawini sapi betina orang lain tanpa meminta uang ganti (karena sapi itu memang tidak dipersiapkan untuk menjadi pejantan yang memerlukan pemeliharaan dan pengawasan khusus oleh ahlinya). Dengan begitu ayah saudara insya Allah akan memperoleh keutamaan seperti yang disebutkan dalam sebuah hadis Rasulullah saw di bawah ini,

عَنْ أَبِي عَامِرٍ الْهَوْزِنِي عَنْ أَبِي كَبْشَةَ الأَنْمَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ  أَتَاهُ، فَقَالَ: أَطْرِقْنِي فَرَسَكَ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ أَطْرَقَ فَرَسًا فَعَقِبَ لَهُ الْفَرَسُ كاَنَ لَهُ كَأَجْرِ سَبْعِيْنَ فَرَساً حُمِلَ عَلَيْهاَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ وَإِنْ لَمْ تُعْقِبْ كاَنَ لَهُ كَأَجْرِ فَرَسٍ حُمِلَ عَلَيْهِ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ.[رواه ابن حبان و صححه شعيب الأرنؤوط]



Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Amir Al-Hauzini dari Abu Kabsyah Al-Anmari ra, bahwa ia datang ke rumahnya (Abu Amir) lalu mengatakan: Pinjami aku kuda pejantanmu untuk mengawini kuda betina milikku, karena sungguh aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang meminjamkan kuda pejantannya secara cuma-cuma, lalu kuda betina yang dibuahi itu berketurunan, maka pemilik kuda jantan tersebut akan mendapatkan pahala tujuh puluh kuda yang dijadikan sebagai binatang tunggangan di jalan Allah. Jika tidak berketurunan maka pemilik kuda pejantan akan mendapatkan pahala seekor kuda yang digunakan sebagai hewan tunggangan di jalan Allah”.”[HR Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Syu’aib al-Arnauth]

Demikan jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam bish-shawab.


Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Viewing all 97 articles
Browse latest View live