Quantcast
Channel: Fatwa Tarjih Muhammadiyah
Viewing all 97 articles
Browse latest View live

Cara Duduk Dalam Shalat 2 Rakaat

$
0
0

CARA DUDUK DALAM SALAT DUA RAKAAT

Pertanyaan dari:
Sri Hartanti, Semarang, Jawa Tengah
(Disidangkan pada hari Jum’at, 11 Jumadilawal 1431 H / 30 April 2010)


Pertanyaan:

Assalamualaikum Wr. Wb
Pada salat dengan bilangan 3 atau 4 rakaat (salat maghrib, isya, dhuhur, damn asar) ada tahiyat awal dan tahiyat akhir. Pada tahiyat awal, posisi duduknya dengan iftirasy, yaitu kaki kiri tepat di bawah pantat, sedang tahiyat akhir, posisi duduknya dengan tawarruk, yaitu kaki kiri menyilang bersentuhan dengan kaki kanan.
Pertanyaan saya adalah, untuk salat dengan 2 rakaat misalnya salat subuh, apakah posisi duduknya dengan duduk iftirasy karena dalam salat dua rakaat tersebut tidak ada tahiyat akhir, atau dengan cara duduk tawarruk terus salam karena tidak ada tahiyat awal.


Jawaban:

Wa’alaikumsalam Wr. Wb
Terima kasih atas pertanyaan yang telah ibu sampaikan. Untuk menjawab pertanyaan ibu, perlu kami sampaikan beberapa hal:

Pertama, bahwa dalam agama Islam salat merupakan bentuk ibadah yang dikategorikan ibadah mahdhah (khusus). Oleh karena itu, tata cara pelaksanaannya harus mengikuti contoh dan tuntunan Rasulullah saw. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis riwayat Malik bin al-Huwairis, Rasulullah saw bersabda;

...وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ [رواه البخارى، باب الأذان للمسافر إذا كانوا جماعة]
Artinya: “Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kalian melihat aku melakukan salat, apabila (waktu) salat telah tiba, maka, hendaklah salah seorang diantaramu mengumandangkan adzan, dan hendaklah orang yang lebih tua diantaramu menjadi imam.” [HR al-Bukhari, bab al-Adzan li al-musafiri idza kaanu fi jamaa’ah]
Kedua, ada beberapa hadis yang menjelaskan tentang cara duduk dalam salat. Adapun hadis-hadis yang menjelaskan tentang cara duduk dalam salat tersebut adalah sebagai berikut:
1- أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ الْحُوَيْرِثِ اللَّيْثِيُّ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فَإِذَا كَانَ فِي وِتْرٍ مِنْ صَلَاتِهِ لَمْ يَنْهَضْ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَاعِدًا [رواه البخارى، باب من استوى قاعدا فى وتر من صلاته]
Artinya: “Malik bin al-Huwairis al-Laisy telah menceritakan kepada kami, bahwa dirinya pernah melihat Nabi saw. sedang melakukan salat, apabila beliau duduk pada rakaat ganjil dari salatnya beliau tidak berdiri, sampai beliau duduk dengan lurus”. [HR al-Bukhari; bab man istawa qaidan fi witrin min salatihi]

2-  عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَفْتِحُ الصَّلَاةَ بِالتَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةَ بِ الْحَمْد لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَكَانَ إِذَا رَكَعَ لَمْ يُشْخِصْ رَأْسَهُ وَلَمْ يُصَوِّبْهُ وَلَكِنْ بَيْنَ ذَلِكَ وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَائِمًا وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ السَّجْدَةِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِيَ جَالِسًا وَكَانَ يَقُولُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ وَكَانَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى وَكَانَ يَنْهَى عَنْ عُقْبَةِ الشَّيْطَانِ وَيَنْهَى أَنْ يَفْتَرِشَ الرَّجُلُ ذِرَاعَيْهِ افْتِرَاشَ السَّبُعِ وَكَانَ يَخْتِمُ الصَّلَاةَ بِالتَّسْلِيمِ [مسلم، كتاب الصلاة، باب ما بجمع صفة الصلاة ومايفتتح به ويختتم به]
Artinya:“Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata; adalah Rasulullah saw. memulai salatnya dengan (mengucapkan) takbir dan (melanjutkan) dengan (bacaan) alhamdu lillahi rabbil’alamin. Apabila beliau ruku’, maka tidak mengangkat kepalanya dan tidak pula merendahkannya,tetapi beliau melakukannya dengan tengah-tengah (lurus). Apabila beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ (bangkit), beliau  tidak (segera) sujud sampai berdiri tegak. Dan apabila beliau mengangkat kepalanya dari sujud, maka beliau pun tidak (segera) sujud (yang kedua) sampai beliau sempurna duduknya, dan pada setiap dua rakaat beliau membaca “at-Tahiyat” dan (pada saat itu) beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya. Beliau melarang (orang salat) duduk di atas kedua tumitnya dan melarang pula seseorang menghamparkan kedua hastanya hamparan binatang buas, dan beliau mengakhiri salatnya dengan membaca salam.” [HR Muslim; kitab as-Salat, bab Maa Yajma’u shifat as-Salat wa maa Yuftatahu bihi wa Yuhtatamu bihi]
3- عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْتَتِحُ الصَّلَاةَ بِالتَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةِ بِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ وَكَانَ إِذَا رَكَعَ لَمْ يُشَخِّصْ رَأْسَهُ وَلَمْ يُصَوِّبْهُ وَلَكِنْ بَيْنَ ذَلِكَ وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَائِمًا وَكَانَ يَقُولُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّاتُ وَكَانَ إِذَا جَلَسَ يَفْرِشُ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى [رواه أبو داود]
Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata; adalah Rasulullah saw. memulai salatnya dengan (mengucapkan) takbir dan (melanjutkan) dengan (bacaan) al-hamdu lillahi rabbil-‘alamin. Apabila beliau ruku’, maka tidak mengangkat kepalanya dan tidak pula menundukkannya,tetapi beliau melakukannya dengan tengah-tengah (lurus). Apabila beliau mengangkat kepalanya (bangkit) dari ruku’ , beliau  tidak (segera melakukan) sujud sampai berdiri tegak. Dan pada setiap dua rakaat beliau membaca “at-Tahiyat” dan beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya.” [HR. Abu Dawud]
4- عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ عَطَاءٍ أَنَّهُ كَانَ جَالِسًا مَعَ نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرْنَا صَلَاةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ السَّاعِدِيُّ أَنَا كُنْتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ فَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ اسْتَوَى حَتَّى يَعُودَ كُلُّ فَقَارٍ مَكَانَهُ فَإِذَا سَجَدَ وَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلَا قَابِضِهِمَا وَاسْتَقْبَلَ بِأَطْرَافِ أَصَابِعِ رِجْلَيْهِ الْقِبْلَةَ فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ [رواه البخارى، كتاب الاذان، باب سنة الجلوس فى التشهد]
Artinya:“Diriwayatkan dari Muhammad bin Amr bin ‘Atha bahwa dirinya pernah duduk bersama dengan para shahabat, maka kami membicarakan tentang salat Nabi Saw, (ketika itu) Abu Humaidas-Sa’idi berkata; aku adalah orang yang paling mengerti salat Rasulullah Saw. Aku melihat beliau, apabila bertakbir, mengangkat kedua tangannya sejurus dengan bahunya dan apabila ruku' meletakkan kedua tangannya pada kedua lututnya, lalu membungkukkan punggungnya, kemudian apabila mengangkat kepalanya beliau berdiri tegak sehingga luruslah tiap tulang-tulang punggungnya seperti semula; lalu apabila sujud, beliau meletakkan kedua telapak tangannya pada tanah dengan tidak menempelkan kedua lengan dan tidak merapatkannya (pada lambung), dan ujung-ujung jari kakinya dihadapkan ke arah Qiblat. Kemudian apabila duduk pada raka'at yang kedua beliau duduk di atas kaki kirinya dan menumpukkan kaki yang kanan. Kemudian apabila duduk pada raka'at yang terakhir ia majukan kaki kirinya dan menumpukkan kaki kanannya serta duduk bertumpu pada pantatnya." [HR. al-Bukhari, kitab al-Adzan, bab sunnah al-Julus fii at-Tasyahhud]
5- عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ تَنْقَضِي فِيهِمَا الصَّلَاةُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ [رواه النسائى، كتاب السهو، باب صفة الجلوس فى الركعة التى يقضى فيها الصلاة]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Humaid as-Sa’idy ia berkata, adalah Nabi Saw. apabila beliau duduk pada rakaat kedua dimana  salat berakhir, beliau memajukan kaki kirinya dan duduk pada bagian kirinya dengan cara tawarruk, lalu ia mengucapkan salam”. [HR an-Nasa’i, Kitab as-Sahwi, Bab Sifat al-Julus fi ar-Rak’ati allati yaqdhi fiiha as-Salat]
Dengan memperhatikan hadis-hadis tentang tata cara salat di atas, dapat disimpulkan bahwa  duduk dalam pelaksanaan salat ada dua macam, yaitu:
Pertama, duduk iftirasy, yaitu duduk dengan cara duduk di atas telapak kaki kiri dan telapak kaki kanan ditegakkan.
Kedua, duduk tawarruk, yaitu duduk dengan cara memajukan kaki kiri di bawah kaki kanan dan menegakkan telapak kaki kanan.
Berdasarkan kemiripan matan dan kesamaan isi, dilalah hadits-hadits tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu:
1.      Kelompok pertama (hadits no.1). Dilalah hadits  ini menunjukkan adanya duduk istirahat ketika akan berdiri dari rakaat ganjil (rakaat pertama dan tiga).
2.      Kelompok kedua (hadis no. 2 dan 3). Dilalah kedua hadis tersebut menunjukkan bahwa Nabi saw. pada setiap 2 rakaat membaca at-tahiyat (tasyahud) dan duduk dengan cara duduk iftirasy, dan Nabi melarang duduk di atas kedua tumitnya dan melarang pula kepada orang yang salat menghamparkan kedua hastanya seperti binatang.
3.      Kelompok ketiga (hadis no.4-5). Dilalah kedua hadis tersebut menjelaskan apabila beliau duduk pada rakaat kedua beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (duduk iftirasy) dan apabila duduk pada rakaat terakhir, beliau memajukkan kaki kiri (di bawah kaki kanan) dan menegakkan kaki kanannya (duduk tawarruk)
Secara lahiriyah (tekstual) hadis no. 3 (hadis riwayat Abu Dawud melalui Aisyah ra.) menunjukkan bahwa pada setiap dua rakaat membaca “at-Tahiyyat” atau “tasyahud” dan duduk dengan cara duduk iftirasy. Pemahaman ini tidak tepat karena pada hadis lain seperti  pada hadis no. 4,  hadis riwayat al-Bukhari melalui Abu Hamid as-Sa’idy menjelaskan bahwa beliau (Abu Hamid) mengetahui betul cara shalat Rasulullah, apabila duduk pada rakaat kedua beliau duduk dengan cara duduk iftirasy dan apabila duduk pada rakaat terakhir duduk dengan cara duduk tawarruk. Dan pada hadis no. 5 (hadis riwayat an-Nasa’i dari Abu Hamid as-Sa’idy menjelaskan bahwa Nabi saw apabila duduk pada rakaat kedua yang merupakan rakaat terakhir duduk dengan cara duduk tawarruk.
Menurut kami hadis no. 3 (hadis riwayat Abu Dawud melalui Aisyah ra.) tidak difahami secara kemutlakannnya, akan tetapi harus dihubungkan dengan pemahaman terhadap hadis lainnya (seperti hadis no. 4 dan 5)  yang semakna.
Dengan demikian untuk memahami hadis tersebut (hadis no. 3, hadis riwayat Abu Dawud melalui Aisyah ra.) perlu dikaitkan dengan pemahaman terhadap hadis lainnya, dan menurut kami pemahaman semacam ini lebih tepat.  
Oleh karena itu, pemahaman terhadap hadis tersebut (hadis no. 3, hadis riwayat Abu Dawud melalui Aisyah ra.) adalah cara duduk pada rakaat kedua yang bukan merupakan rakaat terakhir dengan cara duduk “iftirasy”, sedang duduk pada rakaat kedua dan rakaat tersebut merupakan rakaat terakhir (yang diakhiri dengan mengucapkan salam), maka duduknya dengan cara duduk “tawarruk” (memasukkan kaki kiri di bawah kakik kanan, dan menegakkan jari-jari kaki kanan serta duduk di lantai). Pemahaman semaca ini  dikuatkan dengan pemahaman dari beberapa hadis yang menjelaskan bahwa cara duduk pada rakaat terakhir (baik jumlah rakaatnya 2, 3 atau 4) dengan cara duduk ”tawarruk”.  Adapun hadis-hadis tersebut adalah sebagai berikut;
1- أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ يَعْنِي ابْنَ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَ بْنِ عَطَاءٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حُمَيْدٍ السَّاعِدِيَّ فِي عَشْرَةٍ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُمْ أَبُو قَتَادَةَ قَالَ أَبُو حُمَيْدٍأَنَا أَعْلَمُكُمْ بِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا فَلِمَ فَوَاللَّهِ مَا كُنْتَ بِأَكْثَرِنَا لَهُ تَبَعًا وَلَا أَقْدَمِنَا لَهُ صُحْبَةً قَالَ بَلَى قَالُوا فَاعْرِضْ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ يُكَبِّرُ حَتَّى يَقِرَّ كُلُّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلًا ثُمَّ يَقْرَأُ ثُمَّ يُكَبِّرُ فَيَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ يَرْكَعُ وَيَضَعُ رَاحَتَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ يَعْتَدِلُ فَلَا يَصُبُّ رَأْسَهُ وَلَا يُقْنِعُ ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ فَيَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ثُمَّ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ مُعْتَدِلًا ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ يَهْوِي إِلَى الْأَرْضِ فَيُجَافِي يَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ وَيَثْنِي رِجْلَهُ الْيُسْرَى فَيَقْعُدُ عَلَيْهَا وَيَفْتَحُ أَصَابِعَ رِجْلَيْهِ إِذَا سَجَدَ وَيَسْجُدُ ثُمَّ يَقُولُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ وَيَثْنِي رِجْلَهُ الْيُسْرَى فَيَقْعُدُ عَلَيْهَا حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ إِلَى مَوْضِعِهِ ثُمَّ يَصْنَعُ فِي الْأُخْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ إِذَا قَامَ مِنْ الرَّكْعَتَيْنِ كَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ كَمَا كَبَّرَ عِنْدَ افْتِتَاحِ الصَّلَاةِ ثُمَّ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي بَقِيَّةِ صَلَاتِهِ حَتَّى إِذَا كَانَتْ السَّجْدَةُ الَّتِي فِيهَا التَّسْلِيمُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ مُتَوَرِّكًا عَلَى شِقِّهِ الْأَيْسَرِقَالُوا صَدَقْتَ هَكَذَا كَانَ يُصَلِّي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (أبو داود:الصلاة: افتتاح الصلاة)
2- عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّقَالَ سَمِعْتُهُ وَهُوَ فِي عَشَرَةٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدُهُمْ أَبُو قَتَادَةَ بْنُ رِبْعِيٍّ يَقُولُ أَنَا أَعْلَمُكُمْ بِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لَهُ مَا كُنْتَ أَقْدَمَنَا صُحْبَةً وَلَا أَكْثَرَنَا لَهُ تَبَاعَةً قَالَ بَلَى قَالُوا فَاعْرِضْ قَالَ كَانَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ اعْتَدَلَ قَائِمًا وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى حَاذَى بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ فَرَكَعَ ثُمَّ اعْتَدَلَ فَلَمْ يَصُبَّ رَأْسَهُ وَلَمْ يَقْنَعْهُ وَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ثُمَّ رَفَعَ وَاعْتَدَلَ حَتَّى رَجَعَ كُلُّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلًا ثُمَّ هَوَى سَاجِدًا وَقَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ جَافَى وَفَتَحَ عَضُدَيْهِ عَنْ بَطْنِهِ وَفَتَحَ أَصَابِعَ رِجْلَيْهِ ثُمَّ ثَنَى رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَيْهَا وَاعْتَدَلَ حَتَّى رَجَعَ كُلُّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ ثُمَّ هَوَى سَاجِدًا وَقَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ ثَنَى رِجْلَهُ وَقَعَدَ عَلَيْهَا حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عُضْوٍ إِلَى مَوْضِعِهِ ثُمَّ نَهَضَ فَصَنَعَ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ ذَلِكَ حَتَّى إِذَا قَامَ مِنْ السَّجْدَتَيْنِ كَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ كَمَا صَنَعَ حِينَ افْتَتَحَ الصَّلَاةَ ثُمَّ صَنَعَ كَذَلِكَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ الرَّكْعَةُ الَّتِي تَنْقَضِي فِيهَا الصَّلَاةُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ (أحمد:باقى مسند الأنصارى)
8- عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ سَمِعْتُهُ وَهُوَ فِي عَشَرَةٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَدُهُمْ أَبُو قَتَادَةَ بْنُ رِبْعِيٍّ يَقُولُ أَنَا أَعْلَمُكُمْ بِصَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا مَا كُنْتَ أَقْدَمَنَا لَهُ صُحْبَةً وَلَا أَكْثَرَنَا لَهُ إِتْيَانًا قَالَ بَلَى قَالُوا فَاعْرِضْ فَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ اعْتَدَلَ قَائِمًا وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ وَرَكَعَ ثُمَّ اعْتَدَلَ فَلَمْ يُصَوِّبْ رَأْسَهُ وَلَمْ يُقْنِعْ وَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ وَرَفَعَ يَدَيْهِ وَاعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلًا ثُمَّ أَهْوَى إِلَى الْأَرْضِ سَاجِدًا ثُمَّ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ جَافَى عَضُدَيْهِ عَنْ إِبْطَيْهِ وَفَتَخَ أَصَابِعَ رِجْلَيْهِ ثُمَّ ثَنَى رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَيْهَا ثُمَّ اعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلًا ثُمَّ أَهْوَى سَاجِدًا ثُمَّ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ ثَنَى رِجْلَهُ وَقَعَدَ وَاعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ ثُمَّ نَهَضَ ثُمَّ صَنَعَ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ ذَلِكَ حَتَّى إِذَا قَامَ مِنْ السَّجْدَتَيْنِ كَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ كَمَا صَنَعَ حِينَ افْتَتَحَ الصَّلَاةَ ثُمَّ صَنَعَ كَذَلِكَ حَتَّى كَانَتْ الرَّكْعَةُ الَّتِي تَنْقَضِي فِيهَا صَلَاتُهُ أَخَّرَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَى شِقِّهِ مُتَوَرِّكًا ثُمَّ سَلَّمَ (الترمذى:الصلاة)
Dengan mengkaji ulang pemahaman terhadap hadits-hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kalimat “raka‘at terakhir”  (وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَة)  yaitu duduk tahiyat terakhir dalam shalat, baik shalat tersebut jumlah rakaatnya dua rakaat, tiga rakaat atau empat rakaat, baik dalam shalat wajib maupun shalat sunnat yang setelah selesai berdo'a lalu ditutup dengan salam. Cara duduk pada rakaat terakhir tersebut sama, yaitu dengan cara duduk tawarruk.

Wallahu a‘lam bish-shawab. *A.56h)






 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Keistimewaan Meninggal Hari Rabu atau Jumat ?

$
0
0

KEISTIMEWAAN MENINGGAL PADA HARI RABU ATAU HARI JUM’AT

Pertanyaan Dari:
Muhni Abdullah <muhni.abdullah@gmail.com>
(disidangkan pada hari Jum’at, 4 Syakban 1431 H / 16 Juli 2010)


Pertanyaan:

Kami mohon penjelasan dan jawaban atas pertanyaan berikut :
1.      Apa keistimewaan bagi orang yang wafat pada hari Rabu atau hari Jum'at?
2.      Apa dan bagaimana dasarnya (hadisnya)?
Demikian pertanyaan kami, atas perhatian dan jawabannya kami menghaturkan terimakasih.


Jawaban:

Terima kasih atas pertanyaan yang saudara ajukan. Sebelum menjawab pertanyaan saudara, perlu kami sampaikan terlebih dahulu hal-hal berikut. Permasalahan keutamaan meninggal di hari Jum’at, seperti yang saudara ajukan, adalah termasuk permasalahan ghaib yang oleh agama Islam hanya dibolehkan percaya pada argumentasi yang bersandarkan pada dalil-dalil sam’iy-naqliy (yang datang dari al-Qur’an dan as-Sunnah). Dalam hal yang termasuk perkara ghaib, kita tidak diperkenankan untuk membuat cerita atau meyakini sesuatu kecuali berdasarkan keterangan langsung dari nash al-Qur’an maupun as-Sunnah. Tidak ada ruang bagi kita untuk melakukan analogi dan menggunakan akal untuk mengetahui permasalahan-permasalahan ghaib. Allah SWT telah berfirman:

قُلْ لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ [الأنعام، 6: 50]
Artinya:“Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang gaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah: Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat? Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?” [QS. al-An’am (6): 50]
Nabi Muhammad saw juga telah bersabda:

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. [رواه البخاري ومسلم]
Artinya:“Barangsiapa mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini sesuatu yang bukan berasal darinya maka ia tertolak.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Dalam riwayat lain disebutkan:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ [رواه مسلم]
Artinya: “Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang tidak berdasar pada urusan (agama) kami, maka amalan itu tertolak.” [HR Muslim]

Mengenai pertanyaan keutamaan meninggal di hari Rabu, kami telah meniliti sejumlah kitab-kitab hadis dan mencari kemungkinan adanya keterangan dari Nabi saw tentang keistimewaan meninggal pada hari tersebut. Namun kami tidak menemukan keterangan sama sekali yang menjawab pertanyaan saudara. Dengan demikian, jika berkembang di masyarakat suatu kepercayaan mengenai keutamaan meninggal di hari Rabu, maka ia merupakan kepercayaan yang tidak berdasar sama sekali.
Mengenai keutamaan meninggal pada hari Jum’at, terdapat sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- : مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ وَقَاهُ اللَّهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ [رواه الترمذي]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah seorang muslim meninggal pada hari Jumat atau malam Jumat kecuali Allah akan melindunginya dari adzab kubur.” [Sunan at-Tirmidzi/vol. III/hadis ke 1074]

Secara lengkap sanad dari hadis ini adalah: at-Tirmidzi à Muhammad bin Basysyar à Abdurrahman bin Mahdi dan Abu Amir al-Aqadi à Hisyam bin Sa’ad à Sa’id bin Abi Hilal à Rabiah bin Saif à Abdullah bin Amr bin Ash.

Para ulama hadis berbeda pendapat tentang status hadis ini. Imam at-Tirmidzi (w. 360 H) sendiri yang meriwayatkan hadis ini dalam kitab Sunan at-Tirmidzi menilainya sebagai hadis gharib (karena diriwayatkan oleh satu orang saja) dan munqathi’ karena sanadnya tidak bersambung (laisa bi muttashil). Menurutnya, tokoh yang bernama Rabiah bin Saif (w. 120 H) dari generasi tabiut tabiin yang meriwayatkan hadis ini tidak pernah bertemu dengan sahabat Nabi Abdullah bin Amr bin Ash (w. 63 H), sehingga ada satu perawi dari tingkatan tabiin yang hilang. Status gharib yang diberikan oleh at-Tirmidzi ini kemudian diteruskan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) seorang ulama hadis yang wafat di Mesir dengan label dhaif dalam kitabnya Fathul-Bari (vol. IV/hal. 467).

Mengenai status munqathi (terputus perawi dari kalangan tabiin) pada hadis ini, berdasarkan penelitian kami ditemukan bahwa sesungguhnya Imam at-Tirmidzi dalam kitabnya yang lain, Nawadir al-Ushul (sebuah kitab hadis yang mengkompilasi hadis-hadis dhaif), meriwayatkan hadis ini secara muttashil (bersambung). Nama tokoh dari generasi tabiin yang bertemu dengan Rabiah bin Saif dan meriwayatkan hadis dari Abdullah bin Amr bin Ash yang sebelumnya hilang dalam Sunan at-Timidzi adalah Iyadh bin Aqabah al-Fihri dan Ali bin Ma’badh (at-Tirmidzi, Nawadir al-Ushul, vol. IV, hal. 161). Imam al-Qurtubhi (w. 671 H) dalam at-Tadzkirah (hal. 167) dan Ibnu Qayyim (w. 751 H) dalam ar-Ruh (hal. 161) demikian juga membantah status munqathi untuk hadis ini.

Namun, jika hadis ini selamat dari tadh’if (pendaifan) dari aspek ketersambungan mata rantai perawinya (ittishal as-sanad), hadis ini ternyata masih memiliki problem lain, yaitu dari sisi kredibilitas perawi. Dari rangkaian para perawi tersebut di atas, Saif bin Rabi’ah adalah sosok yang bermasalah di kalangan ulama hadis. Imam al-Bukhari memberikan komentar bahwa padanya ada kemunkaran (lahu manakir) (lihat at-Tarikh al-Kabir, vol. III, hal. 290). Ibnu Hibban menyebutnya kana yukhtiu katsiran (ia banyak berbuat salah dalam meriwayatkan hadis) (lihat ats-Tsiqat, vol. VI, hal. 301). Komentar Ibnu Yunus terhadapnya sama dengan komentar al-Bukhari, dan an-Nasai melemahkan hadis-hadisnya (Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzibu al-Tahdzib, vol. III, hal. 221, adz-Dzahabi, Mizan al-I’tidalfi Naqdi ar-Rijal, vol. III, hal. 67).

Hadis yang serupa dengan sedikit perbedaan redaksi juga diriwayatkan oleh Ahmad (w. 241 H) dalam Musnad (hadis ke-6582, 7050), Abu Ya’la dalam Musnad (hadis ke-4113) dan Abd bin Humaid juga dalam Musnad-nya (hadis ke-323). Namun, karena hadis-hadis tersebut juga berstatus dlaif, maka ia tidak bisa mengangkat derajat hadis ini naik menjadi hasan. Pada hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abd bin Humaid terdapat sosok terdapat yang bernama Baqiyah bin Walid yang dikomentari oleh Ibnu Hajar bahwa hadis-hadisnya munkar (karena ia sering lupa atau banyak melakukan kesalahan atau seorang fasik) dan ia banyak menyembunyikan cacat hadis (mudallis) (Lisan al-Mizan, vol. VI, hal. 184, Tabaqah al-Mudallisin, vol. I, hal. 49). Dalam sanad Abu Ya’la terdapat Yazid ar-Raqasyi yang dikomentari ahli hadis bahwa ia adalah seorang yang selalu terobsesi dengan perbuatan ibadah serta kalimat-kalimat yang baik, namun sayang sekali ia tidak memiliki kemampuan mengetahui dan membedakan mana yang hadis dan mana yang bukan hadis (Ibnu Abi Hatim, al-Majruhin, vol. 3, hal. 98)

Selain dari sisi sanad-nya, hadis tersebut memiliki kejanggalan dari aspek matan (isi) nya. Kejanggalan tersebut karena ia bertentangan dengan kemahaadilan Allah. Masalah keterbebasan dari azab kubur bergantung dengan amal ibadah seorang hamba selama hidup di dunia, bukan pada waktu kapan ia meninggal. Dalam al-Qur’an banyak sekali ditekankan perintah agar memperbanyak amal saleh di dunia, karena akan dipetik hasilnya di akhirat kelak. Oleh karena itu, jika ada orang yang semasa hidupnya adalah pelaku maksiat, lalu karena semata-mata ia meninggal pada hari Jum’at dan berhak menerima pembebasan dari azab kubur, ia berarti telah menerima sesuatu yang tidak sesuai dengan amalannya di dunia. Sebaliknya, seorang hamba Allah yang saleh, karena ia tidak meninggal di hari Jum’at ia tidak akan mendapatkan pengampunan dari azab kubur. Tentu saja Allah SWT terlindung dari ketidakadilan tersebut, karena Allah SWT telah berfirman:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ . وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ . [الزلزلة، 99: 7-8[
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” [QS. al-Zalzalah (99): 7-8]
Di tempat lain Allah SWT juga berfirman:

وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ [البقرة، 2: 281]
Artinya: :Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikit pun tidak dirugikan” [QS. al-Baqarah (2): 281]
Dalam kaedah hadis disebutkan bahwa suatu hadis hanya bisa diterima jika ia tidak bertentangan dengan pokok-pokok ajaran Islam.

إِذَا رَأَيْتَ الْحَدِيْثَ يُبَايِنُ اْلمَعْقُوْلَ أَوْ يُخَالِفُ الْمَنْقُوْلَ أَوْ يُنَاقِضُ الْأُصُوْلَ فَاعْلَمْ أَنَّهُ مَوْضُوْعٌ
Artinya:“Jika engkau melihat satu hadis yang bertentangan dengan akal sehat, menyelisihi nash (yang lebih sahih) dan bertentangan (menabrak) pokok-pokok agama, maka ketahuilah ia adalah hadis yang palsu (maudhu’)” (as-Suyuthi, Tadribu ar-Rawi, vol. I, hal. 277, Albani, Irwau al-Ghalil, vol. IV, hal. 112).

Kesimpulannya, keutamaan meninggal di hari Rabu tidak ada dasarnya sama sekali, dengan demikian tidak dapat dipercayai. Adapun keutamaan meninggal di hari Jum’at dasarnya lemah, sehingga tidak dapat dijadikan hujjah (argumentasi).
Wallahu A’lam bish-shawab. *M-Rf)





 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Bayar Fidyah

$
0
0

FIDYAH DIBAYAR SEKALIGUS
DAN FIDYAH DENGAN UANG

Pertanyaan Dari:
Hj. Maryam, Midai, Kepri,
pertanyaan disampaikan lewat telpon, tanggal 4 Ramadan 1431 H
(disidangkan [ada hari Jum'at, 17 Ramadan 1431 H / 27 Agustus 2010 M)

Tanya:
Saya seorang perempuan lanjut usia (80 tahun lebih). Saya merasa tidak kuat menjalankan ibadah puasa, karena apabila saya berpuasa badan saya menjadi sangat lemah dan bisa sakit. Saya berkeinginan membayar fidyah. Tetapi kata orang di kampung saya, fidyah harus dibayar setiap hari dan tidak boleh dibayar sekaligus, serta harus dalam bentuk makanan dan tidak boleh dalam bentuk uang. Saya tidak mampu menyiapkan makanan dan mengantarkannya kepada fakir miskin setiap hari karena tempat yang agak jauh dan karena usia saya yang sudah sangat lanjut. Pertanyaannya: Apa memang tidak boleh dibayarkan sekaligus baik di depan atau di belakang untuk orang dalam kondisi seperti saya? Dan apa memang harus dalam bentuk makanan dan apa tidak boleh dalam bentuk uang? Terima kasih atas perhatiannya.

Jawab:
Pertama-tama disampaikan terima kasih kepada Ibu Hj. Maryam atas pertanyaanya. Puasa Ramadan adalah salah satu kewajiban agama yang difardukan atas setiap orang mukmin dewasa baik laki-laki maupun perempuan, dan puasa Ramadan itu merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima yang wajib dijalankan. Tujuan ibadah puasa itu adalah sebagai saranapendidikan untuk membentuk manusia yang bertakwa dan sekaligus sebagai wujud ketaatan kepada Allah swt. Namun demikian Allah SWT di dalam al-Quran memberi perkecualian dari kewajiban melaksanakan puasa Ramadan atas orang-orang tertentu yang karena suatu atau lain sebab tidak bisa melaksanakan kewajiban tersebut. Perkecualian ini diberikan sesuai dengan prinsip agama Islam itu sendiri bahwa agama ini bertujuan untuk memberi rahmat kepada manusia [Q. 21: 107] dan tidak bertujuan mempersulit manusia [Q. 5: 6; 22:78]. Bahkan dalam ayat puasa sendiri ditegaskan bahwa prinsip pelaksanaan puasa itu adalah memudahkan sebagaimana firman Allah,

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ [البقرة : 185]
Artinya:Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu [Q. 2: 185].

Atas dasar itu kepada orang-orang tertentu diberi keringanan (rukhsah) dalam menjalankan ibadah tersebut. Orang-orang yang mendapat keringanan itu adalah:
1.      Orang yang memiliki uzur sementara, yaitu orang sakit dan bepergian (musafir). Mereka ini dibolehkan tidak puasa, tetapi diwajibkan membayarnya (mengqadanya) pada hari lain di luar bulan Ramadan. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam ayat 184 surat al-Baqarah yang menegaskan,
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ [البقرة: 184]

Artinya: Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan atas orang-orang yang berat menjalankannya wajib membayar fidyah (jika mereka tidak berpuasa), yaitu: memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu adalah lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui [Q. 2: 184].

2.      Orang yang memiliki uzur tetap, yaitu orang lanjut usia yang tidak lagi mampu berpuasa – seperti Ibu Hj. Maryam yang berusia 80 tahun lebih dan tidak kuat lagi berpuasa –, orang sakit menahun, orang yang penghidupannya adalah dengan bekerja berat seperti kuli pekerja tambang, kuli pelabuhan atau semacam itu yang apabila berpuasa mereka akan mengalami kesulitan besar dan merasa teramat berat dan menderita. Termasuk juga kategori ini adalah wanita hamil dan menyusui. Kepada mereka ini diberi rukhsah (dispensasi, keringanan) untuk tidak berpuasa, tetapi diwajibkan membayar fidyah, yaitu memberi makan satu orang miskin untuk satu hari tidak puasa dengan kadar sekurang-kurangnya satu mud bahan pangan pokok (6 ons). Dasarnya adalah potongan ayat yang telah dikutip di atas,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ [البقرة : 184]
Artinya: Dan wajib atas orang-orang yang berat menjalankannya membayar fidyah (jika mereka tidak berpuasa), yaitu: memberi makan seorang miskin [Q. 2: 184]

Dalam Tafsir al-Manar ditegaskan bahwa al-ladzina yuthiqunahu berarti orang-orang yang amat berat dan amat sulit menjalankan puasa meskipun jika dipaksakan bisa dilakukan tetapi dengan masyaqqah (keadaan berat) yang besar (Juz II: 126]. Arti ini meliputi orang-orang tua yang lemah, orang sakit menahun, pekerja berat di pertambangan, kuli pelabuhan, tukang becak, supir kenderaan besar jarak jauh, termasuk wanita hamil dan menyusui. Mereka diberi rukhsah (keringanan) untuk tidak berpuasa tetapi diwajibkan menggantinya dengan membayar fidyah. Akan tetapi, sesuai dengan akhir ayat 184 al-Baqarah yang dikutip di muka, jika mereka ini mengupayakan untuk berpuasa, maka hal itu lebih baik. Jika seandainya mereka miskin sehingga tidak mampu membayar fidyah, maka tidak ada kewajiban membayar fidyah, sesuai dengan firman Allah,

لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا [البقرة: 286]
Artinya: Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sebatas kemampuannya [Q. 2: 286]

Mengenai cara membayar fidyah, apakah boleh dilakukan sekaligus saja atau diecer dengan cara membayar setiap kali tidak berpuasa Ramadan, maka sesungguhnya tidak ada ketentuan bahwa wajib dibayar secara diecer setiap hari tidak puasa. Karena itu boleh dilakukan pembayaran fidyah secara sekaligus baik sejak saat mulai tidak puasa di bulan Ramadan maupun setelah selesai seluruh bulan Ramadan karena itu lebih memudahkan sesuai dengan firman Allah dalam Q. 2: 185 yang telah dikutip di atas dan dalam firman Allah,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ [الحج: 78]
Artinya: Dan tiadalah Dia (Allah) membuat kesulitan bagimu dalam (manjalankan) agama [Q. 22: 78]

Fatwa dari Lajnah Daimah dari Arab Saudi juga membolehkan membayar fidyah secara sekaligus sebagaimana boleh juga membayarnya secara diecer setiap hari tidak puasa.

Demikian pula, sesuai zahir ayat 184 al-Baqarah di atas, boleh seluruh fidyah itu diberikan kepada satu orang miskin saja atau, bilamana fidyah berupa memberikan makanan, boleh diberikan dalam satu hari saja kepada sejumlah orang miskin sesuai jumlah hari tidak berpuasa (memberi makanan satu hari saja untuk 30 orang miskin karena membayar fidyah puasa 30 hari). Menurut Syaikh Usaimin pandangan ini dianut oleh kebanyakan ulama Syafi’iah, Hanabilah, dan sejumlah ulama Malikiah. Ibn Muflih (w. 763/1362) dalam Kitab al-Furu’ (IV: 448) dan Ibn al-Mardawi (w. 885/1480) dalam kitab al-Insaf (III: 291), keduanya dari mazhab Hanbali, menegaskan, “Boleh menyalurkan pemberian makan kepada satu orang miskin secara sekaligus.” Artinya seluruh fidyah diberikan kepada satu orang miskin saja. Penegasan yang sama juga dikemukakan oleh Imam an-Nawawi (w. 676/1277), seorang ulama Syafi’iah, dalam kitab Raudlah ath-Thalibin (II: 246).  Al-Bahuti (w. 1046/1636) dalam Kasysyaful-Qina’ mendasarkan kebolehan tersebut kepada zahir ayat fidyah 184 al-Baqarah di atas. Seperti halnya memberikan seluruh fidyah boleh kepada satu orang, maka boleh pula memberikan fidyah, bila dalam bentuk makanan siap santap, kepada tiga puluh orang miskin dalam satu hari saja, sesuai dengan zahir ayat fidyah di atas, juga sesuai dengan yang dipraktikkan oleh Sahabat Anas Ibn Malik r.a., salah seorang Sahabat Nabi saw yang ketika di usia tua tidak mampu lagi berpuasa, lalu beliau mengundang makan 30 orang untuk satu hari saja. Asar ini diriwayatkan oleh Ibn Mullas (w. 270/883) dalam Suba’iyyat Abi al-Ma’ali, h. 18).

Adapun mendahulukan fidyah sebelum masuknya bulan Ramadan tidak dapat dibenarkan karena fidyah itu adalah pengganti dari suatu kewajiban yang tidak dapat dilaksanakan karena uzur tetap. Sementara puasa Ramadan sendiri, sebelum masuknya bulan Ramadan, belum wajib dilaksanakan, jadi belum ada kewajiban sehingga karenanya tidak mungkin ada fidyah pengganti kewajiban.

Mengenai wujud fidyah yang dikeluarkan dapat berupa (1) makanan siap santap seperti dilakukan oleh Anas Ibn Malik r.a. dalam riwayat Ibn Mullas di atas, (2) bahan pangan seperti gandum, cantel, tamar, atau beras. Hal ini difahami dari keumuman kata tha’am (makanan) di dalam ayat fidyah (Q. 2: 184) di atas. Di dalam hadis-hadis Nabi saw kata tha’am dipakai dalam dua makna, yaitu makanan siap santap dan bahan pangan. Dalam hadis riwayat Muslim Nabi saw bersabda,
إذا دُعِيَ أحدكم إلى طَعَامٍ فَلْيُجِبْ
Artinya: Apabila seseorang kamu diundang makan (tha’am), maka hendaklah ia memenuhinya (HR Muslim, Sahih Muslim, II: 1054).
           
Dalam hadis ini kata tha’am berarti makanan siap santap. Sementara itu dalam hadis lain kata tha’am berarti bahan pangan, misalnya dalam hadis Abu Hurairah,
عن أبي هُرَيْرَةَ قال مَرَّ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِرَجُلٍ يَبِيعُ طَعَامًا فَأَدْخَلَ يَدَهُ فيه فإذا هو مَغْشُوشٌ فقال رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ليس مِنَّا من غَشَّ [رواه ابن ماجه]
Artinya: Dari Abu Hurairah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw lewat pada seorang penjual bahan pangan (tha’am), lalu beliau memasukkan tangannya ke dalam bahan pangan itu, ternyata tipuan. Lalu Rasulullah saw berkata: Tidak termasuk umat kami orang yang melakukan penipuan (HR Ibn Majah). 

Dalam hadis ini dan banyak hadis lainnya kata tha’am berarti bahan pangan. Jadi oleh karena itu fidyah dapat diberikan dalam bentuk makanan jadi atau dalam bentuk bahan pangan. Yang dimaksud dengan bahan pangan di sini adalah bahan pangan yang berupa makanan pokok seperti gandum, cantel atau tamar. Di Indonesia bahan pangan pokok adalah beras, yang dibayarkan sebanyak 6 ons untuk satu hari meninggalkan puasa karena tidak mampu berpuasa.

Dapatkah fidyah dibayarkan dalam bentuk uang senilai bahan pangan? Mengenai pembayaran fidyah dengan uang, maka terdapat perbedaan pendapat ulama. Fatwa Lajnah Daimah dari Arab Saudi dengan mufti Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn Baz tidak membolehkan membayar fidyah dalam bentuk uang. Tetapi fatwa itu tidak menjelaskan alasannya. Fatwa itu hanya berbunyi singkat, “Tidak memenuhi ketentuan apabila engkau membayar fidyah dengan uang sebagai ganti memberi makan.” Fatwa-fatwa lain seperti fatwa dari al-Azhar yang diberikan oleh Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf dan fatwa dari Dar al-Ifta yang dikeluarkan oleh Syaikh Muhammad ‘Ali Jum’ah dan fatwa dari Komisi Fatwa Kuwait membolehkan membayar fidyah dengan uang. Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf dalam salah satu fatwanya menegaskan bahwa, “Apabila sakitnya tidak dimungkinkan untuk sembuh lagi, maka wajib atasnya membayar fidyah seperti halnya orang tua yang lemah … … … dan fidyah itu adalah memberi makan dua kali kepada satu orang miskin atau memberi bahan pangan seperti gandum setengah sha’ atau membayar nilainya (dengan uang).” Dalam fatwa ini disebut memberi makan orang miskin dua kali dikarenakan dalam satu hari orang makan sekurang-kurangnya dua kali.

Dilihat dari segi sifat likuid dari uang sehingga lebih luwes dapat digunakan untuk kebutuhan yang diprioritaskan oleh orang miskin, maka menurut kami pendapat yang membolehkan pembayaran fidyah dengan uang adalah lebih rajih. Ulama-ulama Hanafi ketika membolehkan memberikan zakat fitrah kepada orang miskin dalam bentuk uang beralasan bahwa uang lebih likuid sifatnya dan lebih luwes penggunaannya. Selain itu juga karena alasan bahwa zakat fitrah dan juga fidyah adalah kewajiban yang terletak dalam zimmah, bukan kewajiban kehartaan yang dikaitkan kepada jenis harta tertentu. Atas dasar itu kami berpendapat bahwa pembayaran fidyah dalam bentuk uang adalah sah dan memenuhi ketentuan perintah fidyah.

Dalam fatwa Majelis Tarjih yang termuat pada buku Tanya Jawab Agama, jilid 2: 126-128, ketika menjawab pertanyaan tentang kebolehan membayar zakat fitrah dan fidyah dengan uang, diuraikan panjang lebar arti kata tha’am dalam ungkapan tha’am al-miskin yang disebutkan dalam al-Quran. Menyarikan uraiannya yang panjang, fatwa itu menegasakan,

Ringkasnya, pengertian tha’am dalam pengertian bahasa, pengertian dalam al-Quran maupun dalam Hadis mempunyai beberapa arti. Dapat berarti makanan, baik yang mentah maupun yang matang. Dapat pula berupa suatu pemberian yang dapat digunakan untuk memberikan santunan terhadap keperluan hidup fakir/miskin, seperti uang [h. 128].

Akan tetapi dalam kesimpulan kurang diberi penegasan mengenai boleh atau tidak boleh memberikan fidyah dalam bentuk uang. Fatwa itu menyatakan, “Kesimpulannya membayar fitrah dan fidyah, bagi yang tidak mampu melaksanakan puasa, yang utama dibayar dengan memberikan makanan yang masih mentah seperti beras dan sesamanya yang menjadi makanan harian si pembayar” [h. 128].

Oleh sebab itu, dalam fatwa yang sekarang ini dipertegas kebolehan membayar fidyah dalam wujud uang berdasarkan alasan seperti telah dikemukakan di atas.

Uraian panjang di atas, menyangkut pertanyaan yang diajukan, dapat diringkas sebagai berikut:

1.      Pembayaran fidyah bagi orang yang tidak menjalankan puasa Ramadan karena uzur tetap seperti usia sangat lanjut, sakit menahun, hamil dan menyusui, atau kerja sangat berat terus menerus dapat dilakukan dalam bentuk memberi jamuan makan (makanan siap santap), memberi bahan pangan 6 ons beras, atau dalam bentuk uang senilai bahan pangan tersebut.

2.      Pembayaran fidyah bagi orang sebagaimana tersebut pada angka 1 di atas dapat dilakukan sekaligus dan dapat pula dilakukan setiap hari serta dapat dilakukan di muka sejak awal Ramadan dan dapat pula dilakukan kemudian, tetapi tidak dapat dilakukan sebelum masuknya bulan Ramadan.

3.      Pembayaran fidyah bagi orang sebagaimana tersebut pada angka 1 di atas dapat dilakukan dengan memberikan seluruh fidyah kepada satu orang miskin saja.

4.      Pembayaran fidyah bagi orang sebagaimana tersebut pada angka 1 di atas, bilamana berupa memberi makanan siap santap, dapat dilakukan satu hari untuk seluruh hari Ramadan tidak puasa dengan menjamu makan orang miskin sejumlah hari Ramadan yang tidak dipuasai.

Wallahu a'lam bish-shawab. *sy)



 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Download File Fatwa Tarjih 2003 - 2010

$
0
0


Fatwa Tahun 2010

Fatwa Tahun 2009

Fatwa Tahun 2008

Fatwa Tahun 2007


Fatwa Tahun 2006 

Fatwa Tahun 2005

Fatwa Tahun 2004

Fatwa Tahun 2003
  1. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Allah Bersemayam di Arsy
  2. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Angkat Tangan Dalam Berdoa
  3. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Aurat dan Jilbab
  4. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Bid'ah
  5. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Dam Lepas Pakaian Ihram
  6. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Fulanan @ al-Furqan 28
  7. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Hadits Riwayat Al-Hakim
  8. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Haji Biaya APBD
  9. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Hukum Pertunangan
  10. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Fulanan @ al-Furqan 28
  11. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Khutbah Lebih Panjang dari Shalat
  12. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Kyai Kharismatik, Madzhab dan Partai
  13. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Lailatul-Qadar
  14. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Mandi Wajib, Tayamum, Pakai Sarung
  15. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Muhammadiyah dan Tahlilan
  16. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Pacaran dalam Islam
  17. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Puasa Hari Arafah
  18. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Sedekap Sesudah I'tidal dll
  19. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Perkemahan Putri HW
  20. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Shalat Faitah (Qadla)
  21. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Shalat Jenazah Idiot
  22. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Shalat Jumat Tidak di Masjid
  23. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Shalawat dan Kitab Barzanji
  24. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Tabungan Haji, dll
  25. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Tahiyatul Masjid Saat Khutbah
  26. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Talak - Rujuk dengan Emosi
  27. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Tato, Rajah, Air Tape, dll
  28. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Umur Bulan Hijriyah
  29. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Waktu Bayar Dam dll
  30. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Wali Nikah
  31. Fatwa Tarjih Muhammadiyah - Wanita Keputihan

 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Qadla (Membayar) Puasa Ramadhan

$
0
0




QADLA (MEMBAYAR) PUASA RAMADHAN

Pertanyaan Dari:
Daru Hagni, alamat: daru_hagni@yahoo.com.sg
(disidangkan pada hari Jum’at, 25 Syakban 1431 H / 6 Agustus 2010)


Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Kepada Pak Ustadz/Bu Ustadz yang terhormat, langsung saja pada pertanyaan. Ada teman yang karena sakit membatalkan puasanya ketika Ramadhan. Masalahnya, teman saya itu lalai sehingga sampai lewat Ramadhan berikutnya masih belum terbayar juga. Bagaimana mengatasi hal ini? Bisakah diqadla meskipun sudah lewat Ramadhan? Haruskah juga membayar fidyah selain qadla? Bagaimana jika lewatnya bukan hanya satu Ramadhan tapi dua Ramadhan dan masih belum bayar? Mohon pencerahannya, terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb


Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan saudara, pertanyaan yang sama pernah dibahas dalam Tanya Jawab Agama Jilid 1 halaman 106, namun demikian perlu kami perjelas kembali sebagai berikut.
Untuk menjawab pertanyaan saudara, ada baiknya kita pelajari kembali surat al-Baqarah (2): 184;
أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ.
Artinya:“(yaitu) Dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditingggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [QS. al-Baqarah (2): 184]
Dari ayat tersebut dapat diambil pelajaran bahwa ada beberapa golongan yang mendapat rukhsah (keringanan) untuk tidak melaksanakan puasa Ramadhan, tetapi dibebankan kepada mereka untuk mengganti puasa yang mereka tinggalkan. Adapun golongan tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, orang yang sakit dan orang yang dalam perjalanan boleh tidak berpuasa pada bulan Ramadhan tetapi orang tersebut wajib mengganti (qadla) pada hari lain. Adapun yang dimaksud hari yang lain adalah hari di luar bulan Ramadhan. Golongan ini sama dengan perempuan yang sedang haid dan tidak berpuasa Ramadhan, maka wajib mengganti puasa (qadla) di luar bulan Ramadhan sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan dari Aisyah r.a.:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كاَنَ يُصِيْبَنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَلاَةِ.[رواه مسلم]
Artinya:“Diriwayatkan dari Aisyah r.a., bahwa ia berkata: Kami kadang-kadang mengalami itu (haid), maka kami diperintahkan untuk mengganti puasa dan tidak diperintahkan untuk mengganti shalat.” [HR. Muslim]
Kedua, orang yang merasa berat untuk berpuasa maka ia wajib mengganti dengan membayar fidyah, tidak perlu mengganti dengan puasa (qadla). Adapun yang termasuk dalam golongan ini adalah orang yang sudah tua seperti hadis dari Ibnu Abbas:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رُخِصَ لِلشَيْخِ الْكَبِيْرِ أَنْ يُفْطِرَ، وَيُطْعِمَ عَلىَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ. [رواه الحاكم، حديث صحيح على شرط البخاري]
Artinya:“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata: Telah diringankan bagi orang yang sudah tua untuk berbuka puasa (di bulan Ramadhan) dan memberi makan (fidyah) kepada orang miskin setiap hari (sesuai dengan hari yang ia tidak puasa) dan tidak wajib mengganti dengan puasa (qadla).” [HR. al-Hakim, hadis ini shahih menurut syarat al-Bukhari]
Juga termasuk di dalamnya adalah perempuan yang hamil dan perempuan yang sedang dalam masa menyusui, sebagaimana perkataan Ibnu Abbas kepada seorang ibu yang hamil:
أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّذِيْ لاَ يُطِيْقُ فَعَلَيْكَ اْلفِدَاءَ وَلاَ قَضَاءَ.[رواه البزار وصححه الدارقطني]
Artinya:“Engkau termasuk orang yang berat berpuasa, maka engkau wajib membayar fidyah dan tidak usah mengganti puasa (qadla).” [HR. al-Bazar dan dishahihkan ad-Daruquthni]
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ لِلْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنْ الْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ.[رواه النسائي]
Artinya:“Diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah membebaskan puasa dan separuh shalat bagi orang yang bepergian serta membebaskan puasa dari perempuan yang hamil dan menyusui.” [HR. an-Nasa’i]
Adapun kaitan dengan pertanyaan saudara bahwa penyebab batalnya puasa adalah karena sakit, maka caranya adalah mengganti dengan puasa (qadla) di hari lain di luar bulan Ramadhan, tidak perlu membayar fidyah. Hal ini karena fidyah hanya diperuntukkan bagi orang tertentu yang dalam katagori “yutiqunahu” atau orang yang berat untuk berpuasa.
Sedangkan waktu untuk membayar puasa adalah pada hari-hari lain di luar bulan Ramadhan, dan berdasarkan keumuman ayat tersebut tidak ada batas akhir waktu kapan harus mengganti puasa (qadla). Namun demikian baik sekali jika mengganti puasa dilaksanakan sebelum Ramadhan berikutnya. Tetapi jika tidak bisa melakukannya karena ada hal yang membuat terhalang, maka tetap harus diganti setelah Ramadhan berikutnya. Selain itu, orang yang telah lalai tersebut agar beristigfar, memohon ampun dan bertaubat untuk tidak mengulangi kelalaiannya dan tetap wajib membayar hutang puasanya setelah Ramadhan berikutnya.
Wallahu a‘lam bish-shawab. *ay)
(sudah dikoreksi oleh; A.56hudin, Selasa 2 Nop 2010)



Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Shalat Tarawih 4 Rakaat Salam, Batal?

$
0
0
SHALAT TARAWIH 4 RAKAAT SALAM, BATAL?

Pertanyaan Dari:
H. Imam Santosa, S.Ag., Secang, Magelang, Jawa Tengah
(disidangkan pada hari Jum’at, 4 Syakban 1431 H / 16 Juli 2010)


Pertanyaan:

Membaca uraian saudara yang panjang lebar berikut argumentasi dan kutipan-­kutipan baik yang bersumber dari kitab الملخص الفقهيkarangan Dr. Shaleh bin Abdullah Fauzan serta Fatwa Syeikh Abdul Aziz bin Baz, dapatlah kami tangkap maksud yang saudara sampaikan, yaitu: Shalat Tarawih empat rakaat sekali salam adalah bermasalah alias batal sehingga perlu dikaji ulang.


Jawaban:

Sebelum menjawab substansi pertanyaan saudara, ada baiknya lebih dahulu diberikan penjelasan singkat tentang sebab-sebab perbedaan pendapat ulama, antara lain sebagai berikut:
1.      Karena perbedaan makna lafadz
2.      Karena masalah pemahaman hadis (nash)
3.      Karena berbenturan suatu dalil dengan pegangan pokok antara seorang dengan lainnya.
4.      Masalah Ta‘arudl dan Tarjih
5.      Perbedaan pandang terhadap dalil yang dipandang sahih oleh sebahagian ahli dan tidak sahih menurut sebahagian lainnya.
Kemudian berikut ini kami sebutkan lebih dahulu beberapa hadis yang berhubungan dengan shalat malam (qiyamul-lail/qiyamu Ramadan), terjemahnya, serta penjelasan­penjelasannya, sebelum sampai pada kesimpulannya.
1.      Hadis Nabi saw riwayat al-Bukhari dari Aisyah r.a.
قَالَتْ عَائِشَةُ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرَغَ مِنْ صَلاَةِ اْلعِشَاءِ وَهِيَ الَّتِي يَدْعُو النَّاسُ اْلعَتَمَةَ إِلَى اْلفَجْرِ اِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ مَا بَيْنَكُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ. [رواه مسلم]
Artinya: “Aisyah r.a. berkata: Pernah Rasulullah saw shalat pada waktu antara Isya’, dan Subuh, - yang dikenal orang dengan istilah ‘atamah”, sebanyak sebelas raka’at, yaitu beliau salam pada tiap-tiap dua rakaat, dan beliau shalat witir satu raka’at.” [HR. Muslim]
2.      Hadis Nabi saw riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a.
قَالَتْ عَائِشَةُ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مِنْ اللَّيْلِ ثَلاَثََ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْ ذَلِكَ بِخَمْسٍ وَلاَ يَجْلِسُ فِي شَيْئٍ مِنْهُنَّ إِلاَّ فِي آخِرِهِنَّ. [رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Aisyah r.a. berkata: Pernah Rasulullah saw shalat malam tiga belas raka’at, beliau berwitir lima raka’at dan beliau tidak duduk antara raka’at-raka’at itu melainkan pada akhirnya.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
3.      Hadis Nabi saw riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a.
عَنْ عَائِشَةَ حِيْنَ سُئِلَتْ عَنْ صَلاَةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ قَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّي ثَلاَثاً [رواه البخاري ومسلم].
Artinya: “Diriwayatkan dari ‘Aisyah, ketika ia ditanya mengenai shalat Rasulullah saw di bulan Ramadhan. Aisyah menjawab: Nabi saw tidak pernah melakukan shalat sunnat di bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat dan jangan engkau tanya bagaimana bagus dan indahnya. Kemudian beliau shalat lagi empat rakaat, dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]


Penjelasan:

Hadis no. 1, menunjukkan bahwa Nabi saw pernah melakukan shalat malam dengan kaifiyah dua raka’at lima kali salam dan witir satu raka’at. Hadis no. 2, menunjukkan bahwa Nabi saw shalat delapan raka’at, tetapi tidak diterangkan berapa kali salam. Adapun hadis no. 3, menunjukkan bahwa Nabi saw shalat malam di bulan Ramadhan delapan raka’at dengan dua kali salam, artinya tiap empat raka’at sekali salam, kemudian dilanjutkan shalat witir tiga raka’at dan salam.
Mungkin timbul pertanyaan, dari mana kita memperoleh pengertian sesudah shalat empat raka’at lalu salam? Pertanyaan tersebut dapat dijawab sebagai berikut: Pertama dari perkataan كَيْفَ(bagaimana) yang menunjukkan bahwa yang ditanya tentang kaifiyah shalat qiyamu Ramadlan disamping juga menerangkan jumlah raka’atnya. Kedua, kaifiyah itu diperoleh dari lafadz يُصَلِّي أَرْبَعًا. Lafadz itu mengandung makna bersambung (الوصل) secara dzahir (ظاهر); yakni menyambung empat raka’at dengan sekali salam, dan bisa mengandung makna bercerai (الفصل); yakni menceraikan atau memisahkan dua raka’at salam – dua raka’at salam. Namun makna bersambung itu yang lebih nyata dan makna bercerai jauh dari yang dimaksud (بَعِيْدٌ مِنَ اْلمُرَادِ). Demikian ditegaskan oleh Imam ash-Shan’ani dalam kitab Subulus-Salam (Juz 2: 13).
Hadis Aisyah ini menerangkan dalam satu kaifiyah shalat malam Nabi saw, disamping kaifiyah yang lainnya. Hadis Aisyah ini harus diamalkan secara utuh baik raka’at dan kaifiyahnya. Hadis Aisyah ini tidak ditakhshish oleh hadis صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى (shalat malam harus dua raka’at, dua raka’at), dan hadis tersebut tidak mengandung pengertian “Hashar” seperti dikatakan oleh Muhammad bin Nashar. Imam an-Nawawi dalam syarah Muslim mengatakan, shalat malam dengan empat raka’at boleh sekali salam (تسلمة ولحدة) dengan ungkapan beliau وهذا ليبان الجواز(salam sesudah empat raka’at menerangkan hukum boleh (jawaz)). Perkataan an-Nawawi tersebut dikomentari oleh Nashiruddin al-Albaniy dalam bukunya “صلاة التراويح” sebagai berikut:
وَصَدَقَ رَحِمَهُ اللهُ فَقَوْلَ الشَّافِعِيَّةُ: "يَجِبُ أَنْ يُسَلِّمَ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَإِذَا صَلاَّهَا بِسَلاَمٍ وَاحِدٍ لَمْ تَصِحُّ"، كَمَا فِي اْلفِقْهِ عَلَي اْلمَذَاهِبِ اْلأَرْبَعَةِ وَشَرْحِ اْلقَسْطَلاَنِي عَلَي اْلبُخَارِي وَغَيْرِهَا خِلاَفُ هَذَا اْلحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ وَمَنَافٌ لَقَوْلِ النَّوَوِي بِاْلجَوَازِ وَهُوَ مِنْ كِبَارِ اْلعُلَمَاءِ اْلمُحَقِّقِيْنَ فِي اْلمَذْهَبِ الشَّافِعِي فَلاَ عَذْرَ لِأَحَدٍ يُفْتِي بِخَلاَفِهِ. [صلاة التراويح، ص: 17-18]
Artinya: “Dan sungguh benar ucapan Imam an-Nawawi rahimahullah itu, maka mengenai pendapat ulama-ulama Syafi’iyyah bahwa wajib salam tiap dua raka’at dan bila shalat empat raka’at dengan satu salam tidak sah, sebagaimana terdapat dalam kitab fiqih mazhab empat itu dan uraian al-Qasthallani terhadap hadis al-Bukhari dan lainnya, hal itu menyalahi hadis (Aisyah) yang shahih itu serta menafikan terhadap ucapan (pendapat) an-Nawawi yang mengatakan hukum boleh (jawaz) itu. Padahal an-Nawawi salah seorang ulama besar ahli tahqiq dalam mazhab Syafi’i, hal itu tidak bisa ditolerir (dibenarkan) bagi siapapun juga berfatwa menyalahi ucapan beliau itu.” [Shalatut-Tarawih, hal 17-18]
Sebagaimana diketahui hadis Aisyah itu yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim sangat kuat (rajih) dibanding dengan hadis-hadis lainnya tentang qiyamu Ramadlan. Sehubungan hal itu Ibnu al-Qayyim al-Jauzi menulis di dalam kitab Zadul Ma’ad:
وَإِذَا اخْتَلَفَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَعَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فَي شَيْئٍ مِنْ أَمْرِ قِيَامِهِ بِاللَّيْلِ، فَاْلقَوْلُ مَا قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا – حَفِظَتْ مَا لَمْ يَحْفَظِ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، وَهُوَ اْلأَظْهَرُ لِمُلاَزَمَتِهَا لَهُ وَلِمَرْعَاتِهَا ذَلِكَ، وَلِكَوْنِهَا أَعْلَمُ اْلخُلُقِ بِقِيَامِهِ بِاللَّيْلِ، وَابْنُ عَبَّاسٍ إِنَّمَا شَاهِدُهُ لَيْلَةَ اْلمَبِيتِ عِنْدَ خَالَتِهَا (مَيْمُونَةٌ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا). [زاد المعاد: 1: 244]
Artinya: “Dan apabila berbeda riwayat lbnu Abbas dengan riwayat Aisyah dalam sesuatu hal menyangkut shalat malam Nabi saw, maka riwayat yang dipegang adalah riwayat Aisyah r.a. Beliau lebih tahu apa yang tidak diketahui Ibnu Abbas, itulah yang jelas, karena Aisyah selalu mengikuti dan memperhatikan hal itu, Aisyah orang yang lebih mengerti tentang shalat malam Nabi saw, sedangkan Ibnu Abbas hanya menyaksikannya ketika bermalam di rumah bibinya (Maimunnah r.a.). [Zadul Ma’ad, 1: 244]
Diinformasikan oleh Imam asy-Syaukani, bahwa kebanyakan ulama mengatakan, shalat tarawih dua raka’at satu salam hanya sekedar menunjukkan segi afdlal (utama) saja, bukan memberi faedah Hashar (wajib), karena ada riwayat yang sahih dari Nabi saw, bahwa beliau melakukan shalat malam empat raka’at dengan satu salam. Hadis صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَىhanya untuk memberi pengertian/ menunjuk (irsyad) kepada sesuatu yang meringankan saja, artinya shalat dua raka’at dengan satu salam lebih ringan ketimbang empat raka’at sekali salam.
Lebih jauh disebutkan dalam kitab Nailul-Authar, memang ada perbedaan pendapat antara ulama Salaf mengenai mana yang lebih utama (afdlal) antara menceraikan (الفصل= memisahkan 4 raka’at menjadi 2 rakaat satu salam, 2 rakaat satu salam) dan bersambung    (الوصل = empat raka’at dengan satu), sedangkan Imam Muhammad bin Nashar menyatakan sama saja afdlalnya antara menceraikan (الفصل) dan bersambung (الوصل), mengingat ada hadis sahih bahwa Nabi saw berwitir lima raka’at, beliau tidak duduk kecuali pada raka’at yang kelima, serta hadis-hadis lainnya yang menunjukkan kepada bersambung (الوصل). [Nailul-Authar: 2: 38-39]
Mengenai pendapat/ fatwa Syeikh Abdul Aziz bin Baz dalam Majmu‘ Fatawanya dan Dr. Shalih Fauzan bin Abdullah Fauzan dalam bukunya الملخص الفقهيyang mengatakan shalat empat raka’at sekali salam itu salah dan menyalahi sunnah, pendapat itu justru menentangkan sunnah dan terkesan ekstrim. Hal itu sama juga dengan pendapat sementara orang di Indonesia yang menyatakan shalat empat raka’at dengan satu salam adalah ngawur, mereka itu sangat terpengaruh dengan pendapat sebahagian ulama Syafi’i yang fanatik dalam hal tersebut seperti disebutkan oleh Muhammad Nashiruddin al-Albaniy (Kalau ingin memperluas uraian ini merujuklah kepada kitab-kitab shalat Tarawih karangan al-Albaniy itu).
Menurut hemat kami Syeikh Abdul Aziz bin Bas, dalam bidang akidah berpegang kepada ajaran yang dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab, sedang dalam bidang fiqih sangat dipengaruhi oleh paham Ahmad bin Hambal (Hanbali), dan itu umum dianut penduduk Saudi Arabia.
Ahli hadis Indonesia seperti Prof. Dr. T.M. Hasbi ash-Shiddieqy (dalam bukunya Pedoman Shalat hal 514; begitu juga dalam “Koleksi Hadis-Hadis Hukum” Juz 5: hal 130), begitu pula A. Hassan pendiri Persatuan Islam, ahli hadis juga, dalam bukunya “Pelajaran Shalat, hal 283-284 kedua beliau itu berpendapat bahwa shalat tarawih/qiyamu Ramadlan empat raka’at sekali salam adalah sah, itu salah satu kaifiyah shalat malam yang dikerjakan oleh Nabi saw.
Sebagai informasi tambahan kami kutip di sini apa yang ditulis Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ (syarah al-Muhazzab, juz 5: 55), al-Qadli Husein berpendapat bahwa apabila shalat tarawih dilakukan dua puluh raka’at, maka tidak boleh/ tidak sah dikerjakan, empat raka’at sekali salam, tetapi harus dua raka’at sekali salam, bukan yang dimaksud oleh beliau itu shalat tarawih delapan raka’at.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil kaji ulang kami sebagaimana uraian/ penjelasan di atas, maka menurut hemat kami hadis tentang shalat tarawih empat raka’at sekali salam tidak bermasalah, baik dari sisi matan maupun sanadnya. Dalam buku Tuntunan Ramadan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah yang diterbitkan oleh Majalah Suara Muhammadiyah, telah disebutkan bahwa jumlah raka’at shalat tarawih empat raka’at salam dan dua raka’at salam merupakan tanawu’ dalam beribadah, sehingga keduanya dapat diamalkan.
Wallahu ‘alain bish shawab. *th)


 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

I'tiqad Muhammadiyah Tentang Hari Kiamat dan Imam Mahdi serta Hukum Merasa Ada Cairan yang Keluar dari Kemaluan Saat Shalat

$
0
0
I'TIQAD MUHAMMADIYAH TENTANG
HARI KIAMAT DAN IMAM MAHDI
SERTA HUKUM MERASA ADA CAIRAN YANG KELUAR
DARI KEMALUAN SAAT SHALAT

Pertanyaan Dari:
Luqman Amirudin Syarif, luasy-01@plasa.com
(disidangkan pada Jum’at, 23 Muharram 1429 H / 1 Februari 2008 M dan 9 Rabiul Awal 1430 H / 6 Maret 2009 M)


Pertanyaan:

Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Izinkan saya seorang kader muda Muhammadiyah memohon fatwa kepada Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah berkenaan dengan perkara-perkara berikut:
1.      Bagaimana pandangan keyakinan (i’tiqad) Muhammadiyah mengenai tanda-­tanda hari kiamat, seperti: Turunnya kembali Nabi Isa as, kemunculan Dajjal dan Ya’juj Ma’juj?
2.      Bagaimana i’tiqad Muhammadiyah mengenai Imam Mahdi yang akan muncul bersamaan dengan turunnya Nabi Isa a.s.?
3.      Saya mempunyai teman, yang sering merasakan seperti ada yang menetes dari kemaluannya pada waktu sholat. Bagaimana hukumnya?
Demikan, mohon kiranya Majelis Tarjih dan Tajdid berkenan menjawabnya.
Wassalamu'alaikum Wr.Wb.


Jawaban:

1.      Sehubungan dengan pertanyaan No. 1, yaitu tentang tanda-tanda hari kiamat, kalau tanda-tanda itu diterangkan oleh dalil-dalil al-Qur’an dan hadis-hadis yang mutawatir, maka Muhammadiyah meyakininya, karena sesuai dengan manhaj yang dipegang Muhammadiyah, menyangkut soal i’tiqad (keyakinan), dalilnya harus mutawatir. Turunnya Nabi Isa a.s. pada akhir zaman, tidak diterangkan oleh al-Qur’an dan juga oleh hadis-hadis yang mutawatir tetapi oleh hadis shahih saja. Di dalam al-Qur’an surat Ali Imran (3) ayat 55Allah swt berfirman:
إِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَىٰ إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ... [آل عمران، 3: 55]
Artinya:“(ingatlah), ketika Allah berfirman: "Hai Isa, Sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku ...”
[QS. Ali Imran (3): 55]

Sehubungan dengan ayat ini, sebahagian mufassir / para ulama berpendapat dengan mena’wilkan ayat tersebut dengan apa yang diistilahkan mereka dengan “taqdim ta’khir” (mendahulukan dan mengemudiankan), diberikan arti sebagai berikut:

إِنِّي رَافِعَكَ إِلَيَّ وَمُطَهِّرُكَ مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمُتَوَفِّيكَ بَعْدَ أَنْ تَنْزِلَ مِنَ السَّمَاءِ، أَيْ أَنَّهُ رَفَعَهُ إِلَى السَّمَاءِ حَيًّا بِجِسْمِهِ وَرُوحِهِ وَسَيَنْزَلُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ، فَيَحْكُمُ بِشَرِيعَةِ الإِسْلاَمِ ثُمَّ يُمِيتُهُ اللهُ.

Artinya: “Sesungguhnya Aku (Allah) mengangkatmu kepada-Ku, mensucikanmu dari (tipu daya) orang-orang kafir dan (Aku) mewafatkan kamu sesudah kamu turun dan langit,” artinya bahwasannya Allah mengangkatnya ke langit dalam keadaan hidup jasad dan ruhnya dan kelak dia akan turun pada akhir zaman, lalu dia menghukum dengan syariat Islam kemudian Allah mematikannya.
Pendapat ini untuk menampung sejumlah hadis shahih yang mengatakan bahwa Isa a.s. akan turun ke bumi pada akhir zaman, sekalipun hadis-hadis itu tidak sampai kepada derajat mutawatir.
Adapun sebahagian mufassir / ulama yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud dengan perkataan “التوفى” (diwafatkan) adalah الأَمَاتَةُ اْلعَادِيَةُ yang artinya kematian biasa (fisik), sedangkan “الرفع” adalah رَفْعُ الرُّوحِ وَاْلمَكَانَةِ لاَ اْلمَكَانَ كَمَا قَالَ تَعَالَى فَي شَأْنِ إِدْرِيسَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ: وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًا , yang artinya pengangkatan ruh (Isa) dan kedudukannya, bukan tempat (dalam arti fisik) sebagaimana firman Allah swt mengenai keadaan Nabi Idris a.s.: “Dan telah kami angkat dia (Idris) dalam kedudukan yang tinggi (mulia)
Dalam masalah Isa a.s. ini Muhammadiyah condong kepada pendapat yang kedua dan memandang tidak perlu adanya “taqdim dan ta’khir”, karena tidak ada kerumitan dalam memahami ayat 55surat Ali lmran di atas, dengan meminjam ucapan pengarang Tafsir al-Manar:

إِنَّ مُخَالَفَةَ التَّرْتِيبِ فِي الذِّكْرِ لِلتَّرْتِيبِ فِي اْلوُجُودِ لاَ يَأتِي فِي اْلكَلاَمِ الْبَلِيغِ إِلاَّ لِنَكْتَةٍ، وَلاَ نَكْتَةَ هَذَا لِتَقْدِيمِ التُّوُفِّيِ عَلَى الرَّفْعِ إِذْ الرَّفْعُ هَوَ اْلأَهَّمُ لِمَا فِيهِ مِنَ اْلبِشَارَةِ بِالنَّجَاةِ وَرِفْعَةِ اْلمَكَانِ.
Artinya: “Bahwa perbedaan tertib (urutan) dalam sebutan itu untuk memberi pengertian tertib dalam wujudnya tidak tampil dalam perkataan yang baligh kecuali karena ada kerumitan, dan di sini tidak ada kerumitan untuk mendahulukan kematian atas pengangkatan, justru pengangkatan itu yang lebih penting karena di dalamnya mengandung berita gembira dengan kemenangan dan tinggi kedudukan itu.”

Mengenai kemunculan Dabbah dan Ya’juj Ma’juj, hal itu diyakini sepenuhnya oleh Muhammadiyah karena diterangkan oleh al-Qur’an, masing­-masing dalam surat an-Naml ayat 82 dan dalam surat al-Anbiya ayat 96-97, sekalipun secara mujmal dan mubham tanpa ada rinciannya. Sedangkan Dajjal, tidak disebutkan dalam al-Qur'an, tetapi disebutkan dalam hadits-hadits shahih dan hampir mendekati derajat mutawatir, atau paling tidak bersifat masyhur.

2.      Mengenai pertanyaan No. 2, sebelum kami menegaskan keyakinan Muhammadiyah terhadap Imam Mahdi yang akan muncul pada akhir zaman, perlu anda ketahui bahwa paham tentang adanya Imam Mahdi berkembang dalam kalangan Syiah Imamiyah. Menurut Syiah Imamiyah pada akhir zaman akan datang seorang khalifah yang adil dari keturunan Ali bin Abi Thalib r.a. dengan nama-nama Mahdi, yang akan berkuasa di seluruh dunia Islam.
Paham tentang Imam Mahdi pada mulanya termasuk rekayasa dan strategi Syiah Imamiyah untuk mengimbangi kerajaan Bani Umayyah yang memerintah dengan penuh penindasan kepada pengikut Ali bin Abi Thalib pada waktu itu. Sementara menunggu munculnya Imam Mahdi, maka dunia ini dipimpin oleh tokoh-tokoh spiritual Syiah yang kasat mata (rijalul qhaib) yang susunannya terdiri dari seorang Quthub atau Qhaus yang diberi nama Insan Kamil, empat orang Autad sebagai menteri, tujuh orang Abdal, dua belas orang Nukaba’ dan tiga ratus orang Nujaba.
Dengan mudah dapat dibantah bahwa kerajaan batin itu yang dikendalikan oleh orang-orang kasat mata tersebut (rijalul qhaib) pada hakikatnya tidak ada, itu hanya imajinasi orang Syiah, tidak bisa diterima oleh akal dan naql (Syara). Begitu pula dengan Imam Mahdi yang dalam masyarakat Jawa disebut Ratu Adil. Muhammadiyah tidak meyakini adanya Imam Mahdi, karena tidak berdasar kepada dalil-dalil yang mutawatir.
Menurut Ibnu Khaldun, bahwa cerita tentang Imam Mahdi sangat simpang siur sumbernya dari golongan Syiah, tidak jelas ujung pangkalnya. Soal Imam Mahdi oleh musuh-musuh Islam dipakai sebagai senjata untuk merusak Islam, seperti adanya klaim dari Mirza Ghulam, di samping sebagai Nabi juga sebagai Mahdi.
Memang terdapat beberapa riwayat yang dinilai bertolakbelakang dan ternilai dhaif dengan kebanyakan riwayat yang membicarakan seputar masalah ini. Riwayat-riwayat yang lemah dan bertolakbelakang dengan riwayat-riwayat yang kuat itu di antaranya:

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّايَاتِ السُّوْدِقَدْ جَاءَتْ من قِبَلِخُرَاسَانَ فَأْتُوهَا فَإِنَّ فِيْهَا خَلِيْفَةُ اللهِ اْلمَهْدِيِّ. [رواه أحمد]

Artinya: “Diriwayatkan dari Tsauban, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Apabila kalian melihat panji-panji hitam datang dari Khurasan maka datangilah meskipun dengan merangkak di atas es, karena di dalamnya ada khalifah Allah, (yaitu) al-Mahdi.” [HR. Ahmad]
Dalam sanad riwayat ini terdapat Ali bin Zaid yang dinilai oleh para ulama kritikus hadits sebagai dha'if. Bahkan ia banyak memiliki riwayat munkar yang hanya diriwayatkan olehnya. Jadi keseluruhan periwayatannya tidak bisa dijadikan argumen. Hadits ini juga digunakan oleh Bani Abbas (Dinasti Abbasiyah) sebagai justifikasi bahwa al-Mahdi akan muncul dari kelompok mereka, di mana keyakinan mereka ini bertentangan dengan banyak riwayat yang lebih kuat bahwa al-Mahdi yang sebenarnya akan muncul dari keturunan Nabi (ahlu bait) yang mempunyai nama yang sama dengan Nabi dan nama bapak Nabi, Muhammad bin Abdullah.
Namun demikian, jika ditelisik lebih seksama ternyata banyak ulama seperti al-Hafizh Abu Hasan al-Abiri dan Imam asy-Syaukani juga Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu al-Qayim al-Jauziyah berpendapat bahwa hadits-hadits yang membicarakan tema ini memang mayoritas derajatnya ahad. Tetapi jika ditinjau secara menyeluruh akan ditemukan kandungan satu hadits mendukung hadits lain. Baik kandungan khusus (seperti hadits yang menceritakan ciri-ciri fisik al-Mahdi) maupun kandungan umum. Terkadang ada hadits yang membicarakan asal usulnya (al-Mahdi) dari keturunan Nabi saw, lalu ada hadits lain yang menerangkan kondisi kehidupan saat al-Mahdi memimpin. Jika kita urutkan, maka kita akan dapati semacam keselarasan yang sama-sama menerangkan bahwa al-Mahdi akan keluar di akhir zaman (kandungan umum). Dengan demikian dari segi kandungan khusus, maka hadits semisal yang menerangkan ciri fisik al-Mahdi berstatus ahad, namun dari segi kandungan umum, maka hadits ini adalah mutawatir ma'nawi. Dan derajat mutawatir ma'nawi ini telah menjadi ijmak ulama untuk menerimanya.
Di antara beberapa riwayat mutawatir ma'nawi itu ialah;

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قالَتْ: سَمِعْتُ رَسُولَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «المَهْدِيُّ مِنْ عِتْرَتِيمِنْ وَلَدِ فَاطِمَةَ. [رواه أبو داوود]
Artinya: “Diriwayatkan dari Ummu Salamah, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Al-Mahdi berasal dari keluargaku dari anak Fatimah.” [HR. Abu Dawud]
عَنْ عَبْدِ اللهِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ لَمْ يَبْقَ مِنَ الدُّنْيَا إلاَّ يَوْمٌلَطَوَّلَاللهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ  ثُمَّ اتَّفَقُوا حَتَّى يَبْعَثَ رَجُلاً مِنِّي أوْ مِنْ أهْلِ بَيْتِي يُوَاطِىءُ اسْمُهُ اسْمِي وَاسْمُ أبِيهِ اسْمَ أبِي. [رواه أبو داوود]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah, dari Nabi saw, beliau bersabda: Seandainya dunia hanya tinggal sehari, Allah pasti akan memanjangkan hari itu sampai Allah mengutus seorang laki-laki dariku, atau dari keluargaku, yang namanya sama dengan namaku dan nama ayahnya sama dengan nama ayahku.” [HR. Abu Dawud]
Imam asy-Syaukani berpendapat; "Hadits-hadits mengenai kedatangan al-Mahdi al-Muntazhar yang bisa diteliti sebanyak lima puluh. Di antaranya ada yang shahih, hasan, dan dha'if. Riwayat-riwayat ini mutawatir tanpa ada keraguan dan kerancuan di dalamnya." (Shadiq Hasan Khan dalam al-Idza'ah: 113-114 menukil dari al-Taudhih fi Tawatur Ma Ja'a fi al-Mahdi al-Muntazhar wa al-Dajjal wa al-Masih oleh Imam asy-Syaukani).
Berdasarkan keterangan di atas, kami berpendapat bahwa keyakinan terhadap al-Mahdi merupakan bagian dari keyakinan terhadap hal-hal ghaib adalah benar menurut hadis-hadis mutawatir ma’nawi. Akan tetapi, terkait dengan fenomena munculnya klaim-klaim dari pihak-pihak tertentu yang mengaku-aku sebagai al-Mahdi, maka kami menyarankan agar umat Islam berhati-hati dan tidak mudah percaya pada klaim-klaim seperti tersebut di atas yang tidak jelas kebenarannya. Umat Islam hendaknya bersikap kritis dan terus mengkaji persoalan-persoalan seperti ini melalui sumber-sumber yang jelas, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah.

3.      Selanjutnya, menjawab pertanyaan No. 3, menurut hemat kami sesuatu yang menetes itu boleh jadi sisa atau bakal air kencing yang tertahan dalam ujung kantong kemih. Oleh sebab itu sebaiknya ia memeriksa apakah ada bekasnya atau tidak. Kalau ada bekas dan hal itu diyakini, maka shalatnya batal dan harus diulang kembali sesudah membersihkan kemaluannya dengan air serta mengganti pakaian dalamnya, karena air kencing itu adalah najis, serta berwudlu kembali kemudian mengerjakan shalat dimulai dari awal. Kami juga menyarankan agar teman saudara itu memeriksa dengan cermat, apakah hal itu juga sering dirasakan di luar shalat, karena mungkin saja ada kelainan atau gangguan kesehatan yang perlu diperiksa oleh dokter.

Wallahu a'lam bishshawab. *th-mr)


     


 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Dana Zakat Untuk Korban Bencana

$
0
0
DANA ZAKAT UNTUK KORBAN BENCANA

Pertanyaan Dari:
Pimpinan Cabang Muhammadiyah Moga Pemalang Jawa Tengah
(disidangkan pada Jum’at, 2 Rabiul Awal 1430 H / 27 Februari 2009)


Pertanyaan :

Sebagaimana diketahui, di negara kita banyak terjadi musibah yang menimbulkan korban. Sementara itu, di daerah kami pun masih banyak orang yang membutuhkan bantuan. Mana yang harus didahulukan dalam penyaluran Zakat, Infak dan Shadaqah (ZIS)?


Jawaban:

Perlu dibedakan terlebih dahulu antara penyaluran dana Infak dan Shadaqah dengan dana Zakat untuk korban bencana. Mengenai dana Infak dan Shadaqah yang disalurkan untuk korban bencana, tentunya tidak ada persoalan karena memang tidak ada dalil spesifik yang menentukan orang-orang atau golongan yang berhak menerimanya. Lalu begaimana dengan dana Zakat yang secara spesifik telah ditentukan, yaitu: fakir, miskin, amil, muallaf, memerdekakan hamba sahaya, membebaskan orang yang berhutang, pada jalan Allah, dan orang yang sedang dalam perjalanan, sebagaimana firman-Nya:



Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. [QS. at-Taubah (9): 60]
Ayat di atas memang tidak secara spesifik menyebutkan korban bencana sebagai salah satu yang berhak menerima dana Zakat. Namun demikian, melihat kondisi yang sedang dialami oleh korban bencana, tidak menutup kemungkinan mereka mendapatkan bagian dari dana Zakat dengan menganalogikannya sebagai golongan fakir dan miskin, dengan pertimbangan:
1.      Korban bencana berada dalam kondisi sangat membutuhkan, sebagaimana pengertian fakir dan miskin menurut jumhur ulama adalah orang-orang yang dalam kondisi kekurangan dan membutuhkan.
2.      Orang yang dalam kondisi kekurangan dan membutuhkan ini diperbolehkan untuk meminta-minta, sebagaimana sabda Nabi saw:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ كِلَاهُمَا عَنْ حَمَّادِ بْنِ زَيْدٍ قَالَ يَحْيَى أَخْبَرَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ هَارُونَ بْنِ رِيَابٍ حَدَّثَنِي كِنَانَةُ بْنُ نُعَيْمٍ الْعَدَوِيُّ عَنْ قَبِيصَةَ بْنِ مُخَارِقٍ الْهِلَالِيِّ قَالَ تَحَمَّلْتُ حَمَالَةً فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْأَلُهُ فِيهَا فَقَالَ أَقِمْ حَتَّى تَأْتِيَنَا الصَّدَقَةُ فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا قَالَ ثُمَّ قَالَ يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ لِأَحَدِ ثَلاَثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ لَقَدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ فَمَا سِوَاهُنَّ مِنْ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا. [رواه مسلم]
Artinya:“Diriwayatkan dari Yahya bin Yahya dan Qutaibah bin Said, keduanya menceritakan dari Hammad bin Zaid. Yahya berkata: Hammad bin Zaid menceritakan pada kami dari Harun bin Riyab, Kinanah bin Nu’aim al-‘Adawiy dari Qobishah bin Muhariq al-Hilaly, ia berkata: Aku membawa beban berat, lalu mendatangi Rasulullah saw, lalu aku bertanya kepada Nabi saw tentangnya. Beliau menjawab: “Tinggallah kamu sampai shadaqah datang, lalu kami memberikannya padamu”. Kemudian Rasulullah saw bersabda: Ya Qabishah, sesungguhnya tidak boleh meminta-minta kecuali untuk tiga orang; seseorang yang membawa beban berat, maka halal baginya meminta-minta sampai memperolehnya kemudian menghentikannya; seseorang yang tertimpa bencana yang menghancurkan hartanya, halal baginya meminta-minta sampai mendapat makanan untuk hidup dan tegak kembali; dan seseorang yang tertimpa kemiskinan sehingga tiga orang dari kaumnya membenarkan bahwa dia tertimpa kemiskinan, maka halal baginya meminta-minta sampai mendapat makanan untuk hidup dan tegak kembali. Adapun meminta-minta di luar itu haram ya Qabishah, makan dari hasilnya pun haram.” [HR. Muslim]
Dari keterangan di atas, kiranya sudah dapat difahami bahwa penyaluran dana Zakat untuk korban bencana dibolehkan dengan ketentuan diambilkan dari bagian fakir miskin, atau boleh juga dari bagian orang yang berhutang(gharimin), karena dimungkinkan untuk memenuhi kebutuhannya, korban bencana harus berhutang. Dengan demikian bagian mustahiq yang lain tidak terabaikan, karena dapat disalurkan secara bersama-sama.
Mengenai pertanyaan tentang mana yang harus didahulukan, korban bencana atau orang-orang yang membutuhkan di sekitar tempat tinggal kita, maka diupayakan sebisa mungkin kedua-duanya mendapatkan bantuan tanpa mendahulukan salah satunya. Namun jika kondisi darurat, maka yang didahulukan adalah yang lebih darurat keadaannya.

Wallaahu a’lam bish-shawab. *putm)



 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Hukum Mewajibkan Berinfaq dengan Jumlah Tertentu

$
0
0
HUKUM MEWAJIBKAN BERINFAQ DENGAN JUMLAH TERTENTU

Pertanyaan Dari:
Pimpinan Cabang Muhammadiyah Moga Pemalang Jawa Tengah
(disidangkan pada Jum’at, 2 Rabiul Awal 1430 H / 27 Februari 2009)


Pertanyaan:

Apakah diperbolehkan secara hukum Islam apabila LAZISMUH (Lembaga Amil Zakat Infak dan Shadaqah Muhammadiyah) di tingkat Pimpinan Cabang Muhammadiyah membuat suatu program “berinfak sehari pendapatan dari sebulan penghasilan”?


Jawaban:

Berinfak adalah salah satu amalan yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam dan hukumnya sunnah. Pengertian ini dapat diambil dari pencermatan atas ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi saw yang menjelaskan tentang infak. Di antara ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis Nabi saw tersebut adalah:
1.      Al-Qur’an, surat al-Baqarah (2): 261;
مَّثَلُ الَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَن يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ [البقرة، 2: 261]
Artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [QS. al-Baqarah (2): 261]
2.      Hadis Nabi saw riwayat Muslim dari Abu Umamah;

حَدَّثَنَا شَدَّادٌ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ أَنْ تَبْذُلَ الْفَضْلَ خَيْرٌ لَكَ وَأَنْ تُمْسِكَهُ شَرٌّ لَكَ وَلاَ تُلاَمُ عَلَى كَفَافٍ وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى. [رواه مسلم]
Artinya: “Syaddad menceritakan kepada kami, ia berkata: Aku mendengar Abu Umamah ra berkata: Rasulullah saw bersabda: Wahai anak Adam, sesungguhnya jika kamu memberikan kelebihan hartamu, maka itu sangat baik bagimu. Jika menahannya (tidak memberikannya), itu sangat jelek bagimu. Kamu tidaklah dicela karena kesederhanaanmu. Dahulukan orang yang menjadi tanggunganmu. Sebab tangan yang di atas (orang yang memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (orang yang meminta).” [HR. Muslim]

Dengan demikian, program “berinfak sehari pendapatan dari sebulan penghasilan” yang diprakarsai oleh Lazismuh PCM tersebut, apabila program itu tathawwu’an (bersifat anjuran) dan tidak mengikat serta dapat dilakukan sewaktu-waktu, maka secara hukum Islam diperbolehkan. Warga Muhammadiyah yang merasa berat untuk berinfak, misalnya karena sedang tidak berkelapangan rizki atau sedang ada kebutuhan lain yang lebih mendesak, maka boleh untuk tidak mengikuti program itu atau mengikutinya meskipun tidak secara penuh. Namun, apabila program tersebut bersifat wajib, maka hal ini tidak diperbolehkan.
Berinfak adalah salah satu di antara amal saleh yang sangat dianjurkan dalam Islam. Banyak nash yang menjelaskannya. Seperti perintah Allah untuk bersegera atau berlomba-lomba di dalam melakukan ketaatan, termasuk di dalamnya berlomba-lomba untuk berinfak. Firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 148;
وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ [البقرة، 2: 148]
Artinya:“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [QS. al-Baqarah (2): 148]
Dan dalam hadis banyak sekali yang menjelaskan keutamaan berinfak ini. Berikut beberapa di antaranya:  
حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَثَلُ الْبَخِيلِ وَالْمُنْفِقِ كَمَثَلِ رَجُلَيْنِ عَلَيْهِمَا جُبَّتَانِ مِنْ حَدِيدٍ مِنْ ثُدِيِّهِمَا إِلَى تَرَاقِيهِمَا فَأَمَّا الْمُنْفِقُ فَلاَ يُنْفِقُ إِلاَّ سَبَغَتْ أَوْ وَفَرَتْ عَلَى جِلْدِهِ حَتَّى تُخْفِيَ بَنَانَهُ وَتَعْفُوَ أَثَرَهُ وَأَمَّا الْبَخِيلُ فَلاَ يُرِيدُ أَنْ يُنْفِقَ شَيْئًا إِلاَّ لَزِقَتْ كُلُّ حَلْقَةٍ مَكَانَهَا فَهُوَ يُوَسِّعُهَا وَلاَ تَتَّسِعُ.[رواه البخاري]
Artinya: “Abu az-Zinad menceritakan kepada kami bahwa Abdurrahman menyampaikan kepadanya, ia mendengar Abu Hurairah ra, dan Abu Hurairah ra mendengar Rasulullah saw bersabda: “Perumpamaan orang yang kikir dan orang yang menafkahkan hartanya, bagaikan dua orang yang memakai baju besi dari dada sampai ke bahunya. Adapun orang yang menafkahkan hartanya, dia tidak menginfakkannya melainkan berkembanglah baju besi yang dipakainya, sehingga tertutuplah semua badannya. Sedangkan orang yang kikir, tidaklah dia menginfakkan hartanya sedikitpun melainkan niscaya makin melekatlah lingkaran baju besi itu pada tempatnya. Sehingga dia hendak melebarkan lingkarannya tapi tidak bisa.” [HR. al-Bukhari]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللهُ تَعَالَى فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ ... وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ. [رواه البخاري]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah swt dengan naungan-Nya pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya yaitu (di antara tujuh golongan itu) ... dan seseorang yang bersedekah dengan merahasiakannya sampai tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya, serta seseorang yang mengingat Allah dalam kesendirian lalu air matanya bercucuran.” [HR. al-Bukhari]
عَنْ سَعِيدِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا وَيَقُولُ اْلآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا. [رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Said bin Yasar, dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw bersabda:“Setiap pagi datang dua malaikat untuk setiap hamba, dan yang satu berdoa: “Ya Allah, gantilah orang yang menafkahkan hartanya,” dan yang lain berdoa: “Ya Allah, binasakanlah harta orang yang kikir.” [HR. Muslim]

Wallaahu a’lam bish-shawab. *putm)




 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Musibah dan Bencana

$
0
0
MUSIBAH DAN BENCANA

Pertanyaan dari:
Fajar, Kampung Pereng Kecamatan Paguyangan Brebes
(disidangkan pada hari Jum'at, 14 Rabiul-Akhir 1430 H / 10 April 2009)


Pertanyaan :

Assalamu’alaikum wr.wb.
Saya berlangganan Suara Muhammadiyah melalui agen setempat. Al-hamdu lillah banyak masalah agama yang saya peroleh dari Suara Muhammadiyah. Untuk ini saya ada masalah yang mengganjal pada diri saya, karena itu saya ajukan pertanyaan dan mohon dengan hormat bapak bisa menjelaskannya.
1.     Di desa saya banyak orang menyatakan bahwa gempa bumi, angin puting beliung, tanah longsor, banjir bandang dan tsunami itu adalah sebab Tuhan sedang murka. Apakah dapat dibenarkan kata-kata semacam itu?
2.     Lalu bagaimana hubungannya dengan sifat rahman dan rahim-nya Allah? Apakah tidak bertentangan dengan hadits :

قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللهَ كَتَبَ عَلَى نَفْسِهِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ إِنَّ رَحْمَتِي تَغْلِبُغَضَبِي [الحديث] 

Apakah hadits ini shahih dan apa maksudnya?
Mohon penjelasannya yang sejelas-jelasnya, agar hati dan benak saya lega. Sebelumnya mohon maaf dan terima kasih yang sedalam dalamnya. 


Jawaban :

Pernyataan bahwa gempa bumi, angin puting beliung, tanah longsor, banjir bandang, tsunami dan bencana-bencana lainnya yang telah terjadi dikarenakan bahwasanya tuhan sedang murka adalah sangat tidak dibenarkan. Untuk membuktikannya kita harus memahami secara mendalam makna dari istilah bencana tersebut dalam al-Qur’an sehingga kita bisa memaknai semua bencana yang terjadi dengan arif.
Bencana, keburukan atau dikatakan juga sebagai petaka disebut dengan berbagai istilah di dalam al-Qur’an. Misalnya, mushibah, bala’, ’iqab dan fitnah dengan pengertian dan cakupan yang berbeda:

1.     Kata mushibah, ia pada mulanya berarti mengenai atau menimpa. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa sesuatu yang menimpa atau mengenai tersebut adalah sesuatu yang menyenangkan, namun bila al-Qur'an menggunakan kata mushibah maka itu berarti sesuatu yang tidak menyenangkan yang menimpa manusia. Pengertian ini juga telah umum diketahui di Indonesia, bahwa sesuatu yang tidak menyenangkan yang menimpa manusia disebut dengan musibah. Dalam penyelusurannya, ada beberapa hal yang dapat ditarik dari uraian al-Qur'an:

a.      Musibah terjadi karena ulah manusia, antara lain karena dosanya. Ini ditegaskan oleh firman Allah:

وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيْرٍ. [الشورى، 42: 30]
Artinya:“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” [QS. asy-Syura (42): 30]

b.     Musibah tidak terjadi kecuali atas izin Allah

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ. [التغابن، 64: 11]
Artinya:“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali atas izin Allah, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [QS. at-Taghabun (64): 11]

c.      Musibah, antara lain, bertujuan untuk menempa manusia, dan karena itu dilarang untuk berputus asa akibat jatuhnya musibah—walau hal tersebut adalah karena kesalahan sendiri—sebab bisa jadi ada kesalahan yang tidak disengaja atau karena kesalahan yang tidak disengaja atau karena kelengahan. Al-Qur'an menegaskan bahwa:

مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ فِي أَنفُسِكُمْ إِلاَّ فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيرٌ. لِكَيْلاَ تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلاَ تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللهُ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ. [الحديد، 57: 22-23]
Artinya:“Tiada suatu musibah pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kamu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS. al-Hadid (57): 22-23]

2.     Kata bala’ . Akar kata ini mulanya berarti nyata/tampak, seperti firman Allah:

 يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِلُ. [الطارق، 86: 9]
Artinya: “Pada hari dinampakkan segala rahasia.” [QS. ath-Thariq (86): 9]
Namun makna tersebut berkembang sehingga berarti ujian yang dapat menampakkan kualitas keimanan seseorang. Dari beberapa ayat yang menggunakan kata bala’ dalam berbagai bentuknya dapat diperoleh beberapa hakikat berikut:
a.      Bala’ (ujian) adalah keniscayaan hidup. Itu dilakukan Allah, tanpa keterlibatan manusia yang diuji dalam menentukan cara dan bentuk ujian tersebut. Yang menentukan cara, waktu, dan bentuk ujian adalah Allah swt. Allah swt berfirman:

اَلَّذِي خَلَقَ اْلمَوْتَ وَالحْيََاةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ العَزِيْزُ الْغَفُوْرُ. [الملك، 67: 2]
Artinya: “(Dia) Yang menciptakan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu (melakukan bala’), siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” [QS. al-Mulk (67): 2]

Karena bala’ adalah keniscayaan bagi manusia mukallaf, maka tidak seorang pun yang luput darinya. Semakin tinggi kedudukan seseorang semakin berat pula ujiannya, karena itu ujian para nabi pun sangat berat. Dikarenakan bala’ adalah keniscayaan hidup, maka ada pula bala’ (ujian) tersebut berupa sesuatu yang menyenangkan. Adapun contoh dari bala’ (ujian) yang menyenangkan adalah anugerah yang diberikan Allah kepada Nabi Sulaiman as yang menyadari bahwa fungsi nikmat tersebut adalah sebagai ujian.

هَذَا مِن فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ. [النمل، 27: 40]
Artinya:“Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk menguji aku (melakukan bala’), apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya ia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” [QS. an-Naml (27): 40]

b.     Anugerah/nikmat yang berupa ujian itu, tidak dapat dijadikan bukti kasih Ilahi sebagaimana penderitaan tidak selalu berarti murka-Nya. Hanya orang-orang yang tidak memahami makna hidup yang beranggapan demikian. Hal ini antara lain ditegaskan-Nya dalam QS. al-Fajr (89): 15-17:
فَأَمَّا اْلإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلاَهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ. وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلاَهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ. كَلاَّ بَل لاَّ تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ. [الفجر، 89: 15-17]
Artinya:“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka ia berkata: “Tuhanku telah memuliakanku.” Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya dia berkata: “Tuhanku menghinakanku.” Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anak yatim.” [QS. al-Fajr (89): 15-17]

c.      Bala’ (ujian) yang menimpa seseorang dapat merupakan cara Allah mengampuni dosa, menyucikan jiwa, dan meninggikan derajatnya. Dalam perang Uhud tidak kurang dari tujuh puluh orang sahabat Nabi Muhammad saw yang gugur. Al-Qur'an dalam konteks ini membantah mereka yang menyatakan dapat menghindar dari kematian sambil menjelaskan tujuannya:

قُل لَّوْ كُنتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَى مَضَاجِعِهِمْ وَلِيَبْتَلِيَ اللهُ مَا فِي صُدُورِكُمْ وَلِيُمَحَّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ وَاللهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ. [آل عمران، 3: 154]
Artinya: “Katakanlah: “Sekiranya kamu berada di rumah kamu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.” Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji (melakukan bala’) apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui isi hati.” [QS. Ali Imran (3): 154]

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bala’ adalah bentuk ujian dari Allah yang dapat berupa hal-hal yang menyenangkan ataupun sebaliknya. Bala’ ditimpakan oleh Allah kepada manusia dengan tujuan untuk meningkatkan derajat seseorang tersebut dihadapan Allah. Dari sini pula dapat dilihat perbedaan antara musibah dan bala’, karena musibah sebagaimana terbaca di atas, pada dasarnya dijatuhkan Allah akibat ulah atau kesalahan manusia, sedangkan bala’ tidak harus demikian, dan bahwa tujuan dari bala’ adalah peningkatan derajat seseorang di hadapan Allah.

3.     Kata fitnah dalam al-Qur’an mengandung banyak arti, di antaranya:
a.      Perbuatan atau tindakan yang dapat menimbulkan kekacauan
b.     Membakar dalam neraka, membakar dalam arti dimasukkan ke dalam
c.      Neraka
d.     Menyiksa atau siksaan
e.      Kesesatan atau penyimpangan
f.      Ujian atau cobaan, baik berupa nikmat maupun kesulitan.

Arti fitnah yang terakhir itulah yang kemudian akan digunakan untuk memahami makna bencana dalam al-Qur’an.

وَاعْلَمُواْ أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌوَأَنَّ اللهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ. [الأنفال، 8: 28]
Artinya: “Dan ketahuilah, bahwa harta kamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagaicobaan (fitnah) dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. al- Anfal (8): 28] Baca juga QS. at-Taghabun (64): 15.

Bahkan pada QS. al-Anbiya’: 35 Allah mempersamakan antara kata bala’ dan fitnah. Allah berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوَكُمبِالشَّرِّ وَالْخَيْرِفِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ. [الأنبياء، 21: 35]
Artinya:“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan  menguji kamu (melakukan bala’) dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan/ fitnah (yang sebenar-benarnya).Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” [QS. al-Anbiya’ (21): 35]

Ini berarti bahwa fitnah/ cobaan dilakukan Allah sebagai peringatan, dan tentu saja apabila peringatan tidak juga diindahkan—setelah berkali-kali— maka adalah wajar menjatuhkan tindakan yang lebih keras. Dalam konteks uraian tentang fitnah, al-Qur'an menggarisbawahi bahwa:

وَاتَّقُواْفِتْنَةًلاَّتُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمْ خَآصَّةً وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللهَ شَدِيدُالْعِقَابِ.[الأنفال، 8: 25]
Artinya: “Dan peliharalah diri kamu dari pada siksaan (fitnah) yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksa-Nya.” [QS. al-Anfal (8): 25]

Ayat di atas menggunakan tiga kata yang kesemuanya dapat berarti sesuatu yang tidak menyenangkan. Yaitu kata fitnah, tushibanna yang seakar dengan kata mushibah, serta ‘iqab yang terambil dari kata ‘aqiba yang berarti belakang/kesudahan. Kata ‘iqab digunakan dalam arti kesudahan yang tidak menyenangkan/ sanksi pelanggaran. Berbeda dengan ‘aqibah/ akibat yang berarti dampak baik atau buruk dari satu perbuatan. Dan dari ayat di atas dapat difahami bahwa fitnah dapat menimpa orang yang tidak bersalah.

Beberapa kesimpulan yang dapat dipetik dari ayat-ayat di atas, antara lain adalah bahwa musibah terjadi atau menimpa manusia akibat kesalahan manusia sendiri, bala’ merupakan keniscayaan dan dijatuhkan Allah swt, walau tanpa kesalahan manusia. Adapun fitnah, maka ia adalah bencana yang dijatuhkan Allah dan dapat menimpa yang bersalah dan tidak bersalah.

Berpijak pada uraian-uraian di atas, terkait dengan ungkapan-ungkapan al-Qur’an dalam mengutarakan “keburukan/bencana yang menimpa manusia”, dapat dinyatakan bahwa bencana (alam) yang terjadi di muka bumi ini, dengan istilah al-Qur’an, secara umum, lebih tepat disebut sebagai fitnah (ujian atau cobaan). Hal ini dikarenakan bahwa bencana alam yang terjadi tidak hanya menimpa orang-orang yang berdosa saja melainkan juga mereka yang tidak berdosa (berbuat salah). Di sisi lain, kita dapat berkata bahwa jika yang berdosa ditimpa mudlarat akibat bencana tersebut, maka itu adalah akibat dosanya, sedang yang tidak berdosa, maka buat mereka yang masih hidup, itu adalah bala’, yakni ujian untuk melihat kualitas keimanan mereka. Adapun yang wafat tapi tidak berdosa, atau yang kesalahannya tidak setimpal dengan dampak buruk bencana tersebut, maka itu merupakan tangga yang mengantar mereka memperoleh kedudukan yang tinggi di sisi Allah.

Dari serangkaian pembahasan di atas dapat diketahui rumusan teologi bencana yang terdapat dalam al-Qur’an, yakni bahwa bencana yang terjadi pada dasarnya adalah akibat perbuatan manusia sendiri. Namun di sisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa kesemuanya itu sudah menjadi ketentuan dan hukum Allah— yang telah tertulis di Lauh al-Mahfudz. Dalam tataran makna, bencana yang banyak terjadi akhir-akir ini dalam bahasa al-Qur’an lebih tepat untuk disebut sebagai fitnah (cobaan atau ujian) dengan cakupannya bahwa bencana tersebut tidak hanya menimpa mereka yang bersalah atau yang telah melakukan kerusakan di muka bumi, melainkan juga mereka yang tidak berdosa (berbuat salah). Di sisi lain, kita dapat berkata bahwa jika yang berdosa ditimpa mudlarat akibat bencana tersebut, maka itu adalah akibat dosanya, sedang yang tidak berdosa, maka buat mereka yang masih hidup, itu adalah bala’, yakni ujian untuk melihat kualitas keimanan mereka. Adapun yang wafat tapi tidak berdosa, atau yang kesalahannya tidak setimpal dengan dampak buruk bencana tersebut, maka itu merupakan tangga yang mengantar mereka memperoleh kedudukan yang tinggi di sisi Allah.

Mengenai hadis yang bapak utarakan, menurut penelusuran kami termasuk hadis shahih dan banyak diriwayatkan oleh periwayat-periwayat hadis, di antaranya adalah al-Bukhari, Muslim, at-Turmudzi dan lain-lainya yang semua jalur periwayatannya bersambung dan bersumber dari sahabat Abu Hurairah. Salah satu jalur periwayatannya adalah:

حدَّثَنا عَبْدَانُ عَنْ أَبِي حَمْزَةَ عَنِ اْلأَعْمَشِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَمَّا خَلَقَ اللهُ اْلخَلْقَ كَتَبَ فِي كِتَابِهِ وَهُوَ يَكْتُبُ عَلَى نَفْسِهِ وَهُوَ وَضْعٌ عِنْدَهُ عَلَى اْلعَرْشِ إِنَّ رَحْمَتِي تَغلِبُ غَضَبِي. [رواه البخارى]
Artinya: “Telah mengabarkan kepada kami ‘Abdan diriwayatkan dari Abu Hamzah dari A’masy dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dari Nabi saw, beliau bersabda: Tatkala Allah menciptakan ciptaan, Allah telah menuliskan dalam kitab (Lauh al-Mahfudz), Dia menuliskannya langsung di arsy (Lauh al-Mahfudz), sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan  kemarahan dan kebencian-Ku.” [HR. al-Bukhari]

Menilik dari penjelasan di atas, tidak didapati kontradiksi terhadap sifat Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang karena akibat dari bencana-bencana yang telah terjadi saat ini. Bukankah ketika kita melakukan kesalahan dan berbuat dosa Allah juga tidak segera langsung memberikan hukuman dan siksa kepada kita?

Wallahu a’lam bish-shawab. *aa)



 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Ketentuan Besarnya Jumlah Infaq Seseorang

$
0
0
KETENTUAN BESARNYA JUMLAH INFAQ SESEORANG

Pertanyaan Dari:
Pimpinan Cabang Muhammadiyah Moga Pemalang Jawa Tengah
(disidangkan pada Jum’at, 23 Rabiul Awal 1430 H / 20 Maret 2009)


Pertanyaan

Apakah ada dalil atau ketentuan lain yang menyatakan berapa besarnya infaq yang harus dikeluarkan seseorang?


Jawaban

Sebelum menjawab pertanyaan saudara, perlu diketahui lebih dahulu perbedaan antara zakat, infaq, dan sedekah.
Zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya. Adapun infaq, menurut pengertian syari’at berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan oleh ajaran Islam. Jika zakat ada nisab, infaq tidak mengenal nisab. Sedangkan pengertian sedekah menurut syara’ adalah sama dengan pengertian infaq, hanya saja jika infaq berkaitan dengan materi, sedekah memiliki arti yang lebih luas menyangkut hal yang juga bersifat non materi.
Seringkali kata-kata sedekah dipergunakan dalam al-Qur’an, tetapi maksud sebenarnya adalah zakat, misalnya dalam QS. at-Taubah (9): 60 dan 103. Dalam al-Qur’an juga didapati istilah infaq wajib, dalam artian memberikan nafkah pada keluarga.


Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” [QS. ath-Thalaq (65): 7]
Dalam berinfaq tidak ada batasan tertentu berapa besarnya yang harus dikeluarkan. Karena infaq berbeda dengan zakat. Infaq dikeluarkan oleh setiap orang yang beriman, baik yang berpenghasilan tinggi maupun rendah, apakah ia berada di saat lapang maupun di saat sempit. Allah swt berfirman:


Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” [QS. Ali Imran (3): 134]
Tatkala Nabi Muhammad saw menyeru kepada para shahabatnya agar menginfaqkan hartanya untuk kepentingan perang Tabuk, Umar ibn al-Khattab ra menginfaqkan sebagian hartanya, sedangkan Abu Bakar ash-Shiddiq ra menginfaqkan semua harta yang dimilikinya untuk kepentingan perang Tabuk. Apa yang dilakukan oleh sahabat Umar ibn al-Khattab ra dan Abu Bakar ra dalam menginfaqkan hartanya bukan karena unsur paksaan, akan tetapi karena tingkat keimanannya kepada Allah. Perlu diketahui juga bahwa dalam mengeluarkan infaq tidak ada unsur paksaan.
Dalam berinfaq, perlu diperhatikan hal-hal berikut:
1.      Tidak boleh berlebihan dalam mengeluarkan infaq.
2.      Memperhatikan agar hak-hak yang lebih penting tidak terabaikan.
3.      Menunaikan hal yang terlebih dahulu, seperti menafkahi hidup keluarga. 
Jadi, tidak ada dalil atau ketentuan lain yang menyatakan berapa besarnya infaq yang harus dikeluarkan oleh seseorang. Firman Allah swt:


Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".” [QS. al- Baqarah (2): 286]


Wallahu a’lam bish-shawab. *putm)
  



 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Hukum Memakai Jimat

$
0
0

HUKUM MEMAKAI JIMAT

Pertanyaan dari :
Hadi Suroso, hadisbaya@gmail.com
(disidangkan pada Jum’at, 14 Rabiul Akhir 1430 H / 10 April 2009)


Pertanyaan:

Assalamu alaikum. Wr. Wb.
Seorang teman pernah mengajak saya untuk ikut pengajian di salah satu pondok pesantren di Ploso Jombang. Namun saya tidak bersedia karena menurut saya banyak hal yang dipelajari tidak sesuai dengan hati saya. Di antaranya:
1.      Sebelum mengikuti ajaran di pondok pesantren tersebut harus mengikuti proses baiat
2.      Doa-doa yang diajarkan dicampur aduk dengan bahasa Indonesia (Jawa)
3.      Di rumahnya dipasang jimat (rajah)
4.      Bukunya tidak boleh dipelajari oleh sembarang orang
Pertanyaan saya:
Apakah hukumnya kita memakai jimat (rajah)? Apakah benar ada ajaran Islam yang disembunyikan (hanya diajarkan pada orang-orang tertentu)?
Terima kasih.

Wassalamu alaikum Wr. Wb.


Jawaban:

A.    Jimat atau dalam bahasa arab disebut dengan tamimah, bentuk jamaknya adalah   tama’im yaitu sesuatu yang digantungkan di leher atau pada selainnya berupa mantra-mantra, kantong berjahit, rajah atau tulang dan yang lainya, dengan tujuan untuk mendatangkan manfaat atau untuk menolak madharat. Semakna dengan definisi di atas, tamimah adalah sesuatu yang dikalungkan di leher anak-anak sebagai penangkal penyakit ‘ain (penyakit karena pandangan mata orang lain yang dengki), dan terkadang juga dikalungkan pada orang-orang dewasa termasuk para wanita.
عَنْ أَبِي بَشِيْرٍ الأَنْصَارِىِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ مَعَ النَّبِيِّ صَلِّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى بَعْضِ أَسْفَارِهِ فَأَرْسَلَ رَسُوْلًا أَنْ لَا يَبْقَيَنَّ فِي رَقَبَةِ بَعِيْرٍ قِلاَدَةٌ مِنْ وَتَرٍ أَوْقِلَادَةٌ إِلَّا قُطِعَتْ [متفق عليه]
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Basyir al-Anshari ra, bahwa dia pernah bersama Rasulallah saw dalam satu perjalanan beliau. Lalu beliau mengutus seorang utusan (untuk mengumumkan): “Supaya tidak terdapat lagi dileher unta kalung (jimat) dari tali busur panah atau kalung apapun, kecuali harus diputuskan.” [Muttafaq Alaih]

Tamimah ada dua macam, yaitu tamimah yang diambil dari al-Qur’an dan tamimah yang diambil selain dari al-Qur’an.
1.      Tamimah yang diambil dari al-Qur’an

Yaitu menulis ayat-ayat al-Qur’an atau asma’ dan sifat Allah kemudian dikalungkan di leher untuk memohon kesembuhan dengan perantaranya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengalungkan tamimah jenis ini, akan tetapi pendapat yang benar adalah diharamkan. Hal ini didasarkan pada tiga hal:

a.       Keumuman larangan Nabi saw serta tidak ada dalil yang mengkhususkannya
b.      Untuk tindakan prefentif (saddu adz-dzari’ah), karena hal itu menyebabkan dikalungkannya sesuatu yang tidak dibolehkan
c.       Bahwasannya jika ia mengalungkan sesuatu dari ayat al-Qur’an, maka hal itu menyebabkan pemakaiannya menghinakan, misalnya dengan membawanya untuk buang hajat, istinja’ atau yang lainnya.

Adapun menggantungkan tulisan ayat al-Qur’an, asma’ dan sifat Allah untuk tujuan perhiasan atau agar untuk dibaca ketika melihatnya, misalkan di dinding rumah, di pintu, atau di kendaraan, maka hal itu diperbolehkan.

2.      Tamimah yang diambil selain dari Al-Qur’an
Yaitu mengalungkan atau meletakkan jimat atau mantra di leher atau di tempat yang lain, dengan meyakini bahwa jimat atau mantra tersebut dapat memberikan manfaat atau menolak madharat. Bentuk-bentuk  jimat atau mantra tersebut di antaranya; kantong berjahit, tulang, benang, rumah kerang, batu akik, mantra-mantra jawa, atau ayat-ayat al-Qur’an yang sudah dibolak-balik sehingga maknanya tidak jelas, dan bentuk- bentuk lain yang serupa fungsinya.

Tamimah jenis kedua ini juga diharamkan dan termasuk syirik karena menggantungkan kepada selain Allah. Hal ini berdasarkan dalil-dalil dari nash, di antaranya adalah:


Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia Telah berbuat dosa yang besar.”[QS. an-Nisa’: 48]

عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَاِمرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ جَاءَ فِي رَكْبٍ عَشْرَةٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعَ تِسْعَةً وَأَمْسَكَ عَنْ رَجُلٍ مِنْهُمْ فَقَالُوْا: مَاشَأْنُهُ؟ فَقَالَ: ِإنَّ فِي عَضُدِهِ تَمِيْمَةً فَقَطَعَ الرَّجُلُ التَّمِيْمَةَ فَبَايَعَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ "مَنْ عَلَّقَ فَقَدْ أَشْرَكَ". [رواه أحمد والحاكم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir ra, ada sepuluh orang lelaki datang menghadap Rasulallah saw dengan mengendarai kendaraan. Lalu Rasulullah membaiat sembilan orang di antara mereka, sedang yang satu tidak dibaiat. Para sahabat kemudian bertanya: “Ya Rasulullah mengapa yang satu orang itu tidak dibaiat?” Jawab Rasulullah: “Sebab di lengannya terdapat jimat.” Kemudian lelaki itu melepas jimatnya, dan Rasulullah pun membaitnya. Kemudian Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa memakai jimat maka dia telah musyrik.” [HR. Ahmad dan al-Hakim]

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى امْرَئَتِهِ وَفِي عُنُقِهَا شَيْءٌ مَعْقُوْدٌ فَجَذَبَهُ فَقَطَعَهُ ثَمَّ قَالَ لَقَدْ أََصْبَحَ آلُ عَبْدِ اللهِ أَغْنِيَاءَ أَنْ يُشْرِكُوْا بِاللهِ مَالمَْ يُنزِْلْ بِهِ سُلْطَانًا ثُمَّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ إِنَّ الرُّقَي وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ [رواه ابن حبان والحاكم و قال صحيح الا سناد]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra, sesungguhnya dia  menemui istrinya, didapati istrinya mengenakan sesuatu (kalung) yang diikat di lehernya. Lalu Abdullah bin Mas’ud menarik dan memotongnya. Kemudian berkata: “Sungguh keluarga Abdullah tidak butuh berbuat syirik kepada Allah, dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjahnya”, kemudian berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya ruqyah (yang mengandung unsur syirik), tamimah dan tiwalah (sesuatu yang digunakan perempuan untuk membuat suaminya tertarik untuk mencintainya) adalah syirik”. [HR. Ibnu Hibban dan al-Hakim, dia mengatakan hadits ini adalah shahih sanadnya]

عَنْ عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُمَنْ تَعَلَّقَ تَمِيْمَةً فَلَا أَتَمَّ اللهُ لَهُ[رواه أحمد]

Artinya: “Diriwayatkan dari Uqbah ibn Amr, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa menggantungkan tamimah, semoga Allah tidak mengabulkan keinginannya.” [HR. Ahmad]

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُكَيْمٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ [رواه أحمد والترمذي]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Ukaim, barangsiapa menggantungkan sesuatu barang (dengan anggapan bahwa barang itu bermanfaat atau dapat melindungi dirinya), niscaya Allah menjadikan dia selalu bergantung kepada barang tersebut.” [HR. Ahmad dan at-Tirmidzi]

عَنِ اْلحَسَنِ عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ : أَنَّهُ رَأَى فِي يَدِ رَجُلٍ حَلَقَةً مِنْ صَفْرٍ فَقَالَ : ( مَا هَذِهِ ؟ ) قَالَ مِنَ اْلوَاهِنَةِ قَالَ : أَمَّا إِنَّهَا لاَ يَزِيْدُكَ إِلاَّ وَهْنًا وَإِنَّكَ لَوْ مُتَّ وَأَنْتَ تَرَى أَنَّهَا تَقِعُكَ لمت على غير الفطرة . [رواه الطبرنى]
Artinya: “Diriwayatkan dari al-Hasan dari ‘Imran ibn Hushain, bahwasanya Nabi saw melihat di tangan seorang laki-laki ada sebuah tali (gelang) dari kuningan. Beliau bertanya: ‘Apakah ini?’ Laki-laki itu menjawab: Ini (untuk menghindarkan) dari penyakit yang melemahkan. Nabi saw bersabda: Sesungguhnya (dengan gelang itu) tidak akan bertambah bagimu kecuali penyakit lemah (wahn). Dan sesungguhnya jika engkau mati engkau akan tahu bahwa memakai gelang itu akan membuat engkau mati tidak dalam keadaan suci.” [HR. Ath-Thabrani]

B.     Tidak benar jika dikatakan ada ajaran Islam yang disembunyikan (hanya diajarkan pada orang-orang tertentu), karena salah satu sifat Nabi Muhammad saw adalah tabligh (menyampaikan), yaitu menyampaikan semua apa yang datang dari Allah berupa wahyu/ al-Qur’an:



Artinya: “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir. [QS. al-Maidah (5) :67]


Artinya:“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab (al-Qur’an), mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat mela'nati.” [QS. al-Baqarah (2) :159]


عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً  [رواه البخاري]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr ra bahwa Rasulullah saw bersabda: "Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat".” [HR. al-Bukhari]

Demikian jawaban dari kami. Selanjutnya, kami menyarankan agar berhati-hati dalam memilih Pondok Pesantren atau lembaga keagamaan lain sebagai tempat belajar agama, agar tidak terjerumus kepada ajaran yang menyimpang dari Islam.

Wallahu a’lam bi sh-shawab. *putm)




 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sebutan Almarhum dan Almarhumah

$
0
0
SEBUTAN ALMARHUM DAN ALMARHUMAH

Pertanyaan dari:
K. Hasibuan, SE.
PRM Bojong Nangka, Kelapa Dua Tangerang


Pertanyaan:

Bolehkah menyebutkan panggilan “almarhum/ah”, kepada orang yang sudah meninggal padahal kita tidak tahu orang tersebut taat beribadah, lalai dalam ibadah aau bahkan orang yang ingkar? Mohon penjelasan disertai dalil-dalinya.


Jawaban:
Saudara yang terhormat, berikut ini jawaban atas pertanyaan saudara:
Almarhum dan almarhumah berasal dari bahasa Arab yang berarti laki-laki dan perempuan yang dirahmati/dikasihi. Kata almarhum/ah ini telah masuk ke dalam bahasa Indonesia dan artinya berubah menjadi: 1. yang telah meninggal, contoh: almarhum dokter Polan. 2. untuk menyebut orang yang telah meninggal, contoh: almarhum pernah melawat ke Jepang.
Meskipun telah terjadi perubahan makna, namun sebenarnya kata-kata almarhum dan almarhumah tetap berisi doa untuk orang yang telah meninggal, khususnya untuk orang Islam. Jadi kalau kita mengatakan: almarhum Buya Hamka, itu artinya: Semoga Allah merahmati/mengasihi beliau. Kalau dalam bahasa Malaysia, mereka menyebutnya lebih jelas lagi yaitu: Allahyarham Polan, yang artinya: Semoga Allah merahmati Polan. Hal ini sesuai dengan asalnya dalam bahasa Arab yaitu: Rahimahullah, yang berarti: Semoga Allah merahmatinya.
Adapun untuk orang kafir yang sudah meninggal, kata-kata almarhum dan almarhumah tidak boleh dikatakan kepada mereka. Mereka cukup kita panggil: Mendiang. Ini karena menurut keyakinan kita, hanya orang yang meninggal dalam keadaan Islam saja yang dirahmati Allah. Sedang orang yang meninggal dalam keadaan kufur tidak dirahmati Allah Ta'ala. Dalilnya ialah firman Allah:

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya. Mereka kekal di dalam laknat itu; tidak akan diringankan siksa dari mereka dan tidak (pula) mereka diberi tangguh.” [QS. al-Baqarah (2): 161-162]

Dan firmanNya:

Artinya: “Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” [QS. al-Baqarah (2): 217]
Ayat pertama menunjukkan dengan jelas bahwa orang yang kafir lalu mati dalam keadaan kufur itu akan dilaknat oleh Allah, para malaikat dan manusia sampai hari kiamat, lalu mereka akan kekal dalam laknat itu sampai masuk neraka jahannam, dan laknat tersebut menemani mereka di dalamnya sehingga siksaan mereka tidak diringankan serta tidak ditangguhkan walaupun sebentar.
Sementara ayat yang kedua juga menunjukkan dengan jelas bahwa orang yang beragama Islam lalu keluar dari agamanya itu (murtad), kemudian ia mati dalam keadaan kufur maka amalannya di dunia dan di akhirat dianggap sia-sia (tidak diterima), dan ia termasuk penghuni neraka untuk selama-lamanya.
Jadi dengan demikian kedua ayat ini menunjukkan bahwa orang yang mati dalam keadaan kafir, baik pada asalnya ia memang orang kafir atau pada asalnya ia beragama Islam lalu murtad, tidak akan mendapat rahmat dari Allah, bahkan mereka itu mendapat laknat atau kutukan dan mendapat siksaan selama-lamanya di neraka.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa orang yang mati dalam keadaan kafir itu tidak boleh kita sebut dengan almarhum/ah. Dan kita boleh dan bahkan dianjurkan menyebut orang Islam yang sudah meninggal dengan sebutan almarhum bagi laki-laki dan almarhumah bagi perempuan, meskipun kita tidak tahu masa lalunya ketika ia masih hidup, baik ia termasuk orang yang saleh atau orang yang fasiq. Ini karena kata-kata tersebut mengandungi doa, semoga Allah merahmati/mengasihinya. Jika ia termasuk orang yang saleh, maka semoga Allah merahmatinya dan mengangkat derajatnya, dan jika ia termasuk orang yang fasiq, maka semoga Allah mengasihaninya dan mengampuni dosa-dosanya.
Adapun bagi orang yang tidak bisa dipastikan agamanya, maka namanya menjadi dasar pertimbangan. Jika namanya nama orang Islam seperti Muhammad, Ahmad dan Abdullah maka kita berhusnuzzan (berprasangka baik) kepadanya sehingga kita sebut almarhum/ah, dan jika bukan seperti itu maka cukup kita sebut dengan mendiang.
Wallahu a’lam bish-shawab. *mi)


 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Download : E-Book Fatwa-Fatwa Permasalah Seputar Qurban

$
0
0


Permasalah Seputar QurbanBuku yang menyajikan beberapa permasalahan dalam ibadah Qurban yang sering muncul di masyarakat dan menjadi pertanyaan banyak orang. Semoga dengan hadirnya buku ini permasalahan yang sering terjadi dapat dicarikan solusinya sesuai dengan ajaran Islam

Disusun Oleh: Amirudin, S.Ag.
Oktober 2012








Hukum Perselingkuhan

$
0
0


Pertanyaan Dari:
JP, Lampung
(Disidangkan pada hari Jum’at, 24 Rabiul Akhir 1431 H / 9 April 2010)

Pertanyaan:
As-salamu ‘alaikum Wr. Wb.
Saya salah satu murid SMA Muhammadiyah di Lampung, ingin bertanya dan mohon penjelasannya, bagaimana hukum dari perselingkuhan?
Was-salamu ‘alaikum Wr. Wb.

Jawaban:
Wa ‘alaikumus-salam Wr. Wb.
Saudara yang terhormat, terima kasih atas pertanyaan yang disampaikan. Berikut ini jawaban atas pertanyaan tersebut:

Fenomena perselingkuhan di tengah-tengah masyarakat akhir-akhir ini sungguh memprihatinkan. Meskipun perselingkuhan merupakan masalah yang sangat privat namun media massa terutama elektronik setiap hari membongkarnya terus-menerus. Perselingkuhan tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tapi juga di desa-desa dan kampung-kampung. Perselingkuhan bukan hanya dilakukan oleh orang-orang yang berada, tapi juga dilakukan oleh orang-orang yang tidak mampu dari segi finansial.

Yang lebih memprihatinkan lagi, perselingkuhan juga dilakukan oleh orang-orang yang ada hubungan kekerabatan, seperti perselingkuhan antara ayah/ibu dengan anak tirinya, antara kakak dengan adiknya, antara adik ipar dengan kakak ipar. Selain itu, perselingkuhan juga dilakukan oleh seorang ayah/ibu dengan pacar/teman akrab anaknya dan seorang laki-laki dengan tetangga wanitanya yang telah berumah tangga. Perselingkuhan juga dilakukan oleh orang-orang yang sudah bertahun-tahun membina mahligai perkawinan maupun mereka yang baru melangsungkan perkawinan.

Untuk mengetahui hukum perselingkuhan, perlu kiranya diketahui terlebih dahulu hakekat atau pengertian perselingkuhan itu. Dari segi bahasa, 'selingkuh' itu ternyata berasal dari bahasa Jawa. Arti selingkuh menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia ada empat: (1) curang, (2) tidak jujur, (3) tidak berterus terang, dan (4) korup. Dan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, selingkuh berarti: (1) suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri; tidak berterus terang; tidak jujur; curang; serong; (2) suka menggelapkan uang; korup; (3) suka menyeleweng.

Di dalam masyarakat kita dewasa ini, perselingkuhan diartikan dengan kecurangan dalam hubungan cinta antara seseorang dengan pasangannya, Dan biasanya perselingkuhan itu diikuti dengan perbuatan-perbuatan mendekati zina bahkan perzinaan itu sendiri, dengan selingkuhannya.

Menurut Wikipedia, perselingkuhan adalah hubungan antara individu baik laki-laki maupun perempuan yang sudah menikah ataupun yang belum menikah dengan orang lain yang bukan pasangannya. Walaupun demikian, pengertian 'berselingkuh' dapat berbeda tergantung negara, agama, dan budaya. Pada zaman sekarang, istilah perselingkuhan digunakan juga untuk menyatakan hubungan yang tidak setia dalam pacaran. (http://id.wikipedia.org/wiki/Perselingkuhan).

Dari pengertian perselingkuhan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perselingkuhan itu merupakan kecurangan, penyelewengan dan pengkhianatan seseorang terhadap pasangannya. Dan biasanya perselingkuhan itu dibarengi dengan perzinaan atau paling tidak mendekati perzinaan.

Pada dasarnya, semua pengkhianatan, penyelewengan dan kecurangan dilarang dalam agama kita. Di antara ayat dan hadis yang melarang hal-hal di atas adalah firman Allah:


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”[QS. al-Anfal (8): 27]

Dan firman Allah tentang isteri Nabi Nuh as dan isteri Nabi Luth as yang mengkhianati suami mereka masing-masing supaya hal itu tidak dicontoh:


Artinya: “Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): ‘Masuklah ke dalam Jahannam bersama orang-orang yang masuk (jahannam)’.” [QS. at-Tahrim (66): 10]

Rasulullah saw juga telah memperingatkan mengenai tanda-tanda orang munafik supaya kita menjauhinya. Sabda beliau:

عَنْأَبِي هُرَيْرَةَعَنِالنَّبِيِّصَلَّى اللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَقَالَ: آيَةُاْلمُنَافِقَثَلاَثٌ: إِذَا حَدَثَكَذَبَ،وَإِذَا وَعَدَأَخْلَفَ،وَإِذَا أْؤتُمِنَخَانَ  [رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi saw beliau bersabda: ‘Tanda orang munafik itu ada tiga: Jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia mengingkari dan jika dipercaya ia berkhianat’.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Demikian pula, semua hal yang menjurus dan mengarah kepada perzinaan juga dilarang di dalam syariat Islam. Dalilnya antara lain firman Allah:


Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” [QS. al-Israa’ (17): 32]
Dan sabda Rasulullah saw:

عَنِابْنِعَبَّاسٍعَنِالنَّبِيِّصَلَّى اللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَقَالَ: لاَيَخْلُوْنَرَجُلٌبِامْرَأَةٍإِلاَّمَعَذِي مَحْرَمٍفَقَامَرَجُلٌفَقَالَ: يَا رَسُولَاللهِ،اِمْرَأَتِي خَرَجَتْحَاجَةًوَاكْتَتَبْتُفِي غَزْوَةِكَذَا وَكَذَا قَالَ: اِرْجِعْفَحَجَّمَعَامْرَأَتِكَ.[رَوَاهُاْلبُخَارِي وَمُسْلِمٌ]
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dari Nabi saw.,beliau bersabda: ‘Janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang perempuan kecuali dengan mahramnya’, maka ada seorang laki-laki berdiri lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah, istriku mau pergi haji sementara aku tercatat harus pergi perang ini dan itu’. Maka beliau bersabda: ‘Pulanglah lalu pergilah naik haji bersama istrimu’.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

قَالَرَسُولُاللهِصَلَّي اللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَ: أَلاَلاَيَخْلُوْنَرَجُلٌبِامْرَأَةٍإِلاَّكَانَثَالِثُهُمَا الشَّيْطَانَ  [رواه الترمذي وابن حبان]
Artinya: “Rasulullah saw bersabda: ‘Ingatlah, janganlah seorang laki-laki berdua-duaan dengan seorang perempuan melainkan setan adalah pihak ketiga mereka’.” [HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban]

Perbuatan selingkuh dapat pula disejajarkan dengan perbuatan nusyuz, yaitu perbuatan meninggalkan kewajiban suami isteri. Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya, sedangkan nusyuz dari pihak suami misalnya dari pihak suami ialah bersikap keras terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya. Allah swt telah berfirman dalam QS. an-Nisa’ (4): 34 dan 128:


Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”[QS. an-Nisa’ (4): 34]


Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuzatau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [QS. an-Nisa’ (4): 128]

Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.      Dari segi bahasa, perkataan 'selingkuh' itu berasal dari bahasa Jawa. Selingkuh mempunyai beberapa pengertian negatif yaitu: (1) suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri; tidak berterus terang; tidak jujur; curang; serong; (2) suka menggelapkan uang; korup; (3) suka menyeleweng.
2.      Pada dasarnya, segala bentuk kecurangan, korupsi, penyelewengan dan pengkhianatan itu hukumnya haram.
3.      Selingkuh berarti ketidakjujuran suami atau isteri dalam hubungan bersuami isteri/ ikatan perkawinan, yang di masyarakat biasanya ditengarai dengan adanya PIL (pria idaman lain) atau WIL (wanita idaman lain)
4.      Islam sebagai agama yang komprehensif telah mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dan hubungan antara seorang laki-laki maupun perempuan yang sudah menikah ataupun yang belum menikah dengan orang lain yang bukan pasangannya ada yang dibolehkan oleh syariat Islam dan ada yang dilarang.
5.      Hubungan seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang dibenarkan oleh syariat Islam adalah hubungan yang jauh dari unsur-unsur perselingkuhan, perbuatan-perbuatan mendekati zina dan perzinaan. Adapun sebaliknya, yaitu hubungan seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang dilarang dalam syariat Islam adalah hubungan yang mengandung unsur perselingkuhan, perbuatan-perbuatan mendekati zina dan perzinaan.

Wallahu a‘lam bish-shawab. *mi).
             



 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Hukum Onani dan Membelanjakan Harta Untuk Gadis Bukan Muhrimnya

$
0
0


Pertanyaan Dari:
B, Cirebon
(Disidangkan pada hari Jum’at, 14 Shafar 1431 H / 29 Januari 2010)


Pertanyaan:

As-Salamu‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Saya seorang simpatisan Muhammadiyah, sudah lama dan sering membaca halaman-halaman yang ada dalam majalah Suara Muhammadiyah serta sudah memiliki buku Tanya Jawab  Agama yang berjumlah lima jilid dan sudah barang tentu diterbitkan oleh Suara Muhammadiyah pula. Tapi sejauh ini pula saya belum menemukan hal-hal yang menerangkan tentang (a) hukumnya onani yang hanya menerangkan sebatas batalnya  puasa saja.  Sedangkan hukum onani itu sendiri belum  ada keterangannya.

Dan hal lain yang belum pernah saya temukan baik dalam buku Tanya Jawab Agama maupun dalam Majalah Suara Muhammadiyah yaitu sesuatu yang berhubungan dengan hal membelanjakan harta, baik tentang segi hukumnya dan berlaku bagi warga muslim. Tentunya yaitu tentang pembahasan bagaimana hukumnya seorang suami atau seorang laki-laki yang berstatus sudah berkeluarga masih juga mau melayani (atau memberi) pertolongan (pada) seorang gadis non muhrim tanpa sepengetahuan istrinya. Apa hukumnya berdosa dengan dasar perselingkuhan tersebut. Misalnya karena laki-laki itupun  mungkin juga menyenangi gadis tersebut. Sedang gadis tersebut sangat memerlukan sekali pertolongan tersebut yang berupa uang guna keperluan sekolahnya yang dia memang masih sekolah.

Yang jadi pertanyaan saya (b) bagaimana sikap saya kepadanya yang harus saya lakukan agar diri saya tidak mendapat dosa dari perbuatan saya sendiri. Dengan catatan saya tak pernah mengganggunya, tapi saya menyukainya … dan anehnya diapun menganggap saya sebagai teman orang tuanya. Mohon penjelasannya dan dapat dimuat di majalah Suara Muhammadiyah yang sudah barang tentu saya tunggu. Terima kasih atas perhatian pengasuh dari PP Muhammadiyah dan mohon maaf saya tidak dapat mencantumkan nama saya yang sebenarnya.
Wabillahit-taufik wal-hidayah.
Was-Salamu‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jawaban:

Wa‘alaikumus-salam warahmatullahi wabarakatuh
Berikut jawaban atas pertanyaan saudara di atas:

Onani (istimnâ’) atau masturbasi bagi perempuan adalah (perbuatan) mengeluarkan mani bukan melalui jalan persetubuhan, baik dengan telapak tangan atau dengan cara yang lainnya (Mu’jam Lughah al-Fuqahâ, vol. I: 65). Namun penjelasan dalam kitab-kitab fikih, hemat kami cenderung pada kesimpulan bahwa onani adalah mengeluarkan mani atau sperma dengan disengaja dan dilakukan dengan menggunakan tangan, baik tangannya sendiri, tangan istri atau tangan budak perempuannya ketika syahwat sedang muncul dan atau memuncak.

Mengenai perbuatan ini, para fuqaha yang sejak dulu sudah membahasnya dalam kitab-kitab fikih karangan mereka terbagi menjadi beberapa kelompok.  Kelompok pertamayaitu kalangan ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Zaidiyah yang mengharamkannya. Argumentasi mereka adalah bahwa Allah memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam semua perilaku, kecuali untuk istri dan budak yang dihalalkan (milku al-yamîn).

Jika seseorang melampaui dua hal ini dan dia beronani, maka dia dianggap seperti kaum Ad yang melampaui batas dari apa yang dihalalkan Allah dan melakukan sesuatu yang diharamkan. Allah berfirman:

Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” [QS. al-Mu’minun (23): 5-7]

Kelompok kedua adalah kalangan ulama Hanafiyah yang berpendapat bahwa onani haram dalam kondisi tertentu dan wajib dalam kondisi yang lain. Mereka mengatakan: “Onani menjadi wajib, jika dia takut melakukan zina kalau tidak beronani, sesuai dengan kaidah fikih:

 “Mengambil perbuatan teringan dari dua mudarat (bahaya yang ada)”.

Sedangkan mereka yang mengatakan haram, jika dilakukan untuk memancing nafsu. Mereka mengatakan: “Tidak apa-apa dengan onani, jika nafsu sudah menguasai dirinya sementara dia belum memiliki istri atau budak wanita dengan tujuan mencari kestabilan”.

Kelompok ketiga adalah kalangan ulama mazhab Hambali yang mengatakan bahwa onani hukumnya haram, kecuali jika dia takut terjebak dalam perzinaan atau takut atas kesehatannya, sementara dia belum mempunyai istri atau budak wanita. Dia juga tidak mampu untuk menikah. Maka dalam kondisi seperti ini dia dibolehkan beronani.
Selain ketiga kelompok di atas, terdapat pendapat independen dari beberapa sahabat, tabi’in dan ulama lainnya  di antaranya: Abdulah bin Umar ra., Abdulah bin Abbas ra., Atha’, al-Hasan, dan Ibnu Hazm. Ibnu Abbas ra. dan al-Hassan  membolehkannya. Sedang Abdulah bin Umar ra. dan Atha’ memakruhkannya. Ibnu Hazm berpendapat bahwa onani hukumnya makruh dan tidak berdosa, sebab seseorang menyentuh kemaluan sendiri dengan tangan kirinya hukumnya mubah sesuai dengan ijmak (kesepakatan para ulama). Jika memang mubah, maka hukum tidak akan berubah dari sifat mubah, kecuali sengaja mengeluarkan mani. (Fiqh as-Sunnah, vol. 3, h.424-426). Oleh sebab itu hukum asalnya tetap tidak haram, sebagaimana firman Allah: 
... وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ....
Artinya:“... sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu ...” [QS. al-An'âm (6): 119] 

Ayat ini tidak menunjukkan keharamannya. Dengan demikian, onani hukumnya halal, sebagaimana firman Allah:

Artinya:“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu ...” [QS. al-Baqarah (2): 29]

Dari berbagai macam pendapat di atas, hemat kami bahwa onani hukumnya adalah makruh karena cenderung tidak etis dan tidak pantas dilakukan. Dan dalam kondisi tertentu dibolehkan, namun tidak boleh dilakukan secara rutin atau terus menerus. Kondisi tertentu itu antara lain seperti untuk kasus sepasang suami-istri yang terpisahkan tempat tinggalnya. Para sahabat pun dalam sebuah riwayat pernah melakukan onani ketika sedang bepergian melakukan perang.  Juga dibolehkannya seorang istri yang sedang dalam keadaan haid membantu keluarnya mani sang suami (maaf, dengan tangan istri tersebut) di mana dalam keadaan tersebut sang istri sedang terhalang secara syar’i (agama) untuk melakukan hubungan suami istri. Sebagaimana merujuk pada sebuah riwayat dalam Shahih Muslim kitab al-Haidh (646):

حَدَّثَنَاثَابِتٌعَنْأَنَسٍ،أَنَّالْيَهُودَكَانُوا،إِذَاحَاضَتِالْمَرْأَةُفِيهِمْ،لَمْيُؤَاكِلُوهَاوَلَمْيُجَامِعُوهُنَّفِيالْبُيُوتِ،فَسَأَلَأَصْحَابُالنَّبِيِّالنَّبِيَّ . فَأَنْزَلَاللهتَعَالَى:وَيَسْأَلُونَكَعَنِالْمَحِيضِقُلْهُوَأَذىًفَاعْتَزِلُواالنِّسَاءَفِيالْمَحِيضِإِلَىآخِرِالآيَةِ. (البقرةالآية: 222) فَقَالَرَسُولُاللّهِ :اصْنَعُواكُلَّشَيْءٍإِلاَّالنِّكَاحَ. [رواه مسلم]

Artinya: “Telah menceritakan pada kami Tsabit dari Anas ra. bahwa  (suatu kebiasaan) orang-orang Yahudi apabila wanita-wanita mereka sedang haid, mereka tidak mau makan bersama-sama, bahkan tidak untuk tinggal serumah. Maka para sahabat bertanya perihal itu, lalu turun ayat:“Mereka bertanya tentang haid. Katakanlah:Haid itu kotor. Karena itu jauhilah wanita-wanita itu selama masa haid.” [QS. al-Baqarah (2): 222]. Lalu Rasulullah saw. bersabda: “Kamu boleh melakukan segala-galanya selain bersenggama.” [HR. Muslim]

Selain itu, artinya bagi mereka yang membiasakan beronani dan tidak dalam kondisi tertentu, maka ia telah bermaksiat dan melakukan perbuatan yang terkategori pengantar menuju zina. Padahal Allah berfirman:

ŸArtinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” [QS. al-Isra’ (17): 3

Dari segi kesehatan, jika onani atau masturbasi itu sering dilakukan dan menjadi kebiasaan, demikian dapat menggangu kesehatan jasmani (susunan syaraf) dan rohaninya (mental-pikiran). Juga dapat melemahkan potensi kelamin serta kemampuan ejakulasinya, sehingga sel sperma lelaki cenderung gagal bertemu dengan sel telur wanita (ovum) (al-Jurjawi, 1931:198-199).

Beberapa langkah yang dianjurkan agar setiap muslim menjauhi dan terhindar dari perbuatan onani ini di antaranya sebagai berikut:

a.       Menyibukkan diri dengan kegiatan atau aktifitas yang bermanfaat.
b.      Menjauhi hal-hal yang dapat mengarah dan menyebabkan maksiat dan nafsu syahwat seperti bacaan, film, dan media yang berbau pornografi dan lain-lainnya.
c.       Menikah jika seseorang tersebut sudah mampu. Namun jika belum mampu, sebagaimana Rasulullah saw. menganjurkannya untuk berpuasa.


Salah satu karakteristik ajaran Islam adalah rahmatan lil-alamîn. Bahwa Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Satu maksud dari karateristik tersebut bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang sarat akan manfaat dan mashlahat, baik pada tataran individu maupun sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu Islam mengajarkan pemeluknya untuk memberikan manfaat dan mashlahat kepada orang lain atau sesamanya.

Demikian tercermin pula jika kita melihat konsep harta dalam Islam. Harta dalam Islam  adalah titipan Allah SWT, pemilik seluruh alam raya dan segala isinya, termasuk pemilik harta benda. Seseorang yang beruntung memperolehnya pada hakikatnya hanya menerima titipan amanah untuk disalurkan dan dibelanjakan sesuai dengan kehendak pemiliknya (Allah SWT). Manusia yang dititipi itu berkewajiban memenuhi ketetapan yang digariskan sang Pemilik, baik dalam pengembangan harta maupun penggunaannya.

Zakat merupakan salah satu ketetapan Allah menyangkut harta, pun demikian dengan shadaqah dan infaq. Karena Allah SWT menjadikan harta benda sebagai sarana kehidupan untuk umat manusia seluruhnya, sehingga ia harus diarahkan guna kepentingan bersama. Manusia adalah makhluk sosial yang berasal dari satu keturunan, sehingga manusia satu dengan yang lainnya adalah saudara. Kebersamaan dan persaudaraan inilah yang mengantarkan kepada kesadaran untuk menyisihkan sebagian harta kekayaan, khususnya kepada mereka yang membutuhkan, baik dalam bentuk kewajiban zakat, maupun shadaqah dan infaq.
Allah berfirman:


Artinya: “Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” [QS. al-Hadid (57): 7]

Oleh karena itu, perbuatan saudara memberikan pertolongan berupa biaya sekolah terhadap gadis yang masih berstatus sekolah tersebut dikarenakan tidak mampu, sesuai dengan firman Allah di atas. Jika perbuatan tersebut didasari niat ikhlas membantu karena Allah SWT tanpa tendensi (motif) apapun dan dilakukan dengan cara-cara yang benar, maka Insya Allah ridha Allah mengiringi saudara. Terkait dengan dilema kasus yang saudara hadapi, dalam hal ini kami menganjurkan beberapa hal sebagai berikut:
a.       Hendaklah pengeluaran harta tersebut diketahui dan dimusyawarahkan dengan istri anda. Libatkanlah istri dalam hal pemberian yang bisa dikatakan beasiswa  kepada gadis yang anda tolong tersebut.
b.      Perlu diingat bahwa harta yang anda peroleh disebut harta bersama (suami-istri). Jika pengeluarannya tanpa sepengetahuan istri, maka demikian termasuk berdosa.
c.       Hindarilah berdua-duaan  dengan gadis yang anda ketahui bukan anggota keluarga (mahram) tersebut. Mengingat perbuatan tersebut termasuk kategori khalwat yang diperingatkan oleh sabda Rasulullah yang dapat menghantarkan pada perselingkuhan (yang dapat merusak keharmonisan rumah tangga) dan bahkan perzinaan:

عَنْابْنِعَبَّاسٍرَضِيَاللهُعَنْهُمَاقَالَسَمِعْتُرَسُوْلَاللهِصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَيَخْطُبُيَقُولُلاَيَخْلُوَنَّرَجُلٌبِامْرَأَةٍإِلاَّوَمَعَهَاذُومَحْرَمٍ... [رواهمسلم، 1،كتابالحج، 424/1341]


Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw ketika beliau berkhutbah, bersabda (sebagai berikut): Janganlah seorang laki-laki menyendiri dengan seorang perempuan, kecuali perempuan tersebut bersama mahramnya, …” [HR. Muslim; Kitab al-Hajj: 424/1341]

Demikian jawaban dari kami, semoga dapat memberikan solusi dan pencerahan atas persoalan saudara.
Wallahu ‘alam bish-shawâb. *mr)



 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Pengejaran dan Pembunuhan Nabi Isa AS.

$
0
0



Pertanyaan Dari:
H. Soekardi NBM 701806, Baturetno
(disidangkan pada hari Jum'at, 7 Shafar 1431 H / 22 Januari 2010)


Pertanyaan:

Apa sebab “kaum Nasrani yang tidak setuju dakwahnya Isa as, mengejar­-ngejar dan membunuhnya, sekalipun sudah diganti oleh Allah SWT, tetapi toh olehnya Isa as juga dibunuh, kok malah disembah-sembah dan dijadikan Tuhannya?”
  
Jawaban:

Sebelum menjawab substansi-substansi pertanyaan Bapak, kami mohon pengertiannya atas begitu terlambat jawabannya semata-mata soal teknis, karena banyak pertanyaan yang masuk ke Tim Fatwa, sampai-­sampai H. Soekardi menulis surat susulan dua kali, terima kasih atas pengertiannya.
Sehubungan dengan pertanyaan Bapak, terlebih dahulu kita sebagai orang muslim harus merujuk kepada al-Qur’an dan as-Sunah serta memperhatikan kitab-kitab tafsir dan data-data sejarah.
Di dalam al-Qur’an S. an-Nisa’ ayat 157 Allah berfirman:

Artinya: “Dan karena ucapan mereka: "Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah (mereka menyebut Isa putera Maryam itu Rasul Allah ialah sebagai ejekan, karena mereka sendiri tidak mempercayai kerasulan Isa itu)", padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka ………. Mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak (pula) yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa.” [QS. an-Nisa’ (4): 157]

Penjelasan:

Yang dimaksud dengan ucapan “mereka” ialah orang-orang Yahudi dan Romawi, bukan orang-orang Nasrani. Anggapan bahwa yang mengejar-ngejar dan membunuh Nabi Isa as adalah orang Nasrani adalah persepsi atau anggapan yang salah. Selanjutnya ayat di atas menjelaskan bahwa Nabi Isa as tidak meninggal karena dibunuh, tetapi yang dibunuh oleh tentara Romawi waktu itu adalah orang lain yang diserupakan (oleh Allah) sebagai Isa as. Orang itu namanya Yahuza al-Askharayuti yang disangka oleh yang membunuh sebagai Isa as.
Begitulah keterangan yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir, juga dalam kitab-kitab Injil, antara lain dalam kitab Injil Barnabas. Bahkan dalam ayat 158 S. an-Nisa, Allah berfirman:
بَل رَّفَعَهُ اللَّهُ إِلَيْهِ...
Artinya: “Tetapi Allah telah mengangkat (Isa as) kepada-Nya.” [QS. an-Nisa’ (4): 157]

Hanya mengenai perkataan “mengangkat” Isa oleh Allah sendiri ada dua penafsiran di kalangan para ahli tafsir, ahli hadis dan para fukaha, dengan memperhatikan sejumlah hadis-hadis Nabi saw serta dipertautkan pula kepada firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 55 yang berbunyi
… إِنِّي مُتَوَفِّيكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ  
Artinya: “Sesungguhnya Aku (Allah) yang mewafatkan dan mengangkat engkau kepadaku.” [QS. Ali Imran (3): 55]

Masalah ini tidak kami uraikan lebih jauh, karena tidak ada korelasi dan substansinya dengan pertanyaan Bapak.

Barangkali yang perlu kami tambahkan uraian tentang anggapan kaum Nasrani bahwa Nabi Isa as mati dibunuh/disalib atas kemauan Nabi Isa as sendiri, untuk menebus dosa Nabi Adam dan anak cucu keturunannya yang dianggap sebagai dosa warisan. Faham ini pun sebenarnya sangat keliru, sebab Nabi Adam as telah minta ampun kepada Allah dan Allah telah mengampuninya seperti tersebut dalam surat al­-Baqarah ayat 27:

Artinya: “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
[QS. al-Baqarah (2): 37]

Al-Qur’an juga mengajarkan bahwa dosa seseorang tidak ditanggung oleh orang lain. Jadi keyakinan orang Nasrani dalam masalah tersebut sangat-sangat keliru, yang oleh pengarang Tafsir al-Munir Wahbah az-Zuhaili disebut dengan sebutan “dugaan orang Nasrani belaka” (فَهُوَ مِنْ أَوْهَامِ الْمَسِيْة) bahkan tambah Wahbah az-Zuhaili: “Persoalan tebusan dosa itu tidak bisa diterima oleh orang yang berfikir normal” (وَلاَ يَقْبَلُ عَاقِلٌ قَضِيََّةَ الْفِدَاءِ).

Di dalam tafsir al-Manar, as-Sayyid Rasyid Ridha rnenjelaskan tentang asal-usul paham/keyakinan Isa as disalib, sebagai berikut:
أَنَّ قِصَّةَ الصُّلْبِ لَيْسَ لَهَا سَنَدٌ مُتَّصِلٌ إِلَي اْلأَفْرَادِ الَّذِيْنَ رُوِيَتْ عَنْهُمْ، وَأُولَئِكَ اْلأَفْرَادُ الَّذِيْنَ ورَوَوهَا غَيْرَ مَعْرُوفِيْنَ مَعْرِفَةً يَقِينِيَّةً كَمَا يُعْلَمُ مِنْ دَائِرَةِ اْلمَعَارِفِ اْلفَرَنْسِيَّةِ وَغَيْرِهَا مِنَ الْكُتُبِ الَّتِي أَلَّفَهَا عُلَمَاءُ أُورُوبَةَ اْلأَحْرَارِ. وَإِنَّ الَّذِي يُؤْخَذُ مِنْ مَجْمُوعِ تِلْكَ الرِّوَايَاتِ اْلمُنْقَطِعَةِ اْلإِسْنَادِ أَنَّ أَوَّلَ مَنْ وَضَعَ هَذِهِ الْعَقِيدَةَ النَّصْرَنِيَّةَ اْلمَعْرُوفَةَ اْلآنَ هُوَ بَوْلُسُ اْليَهُودِيُّ الَّذِي كَانَ أَشَدَّ أَعْدَاءِ اْلمَسِيْحِ عَلَيْهِ السَّلاَمُ ... [تفسير المنار المجلد السادس صفحة: 45]
Artinya: “Bahwasannya cerita penyaliban (Isa as) tidak ada sandarannya yang bersambung kepada individu-individu yang diriwayatkan dari mereka. Orang-orang yang meriwayatkan cerita itu benar-benar tidak dikenal secara meyakinkan, sebagaimana diketahui dari Ensiklopedi Perancis dan buku-buku lainnya yang dikarang oleh ilmuwan-ilmuwan Eropa secara bebas, sebenarnya sesuatu yang dapat diperoleh dari kumpulan riwayat-riwayat tersebut yang terputus sandaranya itu adalah bahwa orang pertama yang membuat kepercayaan (aqidah) salib di kalangan orang-orang Nasrani sekarang ini adalah Paulus yang berdarah Yahudi, dia adalah orang yang sangat benci dan memusuhi al-Masih as.”

Bahkan lanjut Rasyid Ridla, Paulus sengaja mengakui dirinya sebagai orang Nasrani supaya apa yang disampaikan dapat dipercaya dan diterima oleh orang-orang Nasrani. Ia tak ubahnya sebagai musang berbulu ayam (munafik).

Hal ini mengingatkan kita kepada peran yang dimainkan Ibnu Saba’ (orang Yahudi) di zaman Islam yang mencoba untuk merusak akidah orang-orang Islam dengan mengatakan bahwa orang yang berhak sebagai khalifah sepeninggal Rasulullah saw adalah Ali bin Abi Thalib dengan mengambil alasan bahwa Nabi saw pernah mengatakan, kedudukan Nabi saw dan ‘Ali adalah seperti kedudukan Musa as dengan Harun as. Usaha Ibnu Saba’ dapat dikatakan setengah berhasil di masa Khalifah Usman dan Khalifah ‘Ali. Dia dapat mengadudomba antara umat Islam yang mengakibatkan timbul malapetaka besar (الفِتْنَةُ الْكُبْرَى) dengan terbunuhnya Khalifah Usman dan juga peristiwa-peristiwa yang menyedihkan yang menimpa umat Islam di masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.

Kami tegaskan sekali lagi bahwa Isa as tidak dibunuh oleh orang-orang Nasrani dan tidak pula dibunuh oleh orang-orang Yahudi, tetapi yang dibunuh oleh tentara Romawi atas provokasi orang-orang Yahudi adalah orang yang bernama Yahuza al-Ashkarayuti seperti telah kami sebutkan di atas.
Mengenai mengapa kemudian orang-orang Nasrani menjadikan Isa as sebagai Tuhan dan disembah oleh mereka. Hal itu berpangkal pada keyakinan kaum Nasrani bahwa Isa as adalah anak Tuhan, karena Isa as lahir tidak punya bapak yang berupa manusia, oleh orang-orang Nasrani dianggap bahwa Allah telah bertajalli (bersenggama) dengan Maryam. Di dalam al-Qur’an suratat-Taubah ayat 30 disebutkan:

Artinya: “Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "al-Masih itu putera Allah". Demikianlah itu mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?”

Di dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 59 Allah berfirman:



Artinya: “Sesungguhnya issal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), maka jadilah dia.”

Sehubungan dengan ayat ini, Ibnu Katsir berkomentar:
وَفِي هَذِهِ اْلأَيَةِ اْلكَرِيْمَةِ أَرَادَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَي أَنْ يَظْهَرَ قُدْرَتَهُ لِخَلْقِهِ حِينَ خَلَقَ آدَمَ لاَ مِنْ ذَكَرٍ وَلاَ مِنْ أُنْثَى وَخَلَقَ حَوَاءَ مِنْ ذَكَرٍ بَلاَ أُنْثَى وَخَلَقَ عِيسَى مِنْ أُنْثَى بِلاَ ذَكَرٍ كَمَا خَلَقَ بَقِيَّةَ اْلخَلْقِ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى [تفسير القرآن العظيم: 1: 323]
Artinya: “Di dalam ayat mulia ini Allah Tabaraka wata’ala bermaksud untuk menampakkan kekuasaannya bagi makhluk-Nya ketika Ia menciptakan Adam tidak dan laki-laki (ayah) dan tidak dari perempuan (ibu), dan Dia menciptakan Hawa’ dari laki (Adam) tanpa perempuan (ibu) dan Dia menciptakan Isa dari perempuan (ada ibu) tanpa laki-laki (ayah) sebagaimana Dia telah menciptakan makhluk lainnya dari laki (ada ayah) dan perempuan (ada ibu).” [Tasir al-Qur’an al-Adhim, I: 323]

Menurut/ sepanjang penyelidikan kami ayat 59 SuratAli ’Imran ini turun sehubungan dengan perilaku orang-orang Nasrani Najran dimana mereka menjadikan kelahiran al-Masih as yang bersifat mu’jizat itu sebagai dalil atas ketuhanan isa as dan sebagai anak Allah, lalu turun ayat di atas merespon perilaku salah mereka itu dalam anggapan yang demikian itu. [baca حَيَاةُ اْلمَسِيحِ, karangan dari Hanan Qarquni hal 150]

Dengan uraian singkat ini kiranya sudah terjawab dua substansi dalam pertanyaan itu, yaitu mengapa Isa as dikejar-kejar dan ingin membunuhnya, serta mengapa Isa itu disembah dan dijadikan Tuhan oleh orang-orang Nasrani. Semoga jawaban ini bermanfaat bagi Bapak dan teman-teman Bapak lainnya dan teruskan berda’wah.

Wallahu a’lam bish-shawab. th*)


 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Adat Kebiasaan Hari Raya, Pengobatan Memakai Kalung dan Tentang Bai'at

$
0
0

Pertanyaan Dari:
Miftah A, NBM: 656718
MA Muhammadiyah Sinar Negeri, Kec. Pubian Kab. Lampung Tengah
(disidangkan pada Jum'at, 17 Rajab 1430 H / 10 Juli 2009 M)


Pertanyaan:

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Mewakili seluruh anggota Majlis Ta’lim Ranting Muhammadiyah Sinar Negeri, dengan ini saya mengajukan beberapa pertanyaan:

1.      Di banyak tempat tidak terkecuali di kampung kami, baik warga Muhammadiyah maupun yang bukan, mengisi kegiatan pada Hari Raya ‘Idul Fitri dengan cara berkunjung keluar masuk rumah tetangga, kenalan dan handai tolan untuk meminta dan memberi maaf. Benarkah adat kebiasaan semacam ini? Bagaimana sebaiknya warga Muhammadiyah merayakan Hari Raya ‘Idul Fitri?

2.      Di tempat kami saat ini sedang ramai orang (termasuk banyak warga Muhammadiyah) berusaha memiliki kalung dan gelang yang harganya sekitar Rp 1.500.000,- dengan tujuan untuk mengobati beberapa macam jenis penyakit. Bolehkah pengobatan dengan cara seperti ini?

3.      Dalam forum majlis ta’lim di tempat kami pernah disampaikan oleh salah seorang pengurus PCM. Beliau mengeluhkan salah satu kekurangan Muhammadiyah adalah tidak adanya bai’at bagi orang yang akan menjadi anggota Muhammadiyah, sehingga setelah menjadi anggota tingkat kepatuhannya kepada persyarikatan dan pimpinannnya sangat rendah. Apa memang demikian? Mohon penjelasan tentang arti BAI’AT dan perlu tidaknya BERBAI’AT.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudara yang terhormat, berikut ini jawaban atas pertanyaan-pertanyaan saudara:
1.      Perlu dijelaskan di sini bahwa tidak ada dalil secara khusus tentang amalan yang biasa dilakukan bangsa kita pada Hari Raya Idul Fitri. Silaturrahim, bersedekah, meminta dan memberi maaf umpamanya, itu diwajibkan atau sekedar disunatkan pada hari-hari biasa. Oleh karena itu, tidak mengapa jika kaum muslimin mengambil kesempatan Hari Raya untuk melakukan amalan-amalan baik tersebut karena memang ada dalilnya secara umum. Dalil silaturrahim misalnya, adalah hadis berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ. [رواه البخاري]
Artinya: “Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa suka dilapangkan rezekinya atau dipanjangkan usianya maka hendaklah ia menyambung tali silaturrahimnya".” [HR. al-Bukhari]

Dalil meminta dan memberi maaf adalah ayat berikut:

Artinya: “Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. at-Taghabun: 14]

Dan ayat berikut:

Artinya: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”[QS. Ali Imran (3): 133-134]
Dan hadis berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيِرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ كَانَتْ لَهُ مُظْلِمَةٌ لِأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيِتَحَلَّلَهُ مِنْهُ اْليَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونُ دِيْنَارٌ وِلاَ دِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدَرِ مُظْلِمَتَهُ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ. [رواه البخاري]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa melakukan kezaliman terhadap seseorang menyangkut kehormatannya atau suatu apapun (yang berhubungan dengannya) maka hendaklah ia segera minta dihalalkan olehnya hari itu juga sebelum dinar dan dirham tidak berguna lagi. Jika ia mempunyai amal saleh maka akan diambil darinya sekedar kezalimannya, dan jika ia tidak mempunyai kebaikan maka kejelekan kawannya (yang dizalimi itu) diambil lalu diletakkan atasnya".” [HR. al-Bukhari]

2.      Tentang pemakaian kalung dan gelang untuk pengobatan, perlu difahami bahwa pada umumnya kalung dan gelang adalah perhiasan yang biasa dipakai oleh kaum wanita. Kaum laki-laki dilarang untuk menyerupai kaum wanita, demikian pula sebaliknya.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اْلمُخْنِثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَاْلمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ. [رواه البخاري]
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: "Nabi saw melaknat laki-laki yang berperilaku menyerupai wanita dan wanita yang berperilaku menyerupai laki-laki".” [HR. al-Bukhari]

Jika kalung atau gelang itu terbukti secara medis mempunyai khasiat bisa mengobati suatu penyakit karena mempunyai unsur magnit yang baik untuk melancarkan peredaran darah umpamanya, sebagaimana pernah kami fatwakan sebelumnya, maka tidak ada masalah bagi kaum wanita untuk menggunakannya karena gelang dan kalung itu memang perhiasan mereka. Namun bagi kaum laki-laki, untuk menghindari fitnah dan agar terhindar dari berperilaku menyerupai wanita, dianjurkan untuk mencari obat lain atau jika terpaksa dapat menggunakannya secara tertutup (tidak ditampakkan) atau waktu berada di rumah saja. Penting untuk diyakini bahwa yang menyembuhkan penyakit itu hanyalah Allah swt, bukan kalung atau gelang atau obat atau apa/siapa saja selain Allah swt. Di samping itu, hendaknya kalung atau gelang tersebut tidak dipakai sebagai jimat atau sesuatu yang menyerupainya, karena itu termasuk syirik.

3.      Adapun tentang bai'at, bai’at berasal dari kata Arab baa'a dan baya'a yang berarti jual beli dan janji setia. Dari segi istilah bai'at berarti janji taat setia kepada pemimpin, baik pada waktu senang maupun susah. Janji setia ini diberikan oleh kaum muslimin kepada Khalifah sebagai pemimpin tertinggi mereka. Dengan demikian kekhilafahan itu adalah obyek bai'at. Artinya, bai'at itu hanya untuk Khalifah dan bai'at hanya dipakai dalam sistem politik Islam, yakni janji setia kepada pemimpin tertinggi politik (Khalifah). Dalam sejarah, bai'at atau janji setia dilakukan oleh umat Islam kepada Rasulullah saw, para Khalifah ar-Rasyidin dan para khalifah yang datang setelah mereka sehingga kekhilafahan itu ditumbangkan oleh Kamal Ataturk dari Turki pada tahun 1924.

Bai'at kepada Khalifah ini wajib hukumnya karena ada ancaman bagi orang yang tidak melakukannya dengan ancaman yang sangat berat, yaitu hadis berikut:
عَنْ نَافِعٍ قَالَ جَاءَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ إِلَى عَبْدِ اللهِ بْنِ مُطِيعٍ حِينَ كَانَ مِنْ أَمْرِ الْحَرَّةِ مَا كَانَ زَمَنَ يَزِيدَ بْنِ مُعَاوِيَةَ فَقَالَ اطْرَحُوا لِأَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ وِسَادَةً فَقَالَ إِنِّي لَمْ آتِكَ لِأَجْلِسَ أَتَيْتُكَ لِأُحَدِّثَكَ حَدِيثًا سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُهُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً. [رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Nafi' katanya: Abdullah bin Umar mendatangi Abdullah bin Muthi' ketika menjadi penguasa Hurrah pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah maka ia berkata: ambil bantal untuk Abu Abdurrahman (Abdullah bin Umar), maka Abdullah bin Umar berkata: "Aku datang kepadamu bukan untuk duduk, aku datang untuk menyampaikan hadis yang aku dengar dari Rasulullah saw, aku mendengar Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa melepaskan tangan dari ketaatan (tidak taat kepada Khalifah) niscaya dia akan menemui Allah tanpa mempunyai alasan, dan barangsiapa mati sedang di lehernya tidak ada bai'at (janji setia kepada Khalifah) maka dia mati dengan kematian jahiliyyah".” [HR. Muslim]

Menurut kami, jika bai'at ini diterapkan pada Persyarikatan Muhammadiyah maka itu tidak sesuai, karena Persyarikatan Muhammadiyah bukan partai politik atau lembaga kekhalifahan. Cukup bagi yang ingin menjadi anggota Persyarikatan Muhammadiyah untuk mengucapkan janji setia atau ikrar atau pernyataan taat kepada Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga Persyarikatan dan beberapa aturan pokok lainnya, dengan lisan atau tulisan. Adapun masalah rendahnya ketaatan para anggota kepada Persyarikatan Muhammadiyah dan pimpinannya, menurut kami itu bukan karena mereka tidak dibai'at, tapi mungkin karena sebab-sebab lainnya seperti kurang paham terhadap visi, misi dan tujuan Persyarikatan Muhammadiyah, kurang pendidikan kemuhammadiyahan setelah menjadi anggota dan menjadi anggota organisasi keagamaan lainnya pada waktu yang bersamaan dengan keanggotaan Persyarikatan Muhammadiyah dan lain-lain. Dengan demikian solusi masalah ini bukan dengan bai'at.

Wallahu a'lam bish-shawab. *mi)

 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Rukyat Global

$
0
0

Pertanyaan Dari:
Ketua salah satu PDM di DIY,
disampaikan langsung secara lisan kepada Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah

Tanya:

Di kampung sekitar tempat saya tinggal, banyak teman-teman kita yang mengatakan bahwa apabila rukyat dapat dilakukan di suatu tempat di dunia, maka rukyat itu berlaku untuk seluruh dunia. Itu bagaimana duduk persoalannya dan bagaimana pandangan Tarjih?


Jawab:

Sebelum menjawab pertanyaan tentang berlakunya rukyat di suatu tempat bagik seluruh dunia (yang sering disebut dengan rukyat global), perlu terlebih dahulu dijelaskan pandangan Tarjih tentang penetapan awal bulan kamariah. Dalam praktiknya di lingkungan Muhammadiyah, seperti dilakukan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid, digunakan hisab untuk penetapan awal bulan kamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Majelis Tarjih dan Tajdid tidak menggunkan rukyat.

Alasan penggunaan hisab dalam Muhammadiyah adalah sebagai berikut:
1.      Al-Qur’an Surat Ar-Rahman ayat 5:
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ (الرحمن:5)
      Artinya:Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan (QS. ar-Rahman, 55:5)
2.      Al-Qur’an Surat Yunus ayat 5
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ (يونس:5)
      Artinya:Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu) (QS. Yunus, 10: 185).
3.      Hadis al-Bukhari dan Muslim,
إِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوْا لَهُ[رواه البخاري ، واللفظ له ، ومسلم].
      Artinya: Apabila kamu melihat hilal berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya beridulfitrilah! Jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah [HR al-Bukhari, dan lafal di atas adalah lafalnya, dan juga diriwayatkan Muslim].
4.      Hadis tentang keadaan umat yang masih ummi, yaitu sabda Nabi saw,
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لا نَكْتُبُ ولا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلاثِينَ[رواه البخاري ومسلم].
      Artinya: Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Maksudnya adalah kadang-kadang dua puluh sembilan hari, dan kadang-kadang tiga puluh hari [HR al-Bukhari dan Muslim].

Surat ar-Rahman ayat 5 dan surat Yunus ayat 5 menegaskan bahwa benda-benda langit berupa matahari dan Bulan beredar dalam orbitnya dengan hukum-hukum yang pasti sesuai dengan ketentuan-Nya. Oleh karena itu peredaran benda-benda langit tersebut dapat dihitung (dihisab) secara tepat. Penegasan kedua ayat ini tidak sekedar pernyataan informatif belaka, karena dapat dihitung dan diprediksinya peredaran benda-benda langit itu, khususnya matahari dan bulan, bisa diketahui manusia sekalipun tanpa informasi samawi. Penegasan ayat itu justru merupakan pernyataan imperatif yang memerintahkan untuk memperhatikan dan mempelajari gerak dan peredaran benda-benda langit tersebut yang akan membawa banyak kegunaan seperti untuk meresapi keagungan Sang Pencipta, dan untuk kegunaan praktis bagi manusia sendiri antara lain untuk dapat menyusun suatu sistem pengorganisasian waktu yang baik seperti dengan tegas dinyatakan oleh 5 surat Yunus (... agar kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu).

Pada zamannya, Nabi saw dan para Sahabatnya tidak menggunakan hisab untuk menentukan masuknya bulan baru kamariah, melainkan menggunakan rukyat seperti terlihat dalam hadis pada angka 3 di atas dan beberapa hadis lain yang memerintahkan melakukan rukyat. Praktik dan perintah Nabi saw agar melakukan rukyat itu adalah praktik dan perintah yang disertai ‘illat (kausa hukum). ‘Illatnya dapat difahami dalam hadis pada angka 4 di atas, yaitu keadaan umat pada waktu itu yang masih ummi (Rasyid Rida, Tafsir al-Manar, II: 152). Keadaan ummi artinya adalah belum menguasai baca tulis dan ilmu hisab (astronomi), sehingga tidak mungkin melakukan penentuan awal bulan dengan hisab seperti isyarat yang dikehendaki oleh al-Quran dalam surat ar-Rahman dan Yunus di atas. Cara yang mungkin dan dapat dilakukan pada masa itu adalah dengan melihat hilal bulan secara langsung: bila hilal terlihat secara fisik berarti bulan baru dimulai pada malam itu dan keesokan harinya dan bila hilal tidak terlihat, bulan berjalan digenapkan 30 hari dan bulan baru dimulai lusa.

Sesuai dengan kaidah fikih (al-qawa‘id al-fiqhiyyah) yang berbunyi,
الحكم يدور مع علته وسببه وجودا وعدما
Artinya: Hukum itu berlaku menurut ada atau tidak adanya ‘illatdan sebabnya [I‘lam al-Muwaqqi‘in, IV: 105],
maka ketika ‘illat sudah tidak ada lagi, hukumnya pun tidak berlaku lagi. Artinya ketika keadaan ummi itu sudah hapus, karena tulis baca sudah berkembang dan pengetahuan hisab astronomi sudah maju, maka rukyat tidak diperlukan lagi dan tidak berlaku lagi. Dalam hal ini kita kembali kepada semangat umum dari al-Quran, yaitu melakukan perhitungan (hisab) untuk menentukan awal bulan baru kamariah.
Telah jelas bahwa misi al-Quran adalah untuk mencerdaskan umat manusia, dan misi ini adalah sebagian tugas pokok yang diemban oleh Nabi Muhammad saw dalam dakwahnya. Ini ditegaskan dalam firman Allah,
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي اْلأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ ءَايَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلاَلٍ مُبِينٍ [الجمعة (62) : 2].
Artinya: Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang ummi seorang rasul yang berasal dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan kebijaksanaan. Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata [Q. al-Jumu‘ah (62): 2].

Dalam rangka mewujudkan misi ini, Nabi saw menggiatkan upaya belajar baca tulis seperti terlihat dalam kebijakannya membebaskan tawanan Perang Badar dengan tebusan mengajar kaum Muslimin baca tulis, dan beliau memerintahkan umatnya agar giat belajar ilmu pengetahuan seperti tercermin dalam sabdanya,
طلب العلم فريضة على كل مسلم [رواه الطبرانيعن عبد الله بن مسعود ، ووكيع عن أنس]
Artinya: Menuntut ilmu wajib atas setiap muslim [HR ath-Thabarani dari ‘Abdullah Ibn Mas‘ud, dan riwayat Waki‘ dari Anas].

Dalam kerangka misi ini, sementara umat masih dalam keadaan ummi, maka metode penetapan awal bulan dilakukan dengan rukyat buat sementara waktu. Namun setelah umatnya dapat dibebaskan dari keadaan ummi itu, maka kembali kepada semangat umum al-Quran agar menggunakan hisab untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.

Atas dasar itu, beberapa ulama kontemporer menegaskan bahwa pada pokoknya penetapan awal bulan itu adalah dengan menggunakan hisab,
اْلأَصْلُ فِيْ إِثْباَتِ الشَّهْرِ أَنْ يَكُوْنَ باِلْحِسَابِ
Artinya: Pada asasnya penetapan bulan qamariah itu adalah dengan hisab [yaraf al-Qudah].

Dalam Muhammadiyah digunakan hisab hakiki wujudul hilal. Arti hisab hakiki adalah bahwa penanggalan didasarkan kepada gerak sebenarnya (hakiki / sesungguhnya) dari Bulan. Hisab hakiki berbeda dengan hisab urfi, yang tidak mendasarkan pada gerak sebenarnya dari Bulan, sehingga antara hisab urfi dan gerak Bulan tidak selalu sejalan, terkadang hisab urfi mendahului dan terkadang terlambat. Wujul hilal artinya keberadaan Bulan di atas ufuk saat matahari terbenam setelah terjadinya konjungsi. Jadi hisab hakiki wujudul hilal itu menetapkan bulan baru dengan tiga kriteria, yaitu:
a.       telah terjadi ijtimak (konjungsi), yaitu tercapainya satu putaran sinodis Bulan mengelilingi bumi,
b.      ijtimak terjadi sebelum terbenamnya matahari, dan
c.       pada saat matahari terbenam Bulan berada di atas ufuk. 

Apa yang dikemukakan di atas adalah alasan syar‘i. Sedangkan alasan astronomis adalah:
1)      Rukyat tidak dapat dijadikan landasan untuk membuat kalender, karena dengan rukyat, awal bulan baru bisa diketahui pada H-1, dan rukyat tidak bisa meramal tanggal jauh ke depan sehingga tidak mungkin membuat penjadwalan waktu.

2)      Rukyat tidak bisa menyatukan tanggal di seluruh dunia karena rukyat terbatas jangkauannya. Rukyat hanya bisa dipedomani pada kawasan normal, yaitu kawasan di bawah garis 60º LU dan di atas garis 60º LS. Kawasan di luar itu adalah tidak normal karena munculnya Bulan akan terlambat. Di kawasan Lingkaran Artika dan Lingkaran Antartika pada musim dingin yang bisa dilihat hanya Bulan purnama dan Bulan cembung. Bulan sabit berada di bawah ufuk selama musim dingin.

3)      Rukyat akan membelah kawasan muka bumi menjadi dua bagian, yaitu kawasan yang bisa merukyat dan kawasan yang pada sore yang sama tidak bisa merukyat yang berakibat terjadinya perbedaan memasuki bulan baru. Kawasan yang sudah bisa merukyat hilal memasuki bulan baru pada malam itu dan keesokan harinya, sementara kawasan yang tidak bisa melihat hilal pada sore tersebut memasuki bulan baru lusa. Rukyat akan senantiasa membelah muka bumi, sehingga mustahil menyatukan awal bulan kamariah berdasarkan rukyat. Berikut ini adalah peta kurve rukyat Syawal 1428 H (11 Oktober 2007 M) berdasarkan kriteria rukyat ‘Audah.
      Kurve rukyat Syawal 1428 H (11 Oktober 2007 M).

Garis A adalah garis terbenamnya Matahari dan Bulan bersamaan. Sedangkan kurve B menunjukkan bahwa kawasan di dalam kurve B tersebut bisa merukyat hilal Syawal pada sore Kamis 11 Oktober 2007. Tampak bahwa hilal Syawal terlihat di kawasan kecil di selatan benua Amerika Latin, yaitu beberapa daerah di Cile, sementara di ibukota Santiago sendiri hilal Syawal tidak dapat dilihat. Pada kawasan dunia lainnya hilal syawal 1428 (2007) tidak dapat dirukyat pada hari tersebut. Keadaan ini memaksa dunia memasuki 1 Syawal 1428 H pada hari yang berbeda.

4)      Atas dasar itu, maka pada tahun tertentu, rukyat akan memaksa umat Islam di dunia untuk melaksanakan puasa Arafah pada hari yang berbeda dengan hari terjadinya wukuf di Arafah (Mekah) secara riil. Sebagai contoh adalah Zulhijah 1431 H. Pada sore Sabtu (hari konjungsi) 06 November 2010 M, di Mekah tinggi (titik pusat) Bulan geosentrik saat Matahari terbenam baru mencapai setengah derajat (0,5º). Tinggi toposentrik malah masih minus. Itu artinya Mekah akan menggenapkan Bulan Zulkaidah 30 hari dan akan memulai tanggal 1 Zulhijah 1431 H pada hari Senin 08 November 2010 M dan hari Arafah akan jatuh pada hari Selasa 16 November 2010 M. [Catatan: di Mekah rukyat selalu tidak akurat, sering terjadi klaim rukyat padahal Bulan masih di bawahg ufuk sebagaimana kasus-kasus beberapa tahun belakangan]. Sementara itu di bagian selatan benua Amerika Latin hilal Zulhijah insya Allah terlihat pada hari Sabtu 06 November 2010 H apabila langit cerah. Di ibukota Cile, Santiago, tinggi Bulan geosentrik adalah 09º 49’ 35”. Itu artinya bahwa sebagian besar masyarakat Muslim Amerika Latin akan memasuki 1 Zulhijah pada hari Ahad 07 November 2010 M dan hari Arafah akan jatuh pada hari Senin 15 November 2010 M. Jadi timbul perbedaan hari mengerjakan puasa Arafah antara Mekah dan Amerika Latin. Pertanyannya kapan orang Muslim di sana melaksanakanpuasa Arafah: pada hari Senin sesuai penanggalan mereka? Padahal di Mekah belum terjadi wukuf karena wukuf baru keesokan harinya (Selasa). Atau mereka menunda satu hari, menunggu wukuf hari Selasa di Mekah, tapi itu adalah hari Idul Adha bagi mereka (tanggal 10 Zulhijah). Inilah problem penanggalan yang ditimbulkan oleh rukyat.

Contoh lain adalah Zulhijah 1455 (Februari 2034 M). Sore Ahad 19 Februari 2009 M, hilal Zulhijah diperkirakan dapat dilihat di Mekah. Konjungsi terjadi hari Ahad 19-02-2034 M pukul 02:10 Waktu Mekah dan tinggi Bulan geosentrik saat matahari terbenam sore Ahad adalah 07º 34’ 26”. Ini artinya Mekah memulai 1 Zulhijah 1455 H pada hari Senin 20 Februari 2034 M dan arafah jatuh pada hari Selasa 28 Februari 2034 M. Sementara di Yogyakarta tinggi geosentrik titik pusat Bulan baru mencapai 03º 29’ 30” (tinggi toposentrik 02º 29’ 49”). Menurut kriteria Istambul dan ‘Audah, tinggi Bulan demikian belum memungkinkan untuk dapat dirukyat. (Catatan: di Indonesia tinggi 2º saja dianggap telah dapat dirukyat, dan ini tidak sesuai dengan kriteria internasional). Jadi rukyat akan memaksa Indonesia memasuki Zulhijah 1455 H (2034 M) pada hari berbeda dan akan menimbulkan problem pelaksanaan puasa Arafah. Jadi rukyat tidak dapat menyatukan kalender Islam dan sebaliknya memaksa memasuki bulan kamariah baru pada hari berbeda sehingga timbul problem anatara lain pelaksanaan puasa Arafah.

            Dengan alasa-alasan di atas, maka tidak ada pilihan lain kecuali menggunakan hisab. Menyadari hal ini, maka Temu Pakar II yang diselenggrakan oleh ISESCO di Maroko tahun 2009 menegaskan bahwa pemecahan problem penetapan bulan kamariah tidak dapat dilakukan kecuali berdasarkan penggunaan hisab.    

Kembali kepada pertanyaan pokok tentang rukyat di suatu tempat yang diberlakukan bagi seluruh dunia, maka hal itu secara astronomis adalah mustahil apabila yang dimaksud adalah rukyat fisik (fikliah). Kemustahilan rukyat global fikliah itu adalah karena jangkauan rukyat untuk dapat ditransfer ke arah timur maksimal adalah 9 jam atau 10 jam, sementara selisih waktu antara zona timur dan zona barat adalah 24 jam. Bahkan sejak Kiribati mengubah dan membelokkan Garis Tanggal Internasional ke batas timur negara tersebut sejak tahun 1995, beda waktu zona timur (pada titik K) dengan zona barat menjadi 26 jam. Apabila terjadi rukyat di Maroko pada suatu sore pada jam 07:00 sore, maka rukyat Maroko jam 07:00 sore itu hanya dapat diberlakukan paling timur adalah di Indonesia bagian timur. Lebih dari itu, maka tidak bisa diberlakukan lagi karena sudah keburu subuh. Apabila terjadi rukyat di New York pukul 06:00 sore musim semi, maka orang Indonesia tidak mungkin menunggu rukyat New York itu, karena saat rukyat terjadi di new York, di Indonesia hari sudah pukul 06:00 pagi. Jadi rukyat global secara fikliah itu adalah mustahil.

            Perlu dicatat bahwa memang dalam kitab-kitab fikih, banyak ulama yang membenarkan rukyat global (rukyat di suatu tempat berlaku utnuk seluruh dunia). Imam Ibn Taimiyyah, asy-Syaukani, Ibn ‘Abidin, semuanya pendukung rukyat global. Imam Nawawi mengutip pendapat sejumlah ulama Syafiiah bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat, maka berlaku untuk seluruh muka bumi. Perlu dicamkan bahwa ulama-ulama tersebut mengemukakan ijtihadnya dalam kondisi astronomi belum mencapai kemajuan spektakuler seperti sekarang. Mereka belum semua mengetahui bahwa bumi ini bulat, belum ada garis Tanggal Internasional, belum banyak memahami bahwa Bulan bergerak secara semu semakin meninggi ke arah barat, dan banyak lagi yang lain. Bahkan banyak di antara ulama itu yang sama sekali tidak memahami dasar-dasar astronomi, meskipun banyak yang menguasainya. Jadi kesimpulannya adalah bahwa rukyat di suatu tempat mustahil diberlakukan di seluruh dunia. Yang bisa dipakai hanyalah imkanu rukyat global, tetapi imkanu rukyat bukanlah rukyat, melainkan adalah hisab. Kemustahilan menggunakan rukyat global juga telah ditegaskan dalam keputusan Temu Pakar II di Maroko yang kutipannya dikemukakan berikut ini.

            Sebagai penutup perlu dikutipkan keputusan “Temu Pakar II untuk Perumusan Kalender Islam” yang dilangsungkan di Maroko dengan disponsori oleh ISESCO (Islamic Educational, Scientific and Cultural Organization), suatu badan OKI (Organisasi Konferensi Islam), yang berbunyi:

Kedua, Masalah Penggunaan Hisab: Para peserta telah menyepakati bahwa pemecahan problematika penetapan bulan kamariah di kalangan umat Islam tidak mungkin dilakukan kecuali berdasarkan penerimaan terhadap hisab dalam menetapkan awal bulan kamariah, seperti halnya penggunaan hisab untuk menentukan waktu-waktu salat, dan menyepakati pula bahwa penggunaan hisab itu adalah untuk penolakan rukyat dan sekaligus penetapannya.

            Dalam keputusan tersebut juga ditegaskan bahwa kita tidak mungkin menggunakan rukyat global dan beberapa prinsip lain seperti tercermin dalam butir ketiga keputusannya yang berbunyi,

Ketiga, Masalah Transfer Imkanu Rukyat:           Mengingat bahwa rukyat hilal dilakukan ketika terbenamnya matahari setelah terjadinya konjungsi, dan rukyat itu terkait dengan tempat sebagaimana halnya waktu-waktu salat, dan berbeda dengan konjungsi yang ditentukan untuk seluruh muka bumi, demikian juga rukyat terkait dengan cara mengintai hilal seperti rukyat visual dengan mata telanjang, atau dengan bantuan alat optik, atau dari pesawat, atau dengan satelit, maka para peserta menegaskan bahwa prinsip “transfer rukyat” –yang berdasarkan kepadanya kawasan yang tidak dapat melihat hilal berpegang kepada rukyat yang terjadi pada tempat lain– tidak mungkin didiberlakukan secara umum ke seluruh dunia, sebab ketika terjadinya rukyat hilal pada suatu petang di suatu kawasan sebelah barat, kawasan sebelah timur telah memasuki hari berikutnya karena adanya perbedaan waktu antara kawasan timur dan barat. Transfer rukyat semacam itu bertentangan dengan upaya penyatuan kalender Islam. Demikian pula halnya dengan prinsip “penyatuan rukyat” –yang dengannya bulan baru tidak dimulai sebelum terjadinya rukyat baik secara visual maupun dengan hisab (imkanu rukyat) di suatu tempat di muka bumi, karena alasan yang sama. 

 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Lomba Takbiran

$
0
0


Pertanyaan dari:
Pimpinan Ranting Pemuda Muhammadiyah Desa Trirenggo Bantul, Kompleks Masjid Dakwah Pepe Tegal, Telp. (0274) 6936959 (Muhammad Syahruddin, Ketua)
(disidangkan pada Jum'at, 23 Syakban 1430 H / 14 Agustus 2009 M)


Pertanyaan:

Sehubungan dengan bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri 1430 H, kami mengajukan permohonan pertimbangan pelaksanaan lomba Takbir Idul Fitri, apakah secara dalil Qur’an dan Hadits dapat dilaksanakan atau tidak? Perlu kami sampaikan bahwa kegiatan pawai takbir ini telah dilaksanakan secara rutin  (minimal 5 tahun terakhir) dan merupakan kegiatan pengkaderan yang paling efektif. Jika tidak dilakukan, masyarakat akan merasa kehilangan atas kegiatan syiar Islam tersebut. Namun demikian, terdapat perselisihan dalam struktur dan warga Muhammadiyah mengenai pelaksanaan kegiatan takbir tersebut. Kami berharap, perselisihan ini dapat terselesaikan melalui pengkajian oleh Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 

Jawaban:       
Satu bagian penting dari bangunan ajaran Islam yang juga bisa diumpamakan menjadi pondasi tegaknya bangunan itu adalah dakwah, yang secara sederhana bermakna seruan/ ajakan. Umat Islam adalah umat dakwah dan risalah, yang keduanya menjadi ciri khas tersendiri yang membedakannya dari umat-umat lain. Umat dakwah maksudnya adalah sekelompok orang yang selalu mengajak kepada kebenaran dan mencegah dari kemungkaran (amar ma’ruf nahi mungkar). Umat risalah maksudnya adalah sekelompok orang yang menyampaikan visi dan misi, dalam hal ini visi dan misi Islam yang wilayahnya mencakup keseluruhan alam. Jika kedua hal ini terlaksana, maka satu sifat ajaran Islam yaitu; ‘rahmatan lil ’alamin’ (rahmat untuk semesta alam) akan terlihat dan terbukti nyata. Di samping itu, kebenaran ajaran Islam akan semakin tegak. Firman Allah:


Artinya: “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” [QS. al-Anbiya (21): 107]

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ...

Artinya:“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” [QS. Ali ‘Imran (3): 110]

Artinya:“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” [QS. Ali ‘Imran (3): 104]

Satu metode untuk menuju ke arah pembuktian tersebut adalah dengan –dalam bahasa ilmu dakwah disebut- syiar dakwah. Syiar dakwah dapat dilakukan dengan bermacam metode dan bentuk asalkan tetap berjalan sesuai dengan koridor ajaran Islam.  Terkait pertanyaan dari saudara, lomba takbir keliling bertepatan dengan momentum dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) dapat dimasukkan dalam kategori syiar dakwah ini.

Selanjutnya, jika ditelisik, masalah takbir pada dua hari raya, termasuk hal yang dituntunkan oleh Islam. Untuk takbir pada hari Idul Adha dan hari-hari Tasyriq juga ketika bertepatan dengan hari raya Idul Fitri, beberapa dalil yang dapat dirujuk antara lain firman Allah swt serta beberapa hadits dan atsar. Di antaranya:

Artinya: “Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.” [QS al-Baqarah (2): 203]

Imam  Ibnu Katsir berkomentar: “Termasuk dalam cakupan ayat ini adalah berdzikir sebentar selepas shalat lima waktu, meski dzikir tidak dibatasi pada satu waktu tertentu (tapi bisa dilakukan kapanpun). Dalam masalah ini terdapat banyak pendapat para ulama, namun yang sering dilakukan adalah (takbir) seusai shalat subuh pada hari Arafah hingga usai shalat ashar pada hari tasyriq terakhir.” (Tafsir Ibnu Katsir, vol.I/651)

حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ قَالَ: حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ عَاصِمٍ عَنْ حَفْصَةَ عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخرُجَ يَوْمَ اْلعِيْدِ، حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكَرَ مِنْ خِدْرِهَا، حَتَّى نُخْرِجَ الْحَيَّضَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيْرِهِمْ وَيَدْعُوْنَ بِدُعَائِهِمْ، يَرْجُوْنَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ.رواه البخاري
Artinya:Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh, telah menceritakan pada kami ayahku dari Ashim dari Hafshah dari Ummu Athiyah, berkata: ‘Kami diperintahkan pergi shalat ’Idul (Fitri) bahkan anak-anak gadis pergi keluar dari pingitannya. Begitu juga wanita-wanita yang sedang haidh, tetapi mereka ini hanya berdiri di belakang orang banyak, turut takbir dan berdoa bersama-sama. Mereka mengharapkan memperoleh berkah dan kesucian pada hari itu’.” [HR. al-Bukhari: 971]

وَكَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يُكبِّرُ فِي قُبَّتِهِ بِمِنىً فَيَسْمَعُهُ أَهْلُ اْلمَسْجِدِ فَيُكَبِّرُونَ وَيُكبِّرُ أَهْلُ اْلأَسْوَاقِ حَتَّى تَرْتَجَّ مِنىً تَكْبِيراً. وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُكَبِّرُ بِمِنىً تِلْكَ اْلأَيَّامَ وَخَلْفَ الصَّلَوَاتِ وَعَلَى فِرَاشِهِ وَفِي فُسْطَاطِهِ وَمَجْلِسِهِ وَمَمْشَاهُ تِلْكَ اْلأَيَّامَ جَمِيْعاً. وَكَانَتْ مَيْمُونَةُ تُكَبِّرُ يَوْمَ النَّحْرِ، وَكَانَ النِّسَاءُ يُكَبِّرْنَ خَلْفَ أََبَانَ بْنِ عُثْمَانَ وَعُمَرَ بْنِ عَبْدِ اْلعَزِيْزِ لَيَالِيَ التَّشْرِيقِ مَعَ الرِّجَالِ فِي اْلمَسْجِدِ.[رواه البخاري، باب التكبيرِ أَيّامَ مِنىً، وَإِذا غَدا إِلى عَرَفةَ]

Artinya:“Umar (ra.) bertakbir dalam kubahnya di Mina kemudian orang-orang di dalam masjid mendengarnya, merekapun (ikut) bertakbir, juga orang-orang di pasar (ikut) bertakbir hingga Mina ramai dengan kumandang takbir. Ibnu Umar juga bertakbir di Mina pada hari-hari itu, di samping juga seusai shalat, di atas dipannya, di serambi (rumahnya), pada majelisnya, dan (orang-orang) di jalanan pada hari-hari itu. Maimunah juga bertakbir ketika hari raya kurban. Para perempuan juga bertakbir di belakang Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul Aziz pada malam hari-hari tasyriq bersama para laki-laki di dalam masjid.” [HR. al-Bukhari, bab Takbir pada Hari-hari di Mina, dan ketika Berangkat menuju Arafah]


حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هٰرُونَ عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنِ الزُّهْرِي أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْرُجُ يَوْمَ اْلفِطْرِ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يُأْتَي اْلمُصَلَّى وَحَتَّى يُقْضَي الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةُ قُطِعَ التَّكْبِيرُ.
Artinya: “Telah menceritakan pada kami Yazid bin Harun dari Ibnu Abi Dzi’bu dari az-Zuhri bahwasannya Rasulullah Saw keluar pada hari fitri lalu ia bertakbir hingga sampai ke tempat shalat dan hingga shalat ditunaikan. Apabila shalat ditunaikan, takbirpun berhenti.” [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 5611, dengan sanad shahih dan didukung oleh jalur lain dari Ibnu Umar]

Dari dalil-dalil di atas, para ulama mazhab fikih yang empat berkesimpulan bahwa takbir, baik untuk hari raya Idul Fitri dan Idul Adha’ disunahkan. Demikian menurut mazhab Syafi’i dan Maliki serta dipegangi oleh Jumhur ulama. Mazhab Hanbali menyimpulkannya wajib, sedang mazhab Hanafi tidak disunahkan bertakbir. (Ibnu Qudamah; al-Mughni, vol 3/255, Asy-Sfai’i; al-Umm, vol. 4/286, ). Untuk waktu kapan dimulainya takbir, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Taimiyyah berpendapat bahwa takbir dimulai setelah matahari tenggelam pada malam ’Id sampai dengan dimulainya shalat ’Id dan atau ketika Imam  selesai berkhutbah menurut Imam Ahmad. (Majmu’ al-Fatawa, vol. 24/221). Sedang untuk lafal takbir, banyak dan luas sekali riwayat seputar hal ini sehingga  para ulama seperti Imam Malik, al-Qurthubi, dan ash-Shan’aniy menganjurkan kita untuk memilih salah satunya. Di antaranya sebuah riwayat sebagaimana termaktub dalam Himpunan Putusan Majelis Tarjih hasil Muktamar Tarjih ke-20 di Garut, Jawa Barat tahun 1976, yaitu:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ قَالَ: حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ إِبرٰهِيْمَ قَالَ: كَانُوا يُكَبِّرُونَ يَوْمَ عَرَفَةَ وَأَحَدُهُمْ مُسْتَقْبِلَ اْلقِبْلَةِ فِي دُبُرِ الصَّلاَةِ: اَللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَٰهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ، وَ ِللهِ اْلحَمْدُ.
Artinya: “Telah menceritakan pada kami Abu Bakar, menceritakan pada kami Jarir dari Mansur dari Ibrahim, berkata: ”Mereka bertakbir di hari Arafah dan salah seorang di antara mereka menghadap kiblat setelah tunaikan shala: Allahu Akbar (Allah Maha Besar), Allahu Akbar, tiada Tuhan selain Allah, dan Allahu Akbar, Allahu Akbar, dan pujian bagi Allah.” [Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 5640]

Kesimpulannya, mengenai masalah lomba takbir keliling dengan melihat nash-nash di atas dan kaitannya dengan syiar agama Islam, maka tidak mengapa diadakan kegiatan ini. Kegiatan lomba takbir ini tidak dikategorikan sebagai rangkaian ibadah Ramadhan dan Idul Fitri atau Idul Adha. Tapi lebih kepada kategori syiar agama Islam. Bisa juga dikategorikan sebagai salah satu budaya-tradisi yang dihasilkan oleh Islam. Tentu saja pihak penyelenggara dan peserta tetap harus menjaga norma-norma ajaran Islam, di antaranya mengetahui dan melaksanakan adab berjalan dalam Islam. Jangan sampai kegiatan ini malah mengganggu perjalanan orang-orang yang sedang lewat di jalan yang digunakan route takbir keliling, membuat gaduh karena diiringi bunyi-bunyian yang mengganggu kedamaian dan ketenangan, perlu diperhatikan juga ketepatan pengucapan lafal takbir, hingga memakai kostum yang sopan sesuai dengan ajaran Islam. Juga agar jangan sampai niat awal diadakannya kegiatan ini -seperti tersirat dalam butir pertanyaan-, hanya sekedar untuk menarik dan meningkatkan roda pengkaderan organisasi. Tapi, utamakan diniatkan dengan ikhlas demi syiar agama Islam.
Wallahu a'lam bish-shawab. *mr)

Download File
 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Viewing all 97 articles
Browse latest View live