Quantcast
Channel: Fatwa Tarjih Muhammadiyah
Viewing all 97 articles
Browse latest View live

Hukum Jenggot dan Cadar

$
0
0


Pertanyaan dari:
H. Syamsul Bahri, BA., KTAM. 1031721,
Jl. Pattimura Gg. Dame Wek IV, Padangsidempuan
(disidangkan pada Jum’at, 10 Rajab 1430 H / 3 Juli 2009 M)


Pertanyaan:

Assalamualaikum Wr. Wb
1.      Mohon dijelaskan hukumnya cadar dan jenggot menurut Al-Qur’an dan Hadits
2.      Semua istri Nabi Muhammad pakai cadar
3.      Orang tidak pakai cadar dan jenggot = ingkar sunnah
Wassalamualaikum Wr. Wb


Jawaban:

Jenggot adalah rambut yang tumbuh menjulur ke bawah pada dagu dan pipi manusia serta lazimnya ini dimiliki oleh kaum lelaki. Di kalangan bangsa tertentu, seperti bangsa Arab dan India, memelihara jenggot hingga terurai panjang merupakan suatu tradisi yang menandakan kebanggaan, kemuliaan dan keperkasaan lelaki yang memeliharanya. Namun di kalangan bangsa lain, memelihara jenggot bukan menjadi suatu tradisi atau kelaziman.
Dalam Islam, terkait dengan masalah jenggot ini, Rasulullah saw bersabda:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِنْهَالٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: خَالِفُوْا اْلمُشْرِكِيْنَ، وَوَفِّرُوْا الِّلْحىٰ وَأَحِفُّوْا الشَّوَارِبَ . [رواه البخاري ومسلم]
Artinya:“Telah menceritakan pada kami Muhammad ibn Minhal, telah menceritakan pada kami Yazid ibn Zurai‘, telah menceritakan pada kami Umar bin Muhammad bin Zaid dari Nafi’ (ajudan Ibnu Umar) dari Ibnu Umar dari Nabi saw yang bersabda: “Berbedalah kamu (jangan menyamai) dengan orang-orang musyrik, peliharalah jenggot, dan cukurlah kumis.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

أَخْبَرَنِي الْعَلاَءُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ بْنِ يَعْقُوبَ ـ مَوْلَى الْحُرَقَةِ ـ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله : جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَىٰ. خَالِفُوا الْمَجُوسَ. [رواه مسلم]
Artinya: “Telah mengkabarkan padaku Ala’ bin Abdirahman bin Yakub –ajudan al-Hurakah- dari ayahnya, dari Abu Hurairah berkata, bersabda Rasulullah:“Cukurlah kumis, peliharalah jenggot, berbedalah (jangan menyamai) orang-orang Majusi.” [HR. Muslim]

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ: عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ، وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ، وَالسِّوَاكُ، وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ، وَقَصُّ الأَظْفَارِ، وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ، وَنَتْفُ الإِبِطِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ. [رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdilah bin Zubair, diriwayatkan dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sepuluh hal yang termasuk fitrah: mencukur kumis, memanjangkan jenggot, bersiwak, istinsyaq (memasukkan air ke hidung), memotong kuku, mencuci sela-sela jari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan dan menghemat air.” [HR. Muslim]

Dari riwayat di atas dapat disimpulkan bahwa kita diperintahkan untuk memelihara jenggot dan mencukur kumis. Demikian diperintahkan oleh Rasul agar kita berbeda dan tidak menyamai orang-orang musyrik -termasuk Majusi, yaitu orang-orang yang menyembah api- di mana mereka suka dan biasa mencukur jenggot bahkan hingga habis.
Sabda Nabi saw:

أَخْبَرَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيِّةَ عَنِ أَبِي مُنِيْبٍ الْجُرَشِيِّ عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ. [رواه أبو داود]
Artinya: “Telah mengkabarkan pada kami Hassan bin Athiyah dari Abi Munib al-Jurasyi dari Ibnu Umar berkata, bersabda Rasulullah saw: “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari (golongan) mereka.” [HR. Abu Dawud] 

Selain itu, perintah Rasulullah saw ini banyak mengandung unsur pendidikan bagi kaum muslim agar mereka mempunyai kepribadian tersendiri, baik lahir maupun batin dari kaum yang lain seperti kaum kafir-musyrik. Perbedaan secara lahir akan mewakili identitas suatu kaum, di mana dalam hal ini jenggot menjadi identitas atau ciri khas kaum muslim.  Apalagi banyak riwayat seputar hal ini dimasukkan oleh para ulama Hadits dalam bab tersendiri, yaitu bab fitrah yang dimiliki oleh manusia. Mencukur jenggot sama halnya dengan menentang fitrah dan menyerupai perempuan. Seperti yang ditekankan di atas, bahwa jenggot menandakan kesempurnaan lelaki dan membedakannya dari jenis yang lain.

Namun, bukan berarti kita tidak boleh untuk mencukur dan merapikan rambut jenggot apabila sudah terurai panjang, terlihat tidak indah dan rapi, dan bahkan bisa menakutkan atau menjijikan siapa yang melihatnya. Oleh sebab itu jenggot yang demikian dibolehkan untuk  dicukur atau dirapikan.Sebuah riwayat dari Imam at-Tirmidzi yang ia nilai gharib, di mana Nabi saw pernah memangkas sebagian jenggotnya hingga terlihat rata dan rapi.

أَخْبَرَنَا عُمَرُ بْنُ هَارُونَ، عَنْ أُسَامَةَ بن زَيْدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ: أَنَّ النَّبِيِّ كَانَ يَأْخُدُ مِنْ لِحْيَتِهِ مِنْ عَرْضِهَا وَطُولِهَا. [رواه الترمذي]
Artinya: “Telah mengkabarkan pada kami Umar bin Harun dari Usamah bin Zaid dari Amru bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya, bahwasannya Nabi saw memangkas sebagian jenggotnya hingga panjangnya sama.” [HR. at-Tirmidzi]

Menanggapi masalah ini para ulama, baik mutaqaddimin (terdahulu) maupun muta’akhirin(belakangan) banyak yang berbeda pendapat. Ulama kalangan Hanafi dan Hanbali dengan tegas mengatakan bahwa haram hukumnya seseorang memotong jenggotnya hingga habis, bahkan ia dituntut membayar diyat (tebusan). Sedang ulama Syafi’i dan Maliki mengatakan bahwa hukumnya sebatas makruh saja. Imam Nawawi yang mewakili mazhab Syafi’i mengatakan, “mencukur, memotong, dan membakar jenggot adalah makruh. Sedangkan memangkas kelebihan dan merapikannya adalah perbuatan yang baik. Membiarkannya panjang selama satu bulan adalah makruh, seperti makruhnya memotong dan mengguntingnya.” (Syarh Shahih Muslim: vol. 3: 151). Selanjutnya para ulama juga masih berselisih mengenai ukuran panjang  jenggot yang harus dipotong, meski terdapat sebuah riwayat yang menceritakan bahwa Abu Hurairah dan Abdulah bin Umar biasa memangkas jenggot bila panjangnya sudah melebihi satu genggaman tangan. Namun, sebagian ulama tidak menetapkan panjang tertentu, akan tetapi cukup dipotong sepantasnya. Hasan al-Bashri, seorang tabi’inbiasa memangkas dan mencukur jenggotnya, hingga terlihat pantas dan rapi.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa memangkas atau memotong sebagian jenggot hukumnya adalah mubah. Sedang mencukurnya hingga habis hukumnya adalah makruh, namun tidak sampai pada derajat haram. Adapun memeliharanya adalah sunnah.
           
Tentang masalah cadar, telah dicantumkan pembahasannya dalam Buku Tanya Jawab Agama Islam yang dikeluarkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid, jilid 4 halaman 238, Bab Sekitar Masalah Wanita.
            Ringkasnya, cadar tidak ada dasar hukumnya baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Yang diperintahkan oleh syariat Islam bagi wanita adalah memakai jilbab. Allah swt berfirman dalam surat an-Nur (24) ayat 31:

Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya ...,”

“kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.”

Ayat ini menurut penafsiran Jumhur ulama, bahwa yang boleh nampak dari perempuan adalah kedua tangan dan wajahnya  sebagaimana pendapat Ibnu Abbas ra. dan Ibnu Umar ra. (Tafsir Ibnu Katsir vol. 6:51)
          Potongan ayat di atas juga dijelaskan oleh hadis riwayat dari Aisyah ra:

حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بنُ كَعْبٍ الأَنْطَاكِيُّ وَ مُؤَمَّلُ بْنُ الْفَضْلِ الْحَرَّانِيُّ قَالاَ أَخْبَرَنَا الْوَلِيدُ عَنْ سَعِيدِ بْنِ بَشِيرٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ خَالِدٍ بْنِ دُرَيْكٍ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَارَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّالْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلاَّ هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ . قَالَ أَبُو دَاوُدُ هَذَامُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا. [رواه أَبُو دَاوُدَ]
Artinya: “Telah menceritakan pada kami Yakub bin Ka’ab al-Anthaki dan Muammal bin al-Fadhl bin al-Harani keduanya berkata: Telah mengkabarkan pada kami Walid dari Said bin Basyir dari Qatadah dari Khalid bin Duraik dari Aisyah bahwa Asma’ binti Abi Bakar menemui Rasulullah saw dengan memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah saw berpaling darinya dan berkata: “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu, jika telah mendapatkan haidh, tidak pantas terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya.”[HR. Abu Dawud]

Hadits ini dikategorikan mursal oleh Imam Abu Dawud sendiri setelah akhir menuliskan riwayatnya dikarenakan terdapat rawi yang bernama Khalid bin Duraik, yang dinilai oleh para ulama kritikus hadits tidak pernah bertemu dengan Aisyah ra dan Said bin Basyir yang dinilai dhaif (lemah) oleh para ulama kritikus Hadits. Namun ia mempunyai  penguat yang ternilai mursal shahih dari jalur-jalur lainnya yang diriwayatkan oleh Abu Dawud sendiri dalam al-Marasil (no. 460, cet. Dar al-Jinan, Beirut) dari Qatadah di mana dalam jalur sanadnya tidak terdapat Khalid bin Duraik dan Said bin Basyir. Riwayat tersebut adalah:

حَدَّثَنَا ابْنُ بَشَارٍ ثَنَا أَبُو دَاوُدُ ثَنَا هِشَامُ عَنْ قَتَادَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: إنَّ اْلجَارِيَةَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تََصْلُحْ أن يُرَي مِنْهَا إِلاوَجْهِهَا وَيَدَاهَا إِلَى اْلمَفْصِلِ.[رواه أبو داود]
Artinya:“Telah menceritakan pada kami Ibnu Basyar, telah menceritakan pada kami Abu Dawud, telah menceritakan pada kami Hisyam dari Qatadah bahwasannya Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya seorang perempuan jika telah mendapatkan haidh, tidak pantas terlihat dari dirinya kecuali wajahnya dan kedua (telapak) tangannya sampai tulang pergelangan tangan (sendi).” [HR. Abu Dawud]

Juga jalur lain seperti dari ath-Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir (24/143/378) dan al-Ausath(2/230), al-Baihaqi (2/226), dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (4/283).

Selain itu banyak riwayat-riwayat lain yang memperlihatkan bahwa banyak dari para shahabiyat(sahabat perempuan) yang tidak memakai cadar atau menutupi wajah dan tangan mereka. Seperti kisah Bilal melihat perempuan yang bertanya kepada Nabi saw di mana diceritakan bahwa pipi perempuan tersebut merah kehitam-hitaman (saf’a al-khaddain).

Terkait dengan pakaian perempuan ketika shalat, sebuah riwayat dari Aisyah ra menjelaskan bahwa ketika shalat para perempuan pada zaman Nabi saw memakai kain yang menyelimuti sekujur tubuhnya (mutallifi’at fi-murutihinna).

حَدَّثَنَا أَبُو اْليَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ: لَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي الفَجْرَ فيََشْهَدُ مَعَهُ نِسَاءٌ مِنَ اْلمُؤْمِنَاتِ مُتَلِّفِعَاتٍ في مُرُوْطِهِنَّ، ثُمَّ يَرجِعْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ مَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ. وَفِى رِوَايَةٍأَخَرٍ:لاَ يُعْرَفْنَ مِنَ الغَلَسِ.[متفق عليه]
Artinya: “Telah menceritakan pada kami Abu al-Yaman, telah memberitahukan pada kami Syu’aib dari az-Zuhri, telah mengkabarkan padaku Urwah bahwasannya Aisyah berkata: “Pada suatu ketika Rasulullah saw shalat subuh, beberapa perempuan mukmin (turut shalat berjamaah dengan Nabi saw). Mereka shalat berselimut kain. Setelah selesai shalat, mereka kembali ke rumah masing-masing dan tidak seorangpun yang mengenal mereka.” Dalam riwayat lain: “Kami tidak bisa mengenal mereka (para perempuan) karena gelap.” [Muttafaq ‘alaihi]

Imam asy-Syaukani memahami hadits ini bahwa para sahabat perempuan di antaranya Aisyah ra tidak dapat mengenali satu sama lain sepulang dari shalat subuh karena memang keadaan masih gelap dan bukan karena memakai cadar, karena memang saat itu wajah para perempuan biasa terbuka.

Mengenai pertanyaan, apakah jika tidak memelihara jenggot dan memakai cadar termasuk ingkar sunnah, hemat kami tidak. Karena yang dimaksud dengan ingkar sunnah adalah mereka orang-orang yang tidak mempercayai sunnah Nabi dan hanya mengamalkan apa yang termaktub dalam al-Qur’an saja.
Wallahu a'lam. *mr)
Download File
 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Takbir Zawaid dan Khutbah Khusus untuk Perempuan pada Hari Raya

$
0
0


Pertanyaan Dari:
Wijayanti Wijonako, Karanganyar Solo Jawa Tengah
(disidangkan pada hari Jum'at, 24 Rajab 1430 H / 17 Juli 2009)


Pertanyaan:

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Pada hari raya Idul Fitri 1429 H yang lalu kawan saya di Yogyakarta menyampaikan bahwa pada sebuah masjid di kota Yogyakarta melaksanakan tata cara salat hari raya agak berbeda dari jamaah salat di tempat lain. Perbedaan pertama, pada rakaat pertama dan rakaat kedua tidak ada tambahan takbir 7 dan 5 kali. Perbedaan kedua, pada pertengahan khutbah Khatib berjalan menuju jamaah perempuan untuk memberikan khutbah khusus. Menurut khatib semua itu dilaksanakan oleh Rasulullah saw. Mohon penjelasan tentang hal tersebut. 

Jawaban:

Sebelum menjawab pertanyaan saudara tentang perbedaan pelaksanaan takbir zawaid dalam salat Idul Fitri dan salat Idul Adha, perlu kami sampaikan bahwa masalah tersebut telah sering ditanyakan kepada kami baik langsung maupun melalui rubrik tanya jawab Suara Muhammadiyah, seperti pernah ditanyakan oleh Muhammad Parigi dari Sulawesi Tengah.

Penjelasan lengkap tentang takbir zawaid bisa saudara baca pada buku Tanya Jawab Agama jilid 1 hal 113-115. Secara singkat kami sampaikan bahwa Muktamar Tarjih ke-20 di Garut Jawa Barat tahun 1976 telah memutuskan bahwa takbir dalam salat idain ialah tujuh kali (takbir) pada rakaat pertama dan lima kali (takbir) pada rakaat kedua, dan Keputusan Muktamar Tarjih tersebut telah ditanfidz oleh PP Muhammadiyah tahun 1397/1977.

Adapun keputusan Muktamar Tarjih itu berbunyi:

ثُمَّ يُكَبِّرُ بَعْدَ تَكْبِـيْرَةِ اْلإِحْرَامِ سَبْعَ تَكْبِيْرَاتٍ لِلرَّكْعَةِ اْلأُوْلَى وَخَمْسًا لِلثَّانِيَـةِ.

Artinya: “Kemudian ia bertakbir setelah takbiratul ihram tujuh kali takbir pada rakaat pertama dan lima kali takbir (setelah takbir intiqal) pada rakaat kedua.”
Sedang dalil-dalil yang dijadikan alasan adalah:

1-عَنْ كَثِيرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبَّرَ فِى الْعِيدَيْنِ فِى الأُولَى سَبْعًا قَبْلَ الْقِرَاءَةِ وَفِى الآخِرَةِ خَمْسًا قَبْلَ الْقِرَاءَةِ.[رواه الترمذى]

Artinya: “Diriwayatkan dari Kasir bin Abdullah dari ayahnya dari kakeknya, sungguh Nabi saw bertakbir pada salat dua hari raya tujuh kali (takbir) pada rakaat pertama dan lima kali (takbir) pada rakaat kedua sebelum membaca (surat).” [HR. at-Tirmidzi]

2-أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَـبَّرَ فِي عِيْدٍ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ تَكْبِيْرَةً سَبْعًا فِى اْلأُوْلَى وَخَمْسًا فِى الآخِرَةِ وَلمَ ْ يُصَلِّ قَبْلَهُمَا وَلاَبَعْدَهُمَا.[رواه أحمد]

Artinya: “Sungguh Nabi saw bertakbir pada salat hari raya duabelas (kali) takbir, tujuh kali (takbir) pada rakaat pertama dan lima kali (takbir) pada rakaat kedua dan beliau tidak melakukan salat (sunat) sebelumnya dan tidak pula sesudahnya.” [HR. Ahmad]

3-عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ قَالَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ التَّكْبِيْرُ فىِ الْفِطْرِ سَبْعٌ فِى اْلأُوْلَى وَخَمْسٌ فِى اْلآخِرَةِ وَالْقِرَاءَةُ بَعْدَهُمَا كِلْتَيْهِمَا. [رواه أبو داود]

Artinya: Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr ia berkata, Nabiyullah saw bersabda:Takbir pada (salat) hari raya (fitri) tujuh kali (takbir) pada rakaat pertama dan lima kali (takbir) pada rakaat kedua sebelum membaca (surat).” [HR. Abu Dawud]

Untuk menjawab pertanyaan saudara yang pertama (mengapa pada takbir pertama dan kedua dalam salat Idul Fitri tidak melaksanakan tujuh dan lima kali takbir sebagaimana yang lain?), maka sesuai dengan hasil pembacaan kami terhadap dokumen Tarjih yang ada kaitannya dengan pertanyaan saudara perlu kami sampaikan beberapa hal, yaitu;

1.      Mengenai jumlah takbir zawaid di dalam salat idain (hari raya Fitri dan Adha) terdapat dua pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa takbir zawaid itu tujuh dan lima, yakni setelah takbiratul ihram membaca tujuh kali takbir pada rakaat pertama, dan lima kali takbir pada rakaat kedua setelah takbir intiqal. Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa takbir dalam salat idain itu satu-satu, yaitu takbir dalam salat idul Fitri dan Idul Adha dilakukan satu kali pada rakaat pertama dan kedua sebagaimana halnya salat biasa, seperti salat Jum’at dan lainnya.
2.      Adapun pendapat pertama (takbir zawaid tujuh dan lima) beralasan pada hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi sebagaimana dijelaskan di atas. Juga berdasarkan kepada Qaidah Tarjih tentang “Hadis-hadis dhaif yang dapat dijadikan hujjah”. Qaidah yang dimaksud adalah:

اْلأَحَادِيْثُُ الضَّعِيْفَةُ يَعْضَدُ بَعْضُهَا بَعْضًا لاَ يُحْتَجُّ بِهَا إِلاَّ مَعَ كَثْرَةِ طُرُقِهَا وَفِيْهَا قَرِيْنَةٌ تَدُلُّ عَلَى ثُبُوْتِ أَصْلِهَا وَلَمْ تُعَارِضْ الْقُرآنَ وَالْحَدِيْثَ الصَّحِيْحَ

Artinya: “Hadis-hadis dhaif yang menguatkan satu pada lainnya tak dapat dibuat hujjah, kecuali apabila banyak jalannya dan padanya terdapat qarinah yang menunjukkan ketetapan asalnya dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadis Sahih”.

Dari qaidah tersebut dapat dipahami bahwa hadis-hadis tentang takbir zawaid meskipun kualitasnya tidak sampai pada derajat hadis sahih bahkan dikategorikan hadis dhaif, akan tetapi jalan (periwayatan)-nya banyak dan terdapat qarinah yang menunjukkan asalnya, yaitu bahwa takbir tujuh dan lima dipraktekkan oleh beberapa shahabat.

3.      Sedang pendapat yang mengatakan bahwa takbir dalam salat idain itu satu kali takbir pada rakaat pertama dan satu kali takbir pada rakaat kedua, beralasan bahwa hadis-hadis yang menunjukkan adanya takbir tujuh kali pada rakaat dan lima kali pada rakaat kedua, semuanya tidak ada yang sampai pada derajat sahih, dan hadis dhaif meskipun banyak jumlahnya tidak bisa saling kuat menguatkan untuk dijadikan hujjah.

Adapun permasalahan kedua yang saudara tanyakan - yakni tentang khatib menyampaikan khutbah khusus untuk perempuan - , pemahaman ini didasarkan pada hadis riwayat Jabir bin  Abdullah sebagai berikut;

قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلاَةَ يَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلاَ إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلاَلٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ.[رواه مسلم]

Artinya: “Saya pernah menyaksikan Nabi saw pada hari raya, beliau memulai dengan salat sebelum khutbah tanpa adzan dan iqamah, kemudian beliau berdiri dengan bersandar kepada Bilal, beliau memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah, menganjurkan taat kepada Allah, dan menasehati para jamaah, dan mengingatkannya. Kemudian beliau berlalu, sehingga mendatangi jamaah perempuan, beliau menasehati mereka dan mengingatkannya.” [HR. Muslim]

Hadis-hadis yang semakna dengan hadis Muslim cukup banyak di antaranya:
1.      Hadis riwayat Abdurrahman bin Abbas ia menceritakan;

سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ.[رواه البخارى]

Artinya:“Saya mendengar Ibnu Abbas berkata, saya (Ibnu Abbas) telah keluar rumah (untuk melaksanakan salat ied) bersama Rasulullah saw pada hari Fitri atau Adha, beliau salat lalu berkhutbah, kemudian mendatangi jamaah perempuan dan beliau menasehati mereka, mengingatkannya, dan menyuruh mereka agar mengeluarkan shadaqah.” [HR. al-Bukhari]

2.      Hadis riwayat Jabir bin Abdullah dengan redaksi yang berbeda dengan  hadis Jabir bin Abdullah yang terdapat dalam kitab Muslim:

إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ يَوْمَ الْفِطْرِ فَصَلَّى فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ النَّاسَ فَلَمَّا فَرَغَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَزَلَ وَأَتَى النِّسَاءَ فَذَكَّرَهُنَّ وَهُوَ يَتَوَكَّأُ عَلَى يَدِ بِلاَلٍ. [رواه مسلم]

Artinya: “Sungguh Nabi saw merayakan hari Fitri, maka beliau salat, beliau memulai dengan salat sebelum khutbah kemudian menyampaikan khutbah kepada jamaah, maka ketika Nabiyullah Saw. selesai (dari khutbahnya), beliau turun dan mendatangi jamaah perempuan beliau menasehati dan mengingatkannya, sedang beliau berdiri dengan bersandar kepada Bilal.” [HR. Muslim]

Hadis riwayat Abdurrahman bin Abbas menjelaskan bahwa Nabi saw merayakan Idul Fitri atau Idul Adha dengan salat dulu kemudian khutbah, dan Nabi saw mendatangi jamaah perempuan untuk menasihatinya dan memerintahkan mereka agar mengeluarkan sadaqah, sedang hadis riwayat Jabir bin Abdullah menegaskan bahwa nasihat Nabi untuk jamaah perempuan dilakukan setelah beliau selesai dari khutbahnya.

Imam an-Nawawi dalam syarah Shahih Muslim berpendapat bahwa nasihat (khutbah) khusus untuk jamaah perempuan dilaksanakan setelah selesai dari khutbah. Hal ini ditunjukkan oleh kalimatفلما فرغ نزل فأتى النساء  (maka ketika Nabi selesai dari khubahnya, lalu beliau mendatangi jamaah perempuan), dan hal ini sangat dianjurkan untuk dilaksanakan jika jamaah perempuan tidak dapat mendengar khutbah yang disampaikan oleh khatib.

Sesuai dengan pembacaan terhadap hadis-hadis tersebut dan syarahnya (penjelasannya), maka nasihat yang pernah dilakukan oleh Nabi saw pada hari Fitri atau Adha dilaksanakan setelah selesai khutbah bukan ditengah-tengah khutbah.

Demikian penjelasan atau jawaban yang dapat kami sampaikan semoga menjadi wawasan bagi kita semua.

Wallahu a’lam bish-shawab *A.56h)  
Download File
 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Wakaf dan Hibah

$
0
0

Pertanyaan Dari:
Jaswadi (Ketua PRM Perbaun, Cab. Lb. Jambi Kunsing Riau) Hp: 08137863XXX
(disidangkan pada hari Jum'at, 19 Zulkaidah 1430 H / 6 November 2009)


Pertanyaan:

Assalamu 'alaikum Wr. Wb.
Saya ingin bertanya, apa pengertian wakaf dan hibah, dan apa pula persamaan serta perbedaannya?
Wassalamu 'alaikum Wr. Wb. 

Jawaban:


Wakaf, dalam bahasa arab berarti habs(menahan) artinya menahan harta yang memberikan manfaatnya dijalan Allah. Dari pengertian itu kemudian dibuatlah rumusan pengertian wakaf menurut istilah, yaitu “perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau kerpeluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam” (Kompilasi Hukum Islam, Buku III, Bab I, Pasal 215).
Adapun dalil-dalil sebagai anjuran melakukan wakaf antara lain adalah:
1.      Firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 92:

 
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” [QS. Ali Imran (3): 92]

2.      Hadits riwayat Muslim dari Ibnu ‘Umar ra:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ أَصَابَ عُمَرُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ فَأَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّى أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ هُوَ أَنْفَسُ عِنْدِى مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُنِى بِهِ قَالَ « إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا وَتَصَدَّقْتَ بِهَا ». قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ أَصْلُهَا وَلاَ يُبْتَاعُ وَلاَ يُورَثُ وَلاَ يُوهَبُ. قَالَ فَتَصَدَّقَ عُمَرُ فِى الْفُقَرَاءِ وَفِى الْقُرْبَى وَفِى الرِّقَابِ وَفِى سَبِيلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لاَ جُنَاحَ عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ أَوْ يُطْعِمَ صَدِيقًا غَيْرَ مُتَمَوِّلٍ فِيهِ.[رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, dia berkata: Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, lalu dia datang kepada Nabi saw untuk meminta pertimbangan tentang tanah itu, kemudian ia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhya aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, dimana aku tidak mendapatkan harta yang lebih berharga bagiku selain dari padanya; maka apakah yang hendak engkau perintahkan  kepadaku sehubungan dengannya? Rasulullah saw berkata kepada Umar: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan engkau sedekahkan manfaatnya. Lalu Umar pun menyedekahkan manfaat tanah itu dengan syarat tanah itu tidak akan dijual, tidak akan dihibahkan dan tidak akan diwariskan. Tanah itu dia wakafkan kepada orang-orang fakir kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil, dan tamu, dan tidak ada halangan bagi orang yang mengurusnya untuk memakan sebagian darinya dengan cara yang ma’ruf dan memakannya tanpa menganggap bahwa tanah itu miliknya sendiri.” [HR. Muslim, Shahih Muslim, II: 13-14]

3.      Hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah ra:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « إِذَا مَات الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ ».[رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Apabila seseorang meninggal dunia maka terputuslah semua amalannya kecuali tiga, yaitu: Sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat atau anak shalih yang mendo’akan kepadanya.” [HR. Muslim, Shahih Muslim, II: 14]


Hibah berasal dari bahasa Arab yang berarti melewatkan atau menyalurkan, dengan demikian berarti telah disalurkan dari tangan orang yang memberi kepada tangan orang yang diberi. Sayyid Sabiq mendefinisikan hibah adalah akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di waktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hibah adalah merupakan suatu pemberian yang bersifat sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tanpa ada kontra prestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup. Di dalam Kompilasi Hukum Islam Buku II Bab I Pasal 171 butir g disebutkan Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.

Hibah dituntunkan oleh Allah swt, karena hibah dapat menciptakan kerukunan dan mempererat rasa kasih sayang antar umat manusia. Anjuran untuk melakukannya antara lain:
1.      Hadis riwayat al-Baihaqi dari Abu Hurairah:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " تَهَادَوْا تَحَابُّوا. [رواه البيهقي]
Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Nabi saw bersabda: Saling memberi hadiahlah di antara kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.”(HR. al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi VI: 169, Shahihul Jami’us Shaghir, hadis no: 3004 dan Irwaul Ghalil, 1601, hadis ini hasan).

2.      Hadis riwayat Ahmad dan Thabrabi dari Khalid bin Adi:

وَعَن خَالِدِ بْنِ عَدِيِّ الْجُهَنِيِّ ، رَضِيَ الله عَنْهُ : سَمِعْتُ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم يَقُولُ : مَنْ بَلَغَهُ مَعْرُوفٌ مِنْ أَخِيهِ مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ ، وَلاَ إِشْرَافٍ فَلْيَقْبَلْهُ ، وَلاَ يَرُدُّهُ ، فَإِنَّمَا هُوَ رِزْقٌ سَاقَهُ الله إِلَيْهِ. [رواه أحمد والطبرني وصححه ابن حبان والحاكم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Khalid bin 'Adi, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: Barangsiapa mendapatkan kebaikan dari saudaranya yang bukan karena mengharap-harapkan dan meminta-minta, maka hendaklah ia menerimanya dan tidak menolaknya, karena itu adalah rezeki yang diberikan Allah kepadanya". [HR. Ahmad dan ath-Thabrani, dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim]


Beberapa persamaan dan perbedaan antara wakaf dan hibah antara lain adalah:
1.      Dalam wakaf dan hibah terdapat orang yang memberikan hartanya (yang disebut Wakifdan Wahib), barang yang diberikan, dan orang yang menerimanya.

2.      Apabila seseorang yang berwakaf telah mengatakan dengan tegas atau berbuat sesuatu yang menunjukkan kepada adanya kehendak untuk mewakafkan hartanya atau mengucapkan kata-kata, maka telah terjadi wakaf itu tanpa diperlukan penerimaan (qabul) dari pihak lain. Sedangkan Hibah, selain adanya perkataan dan perbuatan yang tegas dari wahib untuk menyerahkan barangnya (ijab) perlu ada pula penerimaan dari penerima harta yang dihibahkan (qabul).

3.      Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam, sedangkan benda atau harta hibah dapat berupa barang apa saja, baik yang hanya sekali pakai maupun tahan lama. Tidak diperbolehkan mewakafkan ataupun menghibahkan barang yang terlarang untuk diperjual belikan, seperti barang tanggungan (borg), barang haram dan yang sejenisnya.

4.      Benda wakaf hanya boleh diberikan kepada sekelompok orang yang bisa dimanfa’atkan untuk kepentingan orang banyak sedangkan hibah bisa diberikan kepada perorangan ataupun kelompok baik untuk kepentingan orang banyak maupun kepentingan individu.

5.      Barang wakaf tidak bisa menjadi hak milik seseorang sedangkan barang yang dihibahkan bisa menjadi hak milik seseorang.

Wallahu a'lam bish-shawab. *putm)

Download File
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Gempa dan Musibah Lainnya dalam Al-Qur'an

$
0
0

Pertanyaan Dari:
Untung S, hp. No. 08132333xxxx
(disidangkan pada hari Jum'at, 26 Zulkaidah 1430 H / 13 November 2009)


Pertanyaan:

Assalamu 'alaikum Wr. Wb.
Apakah gempa atau musibah yang lainnya ada di dalam al-Qur’an? Surat apa dan ayat berapa?
Wassalamu 'alaikum Wr. Wb.


Jawaban:

Sebelumnya perlu kami sampaikan bahwa pertanyaan yang hampir sama tentang gempa, musibah dan bencana pernah pula kami jawab di rubrik ini beberapa waktu yang lalu. Oleh sebab itu kami sarankan agar saudara membaca pula Rubrik Tanya Jawab Agama Majalah Suara Muhammadiyah No. 11 tahun ke-94/2009.
Secara umum, al-Qur'an menyebut bencana dengan kata مُصِيبَةٌ (musibah). Musibah terkadang diartikan sebagai cobaan dari Allah, sebagai bencana karena kalah dalam peperangan, ataupun bencana karena akibat perbuatan ceroboh tangan sendiri. Berikut ini beberapa ayat yang memuat kata musibah tersebut:

1.      QS. al-Baqarah (2): 155-156;


Artinya: “Dan sungguh akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun".” [QS. al-Baqarah (2): 155-156]

2.      QS. Ali Imran (3): 165;


Artinya:“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri". Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” [QS. Ali Imran (3): 165]

3.      QS. an-Nisa (4): 62;


Artinya:“Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna".” [QS. an-Nisa (4): 62]

Al-Qur’an adalah kitab yang menceritakan kejadian-kejadian pada masa dahulu, masa sekarang, dan masa yang akan datang. Begitu pula tentang beberapa musibah yang pernah terjadi, telah tertulis pula di dalam al-Qur’an. Berikut ini ayat-ayat yang berkenaan dengan musibah yang terdapat dalam al-Qur’an:

1.      Tentang banjir, yang ditimpakan Allah kepada kaum Saba. Firman Allah:

Artinya: “Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka Yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun". Tetapi mereka berpaling, Maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr.” [QS. Saba' (34): 15-16]

2.      Tentang angin topan
Angin juga adalah tanda-tanda kekuasaan Allah swt, sebagaimana dalam al-Qur’an surat ar-Rum (30): 46;

Artinya:“Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya adalah bahwa Dia mengirimkan angin sebagai pembawa berita gembira dan untuk merasakan kepadamu sebagian dari rahmat-Nya dan supaya kapal dapat berlayar dengan perintah-Nya dan (juga) supaya kamu dapat mencari karunia-Nya; mudah-mudahn kamu bersyukur.” [QS. ar-Rum (30): 46]

Namun angin juga bisa membinasakan suatu kaum, seperti yang tercantum dalam al-Qur'an surat adz-Dzariyat (51): 41-42


Artinya: “Dan juga pada (kisah) Aad ketika Kami kirimkan kepada mereka angin yang membinasakan. Angin itu tidak membiarkan satupun yang dilaluinya, melainkan dijadikannya seperti serbuk.” [adz-Dzariyat (51): 41-42]

3.      Tentang gempa. Firman Allah swt:


Artinya:“Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohonkan taubat kepada Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan. Maka ketika mereka digoncang gempa bumi, Musa berkata: "Ya Tuhanku, kalau Engkau kehendaki, tentulah Engkau membinasakan mereka dan aku sebelum ini. Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami? Itu hanyalah cobaan dari Engkau, Engkau sesatkan dengan cobaan itu siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau beri petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki. Engkaulah yang memimpin kami, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat dan Engkaulah pemberi ampun yang sebaik-baiknya".” [QS. al-A'raf (7): 155]

Demikianlah beberapa ayat al-Qur’an yang berbicara tentang gempa dan beberapa musibah lainnya.

Perlu kami beri penjelasan pula, bahwa tidak ada relevansi antara waktu terjadinya suatu musibah atau bencana dengan penomoran surat dan ayat tertentu dalam al-Qur’an. Musibah terjadi karena telah menjadi kehendak Allah, sebagaimana firman-Nya:


Artinya: “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” [QS. al-Hadid (57); 22]

Wallahu a'lam bish-shawab. *putm)

Download File
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Halal-Haram Makanan (Daging)

$
0
0


  
Pertanyaan Dari:
Khanif Ilzamy <khanif_i@yahoo.com>
(disidangkan pada Jumat, 21 Rabiul Awwal 1429 H /28 Maret 2008 M)


Pertanyaan:

Assalamu'alaikum Wr.Wb.

Buat bapak-bapak anggota Majelis Tarjih, saya punya pertanyaan seputar halal/haramnya makanan.
Saya bekerja di luar negeri, berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain. Setahu saya dalam hukum Islam binatang (sapi/kambing/ayam) yang tidak disembelih secara Islami hukumnya adalah haram. Kadangkala saya sulit sekali menemukan warung/restoran muslim apabila berada di negara yang mayoritas non-Muslim, sehingga praktis saya hanya makan ikan dan sayuran karena untuk daging yang pasti mereka tidak menyembelihnya secara Islami. Namun teman saya berpendapat bahwa tidak masalah memakan daging tersebut dengan menganalogikan sebagai binatang buruan, yang ditembak mati tanpa disembelih, asalkan kita sebelum memakannya membaca basmalah. Apakah bisa kita menganalogikan yang seperti itu? Mohon penjelasannya.

Terima kasih.
Wassalamu'alaikum.


Jawaban:

Syariat Islam telah menerangkan untuk kaum muslimin yang halal dan haram dalam masalah makanan dan minuman. Termasuk makanan yang dihalalkan ialah sembelihan Ahlul-Kitab (Yahudi dan Nasrani). Hal ini berdasarkan firman Allah:
Hadits riwayat Umi Habibah, istri Rasulullah saw:

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.” [QS. al-Maidah (5): 5]

Jadi apabila yang saudara maksudkan berpindah-pindah dari suatu negara ke negara lain itu adalah negara yang berpenduduk Ahlul-Kitab (Yahudi dan Nasrani), maka tidak mengapa memakan sembelihan mereka asal binatang tersebut dihalalkan (seperti sapi, kambing, ayam dan lainnya), bukan yang diharamkan (seperti babi, anjing dan lainnya), dengan tetap membaca basmalah sebelum memakannya. Rasulullah saw juga pernah bersabda:

عَنْ  عَائِشَةَ أُمِّ اْلمُؤْمِنِيْنَ  أَنَّ قَوْمًا قَالُوْا  يَا رَسُوْلَ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  إِنَّ قَوْمًا
يَأْتُوْنَا بِلَحْمٍ لاَ نَدْرِى ذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ أَمْ لاَ قَالَ سَمُّوْا أَنْتُمْ وَكُلُوْا. [رواه وابن ماجه والبيهقي والدارمي].

Artinya: “Diriwayatkan dari 'Aisyah r.a., bahwa ada beberapa orang berkata kepada Nabi saw: Bahwa ada beberapa orang datang kepada kami membawa daging, tetapi kami tidak mengerti apakah mereka menyebut nama Allah (ketika menyembelihnya) atau tidak. Kemudian Nabi saw bersabda: Sebutlah nama Allah atas daging itu dan makanlah.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, al-Baihaqi dan ad-Darimi].

Dalam hal ini, karena sudah ada nash(ayat) al-Quran dan hadits di atas, maka tidak perlu menganalogikan sembelihan mereka dengan binatang buruan. Tambahan pula, ada sebuah hadis riwayat Ibn Abbas sebagai berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: إِنَّمَا أُحِلَّتْ ذَبَائِحُ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى مِنْ أَجْلِ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِالتَّوْرَاةِ وَالإِنْجِيلِ. [رواه الحاكم وصححه]

Artinya:“Diriwayatkan dari Ibn Abbas ra., ia berkata: Sesungguhnya dihalalkannya sembelihan Yahudi dan Nasrani itu adalah karena mereka beriman kepada Taurat dan Injil.” [Diriwayatkan oleh Hakim dan disahihkannya]

Perlu kami sampaikan bahwa pada rubrik Fatwa Agama Majalah Suara Muhammadiyah No. 17 Tahun ke-91/2006 telah dijawab sebuah pertanyaan yang hampir sama, dengan salah satu kesimpulan sebagai berikut: Jika tidak mengetahui apakah ketika disembelih dibacakan basmalah atau tidak, maka wajib membaca basmalah sebelum memakannya. Jika tetap ragu-ragu tentang kehalalannya, lebih baik ditinggalkan.

Namun perlu ditekankan di sini bahwa walaupun sembelihan mereka itu halal, kita tetap perlu berhati-hati karena mereka seringkali mencampurkan binatang sembelihan yang halal dengan yang haram, atau paling tidak mereka memasak keduanya itu dengan alat masak yang sama secara bergantian tanpa mensucikannya terlebih dahulu, yang menyebabkan tercampurnya makanan yang halal dengan makanan yang haram.

Adapun jika makanan tersebut makanan (sembelihan) orang kafir selain Ahlul-Kitab, seperti orang musyrik, penyembah berhala, orang atheis (tidak beragama), zindiq  dan orang murtad, maka para ulama sepakat mengharamkannya. Dalilnya ialah firman Allah:

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah (yang mengalir), daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” [QS. al-Maidah (5): 3]

Wallahu a'lam bishshawab. *mi)



 Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Download Maklumat Hasil Hisab Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah 1434 H / 2013 M

$
0
0
NOMOR 04/MLM/I.0 /E/2013
TENTANG
PENETAPAN HASIL HISAB
RAMADHAN, SYAWWAL, DAN DZULHIJJAH 1434 HIJRIYAH

Pimpinan Pusat Muhammadiyah menetapkan bahwa:
1. 1 Ramadan1434 H jatuh pada hari Selasa Wage, 9 Juli 2013 M.
2. 1 Syawal 1434 H jatuh pada hari Kamis Wage, 8 Agustus 2013 M.
3. 1 Zulhijah 1434 H jatuh pada hari Ahad Pon 6 Oktober 2013 M.
4. Hari Arafah (9 zulhij ah 1434 H) hari Senin Legi, 14 oktober 2013 M.
5. Idul Adha (10 Zulhijah 1434 H) hari Selasa Pahing, 15 oktober 2013 M.

Download Maklumat Selengkapnya disini


 
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Download Jadwal Imsakiyah Ramadhan 1434 H / 2013 M

$
0
0

Masuk Islam Karena Nikah, Orang Islam Tidak Shalat dan Jenazah Bunuh Diri

$
0
0
ORANG MASUK ISLAM YANG TIDAK PERNAH MENJALANKAN SYARIAT ISLAM DAN ORANG ISLAM YANG TIDAK PERNAH SHALAT ATAU MATI BUNUH DIRI, PERLU DISHALATKAN ATAU TIDAK JENAZAHNYA? 

Pertanyaan Dari:
Moh. Slamet, TU SMP Muhammadiyah 10 Yogyakarta
(Disidangkan pada hari Jum’at, 16 Ramadan 1428 H / 28 September 2007 M dan 22 Syawwal 1428 H / 2 November 2007 M) 

Pertanyaan:
Assalaamu ’alaikum Wr. Wb.
Melalui Suara Muhammadiyah, dengan ini saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan, yaitu:
1.   Di kampung kami sering terjadi orang non muslim ingin diislamkan. Akan tetapi masuk Islam orang tersebut hanya untuk menikah saja. Setelah menjadi seorang muslim, ia tidak pernah menjalankan syari'at Islam, bahkan kembali melaksanakan ibadah agama semula. Berdosakah orang yang membimbing dan menjadi saksi?
2.  Orang Islam yang meninggal dunia tetapi semasa hidupnya tidak pernah menjalankan shalat, apakah tetangga kanan-kirinya wajib menshalatkannya atau tidak?
3.     Orang Islam yang meninggal dunia karena bunuh diri wajib dimandikan dan dishalatkan atau tidak?

Atas jawaban yang diberikan saya ucapkan jazakumullah khairan katsira.
Wassalaamu ’alaikum Wr. Wb.

Jawaban:
1.   Peristiwa yang saudara ceritakan tidak hanya terjadi di kampung saudara, melainkan terjadi juga di kampung-kanpung lain. Hidayah itu hanya dari Allah SWT, kita semua tidak dapat memberikan hidayah kepada siapa pun. Nabi Muhammad pun tidak dapat memberikan hidayah, sebagaimana diungkap dalam surat al-Baqarah (2): 272:


Artinya: “Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya.”

Di kampung kami pun sering tejadi peristiwa, seperti yang saudara saksikan di kampung saudara, yaitu orang non muslim minta dituntun syahadat, yang tujuannya untuk menikah dengan orang muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Di antara mereka ada yang kembali lagi kepada agama semula, dan ada pula yang tetap menganut agama Islam, bahkan lebih kuat daripada orang yang menganut agama Islam karena turunan.

Maka tentu saja orang yang menuntun syahadat dan para saksinya harus niat dengan ikhlas, dan tidak boleh ragu-ragu, sebab yang memberikan hidayah hanya Allah SWT. Seandainya nanti di belakang hari orang tersebut kembali lagi kepada agama semula, tak lain karena Allah belum memberikan hidayah kepadanya.

Menurut pendapat kami, baik orang yang menuntun syahadat maupun para saksinya tidak berdosa, yang berdosa hanya orang yang murtad (kembali kepada agama semula). Apabila seseorang diminta untuk menuntun syahadat, tetapi tidak mau menuntunnya, maka ia berdosa.

2.  Pertanyaan tentang apakah orang Islam yang tidak pernah mengerjakan shalat, wajib dishalati jenazahnya?

Pertanyaan tersebut muncul karena seorang muslim harus memenuhi lima rukun Islam, sebagaimana ditegaskan dalam suatu hadits yang menyatakan sebagai berikut:

بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إلَهَ إِلاَّ اللهُ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَصِيَامِ رَمَضَانَ وَحِجِّ اْلبَيْتِ. [رواه مسلم عن ابن عمر: 22/16: 32]

Artinya: Islam dibangun di atas lima (rukun): Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang pantas disembah kecuali Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadan, dan haji ke Baitul-Haram. [HR. Muslim dari Ibnu 'Umar, hadits no. 22/16: 32].

Hadits tersebut menyatakan bahwa orang Islam (muslim) belum sempurna keislamannya kalau belum memenuhi lima rukun tersebut. Sebagian ulama menyatakan bahwa seseorang belum menjadi muslim sejati kalau belum memenuhi lima rukun tersebut.

Dengan kata lain, muslim itu ada beberapa tingkatan, dan yang paling rendah ialah muslim yang baru mengucapkan syahadat. Sekalipun belum mengerjakan shalat, tetapi ia sudah dapat digolongkan sebagai seorang muslim. Dalam suatu hadits dinyatakan sebagai berikut:

عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عَدِيٍّ بْنِ اْلخِيَارِ عَنِ اْلمِقْدَادِ بْنِ اْلأَسْوَدِ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللهِ أَرَأَيْتَ إِنْ لَقِيْتُ رَجُلاً مِنَ اْلكُفَّارِ فَقَاتَلَنِي فَضَرَبَ إِحْدَى يَدَيَّ بِالسَّيْفِ فَقَطَعَهَا ثُمَّ لاَذَ مِنِّي بِشَجَرَةٍ فَقَالَ أَسْلَمْتُ أَفَأَقْتُلُهُ يَا رَسُولَ اللهِ بَعْدَ أَنْ قَالَهَا قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَقْتُلْهُ قَالَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ قَدْ قَطَعَ يَدَي ثُمَّ قَالَ ذَلِكَ بَعْدَ أَنْ قَطَعَهَا أَفَأَقُلْتُهُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَقْتُلْهُ فَإِنْ قَتَلْتَهُ فَإِنَّهُ بِمَنْزِلَتِكَ قَبْلَ أَنْ تَقْتُلَهُ وَإِنَّكَ بِمَنْزِلَتِهِ قَبْلَ أَنْ يَقُولَ كَلِمَتَهُ الَّتِى قَالَ. [رواه مسلم: 155/95: 61]

Artinya: Diriwayatkan dari 'Ubaidillah ibn 'Adiy bin al-Khiyar, dari al-Miqdad bin al-Aswad, bahwa dia menyampaikan berita kepada 'Ubaidillah, bahwa dia pernah bertanya kepada Rasulullah: Hai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika saya bertemu dengan seorang laki-laki dari golongan orang kafir, lalu dia menyerang saya, dia menyabet salah satu dari dua tanganku dengan pedang hingga memutuskannya, lalu dia berlindung dengan sebuah pohon dari seranganku, kemudian dia berkata: Saya telah masuk Islam. Bolehkah saya membunuhnya sesudah dia menyatakan masuk Islam Hai Rasulullah? Rasulullah saw bersabda: Janganlah kau membunuhnya. Dia berkata: Lalu saya berkata: Hai Rasulullah, ia telah memotong tangan saya. Lalu ia berkata lagi: Ia menyatakan masuk Islam sesudah memotong tangan saya, bolehkah ia saya bunuh? Rasulullah bersabda: Janganlah kau membunuhnya. Jika engkau membunuhnya, maka sesungguhnya ia sederajat dengan engkau sebelum engkau membunuhnya dan sesungguhnya engkau (sesudah membunuhnya) sederajat dengan dia sebelum mengucapkan kalimat yang dia ucapkan. [HR. Muslim, no. 155/95: 61].

Hadits tersebut membeirkan pengertian bahwa orang yang telah menyatakan masuk Islam, kedudukannya sama dengan orang Islam (muslim), dan mempunyai hak yang sama dengan muslim lainnya termasuk dishalati jenazahnya. Maka teman atau tetangga kanan-kirinya juga wajib menshalati jenazahnya.

3.  Pertanyaan tentang orang Islam yang meninggal karena bunuh diri, apakah wajib dimandikan dan dishalatkan.

Menurut sebagian ulama tidak wajib dishalatkan, dengan alasan-alasan sebagai berikut:

عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ قَالَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ.
[رواه مسلم: 107/978: 430]

Artinya: Diriwayatkan dari Jabir bin Samurah, ia berkata: Didatangkan kepada Nabi saw seorang laki-laki yang mati karena bunuh diri dengan sebilah pisau besar, tetapi beliau tidak mau menshalatinya. [HR. Muslim, no. 107/978: 430].

Ulama lainnya berpendapat sebagai berikut:
Al-Auzai dan sebagian besar ahli fikih berpendapat, wajib dishalati, tentu saja wajib dimandikan dan dikafani. Mereka juga mengatakan bahwa para sahabat menshalatinya. Peristiwa seperti ini sama dengan peristiwa orang meninggal yang mempunyai hutang. Rasulullah saw tidak menshalatinya, tetapi beliau menyuruh para sahabat untuk menshalatinya.
Nabi Muhammad saw pernah bersabda:

عَنْ جَابِرٍ أَنَّ الطُّفَيْلَ بْنَ عَمْرٍو الدَّوْسِيَّ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللهِ هَلْ لَكَ فِي حِصْنٍ حَصِينٍ وَمَنْعَةٍ قَالَ حِصْنٌ كَانَ لِدَوْسٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَأَبَى ذَلِكَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلَّذِي ذَخَرَ اللهُ لِلْأَنْصَارِ فَلَمَّا هَاجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمَدِينَةِ هَاجَرَ إِلَيْهِ الطُّفَيْلُ بْنُ عَمْرٍو وَهَاجَرَ مَعَهُ رَجُلٌ مِنْ قَوْمِهِ فَاجْتَوَوْا الْمَدِينَةَ فَمَرِضَ فَجَزِعَ فَأَخَذَ مَشَاقِصَ لَهُ فَقَطَعَ بِهَا بَرَاجِمَهُ فَشَخَبَتْ يَدَاهُ حَتَّى مَاتَ فَرَآهُ الطُّفَيْلُ بْنُ عَمْرٍو فِي مَنَامِهِ فَرَآهُ وَهَيْئَتُهُ حَسَنَةٌ وَرَآهُ مُغَطِّيًا يَدَيْهِ فَقَالَ لَهُ مَا صَنَعَ بِكَ رَبُّكَ فَقَالَ غَفَرَ لِي بِهِجْرَتِي إِلَى نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا لِي أَرَاكَ مُغَطِّيًا يَدَيْكَ قَالَ قِيلَ لِي لَنْ نُصْلِحَ مِنْكَ مَا أَفْسَدْتَ فَقَصَّهَا الطُّفَيْلُ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ وَلِيَدَيْهِ فَاغْفِرْ. [رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir ra., ia berkata: Thufail bin Amar ad-Dausi dating kepada Nabi saw seraya berkata: Berkenankah anda tinggal di benteng kami yang kuat lagi tangguh, yaitu benteng suku Dausi masa jahiliyah? Rasulullah saw tidak berkenan memenuhi permintaan itu, karena beliau yakin terhadap ketangguhan yang telah ditanamkan Allah di hati kaum Anshar. Ketika Rasulullah saw hijrah ke Madinah, Thufail bin Amar ikut pula hijrah. Dia membawa serta seorang laki-laki warganya. Tetapi hawa Madinah tidak cocok bagi mereka, sehingga teman Thufail sakit dan tak sabar menahan derita itu. Karena itu, diambilnya senjatanya lalu dipotongnya tangannya sehingga darah mengucur dengan derasnya dan menyebabkan kematiannya. Pada suatu malam Thufail bin Amar bermimpi melihat temannya itu segar bugar, dengan tangan terbungkus. Thufail bertanya kepadanya: Apakah yang diperbuat Tuhan terhadapmu? Jawabnya: Allah mengampuni dosa-dosaku, karena aku telah ikut hijrah Nabi saw. Tanya Thufail: Kulihat tanganmu dibungkus, kenapa? Jawabnya: Dikatakan (Tuhan) kepadaku: Kami tidak akan memperbaiki apa yang telah kamu rusakkan sendiri. Mimpi Thufail itu diceritakannya kepada Nabi saw, lalu beliau berdoa: Ampunilah dia ya Allah karena dia telah memotong tangannya.” [HR. Muslim]

Dalam syarahnya, an-Nawawi berkata: hadits ini menjadi dalil bagi ahlu sunnah bahwa orang yang bunuh diri atau mengerjakan sesuatu maksiat, kemudian dia mati sebelum tobat lebih dahulu, orang-orang itu tidak dihukumi kafir, hanya disiksa karena dosanya.

Berdasarkan beberapa keterangan tersebut, kami berpendapat bahwa orang Islam yang meninggal dunia karena bunuh diri masih tetap memeluk agama Islam, artinya ia tetap sebagai seorang muslim. Maka jenazahnya wajib diperlakukan sebagaimana orang muslim kebanyakan.
Wallaahu a’lam bish-shawab. *sd) 


Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Kematian, USG, Sembelihan dan Kloning

$
0
0
PENGETAHUAN TENTANG WAKTU KEMATIAN DAN JENIS KELAMIN BAYI DALAM RAHIM, HUKUM MEMAKAN MAKANAN SEMBELIHAN ORANG KRISTEN, DAN HUKUM KLONING

Penanya:
Poniran Yahman,
Ds. Palembon, Kec. Kanor, Kab. Bojonegoro Jawa Timur
 (disidangkan pada hari Jum’at, 8 Rabiul Awwal 1427 H / 7 April 2006 M)

Pertanyaan:

1.      Dalam al-Qur'an disebutkan bahwa manusia tidak tahu kapan akan mati dan di bumi mana akan dikubur. Bagaimana dengan orang yang dihukum mati yang telah diberi tahu kapan akan dieksekusi? Hal ini berarti telah diketahui kapan ia akan mati.
2.      Dalam al-Qur'an disebutkan bahwa manusia tidak tahu jenis kelamin yang ada dalam rahim seorang ibu. Bagaimana dengan ultrasonography (USG) yang dapat mendeteksi dalam kandungan, sehingga dapat diketahui apakah anak itu laki-laki atau perempuan?
3.      Bolehkah seorang Muslim memakan sembelihan orang Kristen, karena mereka menyembelih dengan menyebut nama Yesus Kristus?
4.      Hukum Kloning.


Jawaban:

Pertanyaan 1 dan 2:
Pertanyaan No. 1 dan No. 2 dapat dijawab dalam satu jawaban. Agar lebih jelas kami salinkan ayat-ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan masalah di atas. Allah SWT berfirman:

إِنَّ اللهَ عِنْدّهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِى اْلأَرْحاَمِ وَمَا تَدْرِى نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِى نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ.

Artinya: Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” [QS. Luqman (31): 34].
Dan firman Allah SWT:

اللهُ يَعْلَمُ مَا تَحْمِلُ كُلُّ أُنْثَى وَمَا تَغِيْضُ اْلأَرْحَامُ وَمَا تَزْدَادُ وَكُلُّ شَيْئٍ عِنْدَهُ بِمِقْدَارٍ. 

Artinya: Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, dan kandungan rahim yang kurang sempurna dan yang bertambah. Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya.” [QS. ar-Ra‘d (13): 8].

Di antara isi yang terkandung pada ayat di atas ialah hanya Allah saja yang mengetahui dengan pasti kapan seseorang meninggal dunia , di bumi mana ia akan dikubur dan apa saja yang terdapat dalam rahim seorang ibu. Selain Allah tidak ada yang dapat mengetahuinya dengan pasti.

Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dan semakin banyak alat-alat canggih yang ditemukan manusia untuk mengetahui, mendeteksi dan memperkirakan sesuatu, namun pengetahuan manusia hanyalah bersifat relatif (nisbi), tidak sampai kepada kebenaran mutlak. Pengetahuan manusia hanya mencapai tingkat ‘prakiraan’ yang masih perlu dibuktikan kebenarannya. Seandainya manusia mengadakan penelitian tentang apa yang diperkirakan itu dan merasa mendapatkan kebenaran, maka kebenaran itu hanyalah kebenaran relatif. Teori relativisme ini pernah dikemukakan oleh Einstein, seorang ilmuwan Jerman yang terkenal. Dalam Ilmu Tauhid dinyatakan bahwa selain dari Allah mumkin. Pernyataan ini ada persamaannya dengan teori relativisme di atas.

Allah SWT menyatakan dalam firman-Nya bahwa kebenaran mutlak itu hanya ada pada Allah:

وَاللهُ يَقْضِى بِاْلحَقِّ وَالَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ لاَ يَقْضُوْنَ بِشَيْئٍ وَأَنَّ اللهَ هُوَ االسَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ. 

Artinya: Dan Allah menghukum dengan keadilan. Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tiada dapat menghukum dengan sesuatu apapun. Sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.[QS. al-Mukmin (40): 20].
Dan firman Allah SWT:

اَلْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلاَ تَكُوْنَنَّ مِنَ اْلمُمْتَرِيْنَ.
Artinya: Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.[QS. al-Baqarah (2): 147].

Surat al-Mukmin ayat 20 menegaskan bahwa manusia tidak dapat menetapkan hukum dengan adil. Hanyalah Allah yang dapat menetapkan hukum dengan adil yang sebenarnya. Sedang surat al-Baqarah ayat 147 menegaskan bahwa kebenaran mutlak itu hanya ada pada Allah semata, karena itu janganlah orang-orang yang beriman ragu-ragu tentang hal itu. Di antara keberanan mutlak itu ialah al-Qur'anul-Karim.

Kembali pada persoalan di atas bahwa memang manusia (pemerintah) dapat menetapkan jam, hari dan tanggal pelaksanaan eksekusi dari suatu hukuman mati, namun ketetapan itu masih bersifat relatif. Kepastian seseorang akan mati tetap Allah yang menentukannya. Allah berfirman:

وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا وَاللهُ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ.

Artinya: Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.[QS. al-Munafiqun (63): 11].
Dan firman Allah SWT:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُوْنَ. 

Artinya: Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu[537]; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.[QS. al-A‘raf (7): 34].

Betapa banyaknya suatu pelaksanaan hukuman mati tertunda atau tidak dapat dilaksanakan pada waktunya, karena ada saja halangan yang datang secara tiba-tiba, karena segala sesuatu hanyalah Allah yang memutuskan. Bahkan mungkin saja terjadi, seseorang terpidana mati yang telah ditetapkan waktu eksekusinya, mati terlebih dahulu sebelum tiba waktu eksekusi tersebut. Allah SWT berfirman:
Dan firman Allah SWT:

إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ.

Artinya: Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia.[QS. Yaasinn (36): 82].

Demikian pula halnya dengan janin yang ada dalam kandungan, sekalipun telah menggunakan alat USG, namun hasilnya tetap merupakan kemungkinan atau prakiraan, bukan kebenaran mutlak. Dr. Suprono (alm), seorang dokter ahli kebidanan pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada suatu seminar pernah menyatakan: “dalam laut dapat diukur, dalam perut wanita siapa tahu”. Beliau sebagai seorang dosen yang telah berhasil mendidik puluhan dokter ahli kandungan, masih menyatakan bahwa pengetahuannya tentang sesuatu hanyalah sampai pada tingkat prakiraan.

Pertanyaan 3:
Tentang hukum memakan sembelihan orang Kristen (Ahli Kitab), ada dua pendapat. Pendapat pertama menghalalkan memakan sembelihan Ahli Kitab asal yang disembelih itu adalah binatang yang halal dimakan. Mereka beralasan dengan firman Allah:

اَلْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ. 

Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka ...[QS. al-Maidah (5): 5].

Pendapat kedua menyatakan bahwa sembelihan Ahli Kitab itu haram dimakan. Alasan mereka ialah Ahli Kitab sejak zaman Nabi saw telah menganut kepercayaan syirik, tidak lagi percaya adanya Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah SWT:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْا إِنَّ اللهَ ثَالِثُ ثَلاَثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلاَّ إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوْا عَمَّا يَقُوْلُوْنَ لَيَمَسَّنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ. 

Artinya: Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.[QS. al-Maidah (5): 73].

Majelis Tarjih dan Tajdid cenderung kepada pendapat yang kedua dengan pertimbangan syadz adz-dzari'ah (mencegah kerusakan), berdasar pada sebuah kaidah ushul fiqh:

دَرْءُ اْلمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ اْلمَصَالِحِ.

Artinya: “Mencegah kerusakan didahulukan daripada mengambil kemaslahatan.”

Selanjutnya, ketika telah pasti diketahui bahwa suatu sembelihan itu disembelih atas nama selain Allah, maka haram hukumnya memakan sembelihan itu. Firman Allah:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ اْلمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ اْلخِنْزِيْرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ

Artinya: Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. al-Baqarah (2): 173].

Pertanyaan 4:
Tentang hukum kloning pernah dimuat pada rubrik Fatwa Agama Majalah Suara Muhammadiyah No. 09 Tahun Ke-90/2005 yang kesimpulannya ialah hukum kloning manusia adalah haram.
Wallahu a'lam bish-shawab. *km)

Nasikh - Mansukh

$
0
0
SURAT AN-NAJM AYAT 39 DENGAN SURAT AT-THUR AYAT 21

Pertanyaan Dari:
Thamrin Ariadhie, NBM. 483638,
 (disidangkan pada hari Jum'at, 11 Sya'ban 1428 H / 14 Agustus 2007 M dan 22 Syawwal 1428 H / 2 November 2007 M) 

Pertanyaan:
Assalaamu ’alaikum Wr. Wb.
Benarkah surat an-Najm ayat 39 telah dimansukh dengan surat ath-Thur ayat 21?
Wassalaamu ’alaikum Wr. Wb.

Jawaban:
Sebelum mengetahui apakah surat an-Najm ayat 39 telah mansukh dengan surat ath-Thur ayat 21, kami paparkan lebih dahulu apakah naskh itu?
Para ulama berbeda pendapat dalam memberikan pengertian naskh, tetapi esensinya sama. Menurut Manna al-Qaththan, dimaksudkan dengan naskh ialah:

رَفْعُ اْلحُكْمِ الشَّرْعِيِّ بِخِطَابٍ شَرْعِيٍّ.

Artinya: “Penghapusan hukum syar'i dengan khithab (pernyataan) syar'i.” [Manna al-Qaththan, 1971: 196].

Para ulama membagi naskh menjadi empat macam:
a.      Naskh as-sunnah bi as-sunnah (penghapusan sunnah dengan sunnah). Jumhur (sebagian besar) ulama membolehkannya.
b.      Naskh as-sunnah bi al-Kitab (penghapusan sunnah dengan al-Kitab). Jumhur ulama membolehkannya.
c.      Naskh al-Kitab bi al-Kitab (penghapusan al-Kitab dengan al-Kitab, misalnya penghapusan Injil dengan al-Qur'an). Para ulama sepakat membolehkannya.
d.    Naskh al-Qur'an bi al-Qur'an (penghapusan al-Qur'an dengan al-Qur'an). Sebagian ulama seperti Imam asy-Syafi'i dan pengikutnya berpendapat boleh, baik penghapusan bacaannya, hukumnya, atau bacaannya saja, dengan alasan


Artinya: “Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.” [QS. al-Baqarah (2): 106]

Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa dalam al-Qur'an tidak ada naskh (penghapusan), misalnya penghapusan suatu ayat dengan ayat lainnya. Pendapat ini dilontarkan oleh Abu Muslim al-Ashfahani. Pendapat tersebut mendapat perhatian yang sangat besar dari para ulama mutaakhir, asy-Syaikh Muhammad Abduh, as-Sayyid Rasyid Ridla dan Dr. Taufiq Shidqi. Abu Muslim al-Ashfahani menyatakan, jika dalam al-Qur'an ada ayat yang mansukh (dihapus), maka sebagian ayat al-Qur'an ada yang dibatalkan, dan jika dalam al-Qur'an ada ayat yang dibatalkan, maka sebagian ayat al-Qur'an ada batil. Padahal Allah telah menegaskan dengan firman-Nya:


Artinya: “Tidaklah datang kepadanya (al-Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya.” [QS. Fushshilat (41): 42]

Dari penjelasan tersebut jelaslah bahwa dalam al-Qur’an tidak satu ayat pun yang mansukh. Kami cenderung kepada pendapat ini.

Selanjutnya, jikalau kita kaji kedua ayat tersebut, maka tidak didapatkan adanya ta'arudl (pertentangan) antara keduanya, sehingga tidak mungkin terjadi nasakh. Bahkan sebaliknya, kedua ayat tersebut justru saling melengkapi.

Firman Allah dalam surat an-Najm (53): 39:


Artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”

Firman Allah dalam surat ath-Thur (52): 21:


Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”

Perlu difahami, bahwa Allah menghubungkan (meninggikan derajat) anak cucu orang yang beriman seperti derajat mereka bukan lantaran keimanan mereka, tetapi lantaran keimanan anak cucu mereka sendiri. Dalam kitab Shafwah at-Tafasir (Muhammad Aliy ash-Shabuni) disebutkan, maksud dari ayat 39 surat an-Najm adalah manusia tidak mendapatkan balasan kecuali dari amal atau uasahanya sendiri di dunia. Ibnu Katsir berkata: Sebagaimana ia tidak dibebani dosa orang lain, demikian pula ia tidak mendapatkan pahala kecuali dari amal yang diusahakannya untuk dirinya sendiri. Adapun maksud dari ayat 21 surat ath-Thur adalah anak cucu orang yang beriman tersebut dihubungkan (dinaikkan derajatnya oleh Allah di surga) adalah karena keimanan mereka sendiri, bukan karena bapak-bapak mereka. Ringkasnya, pada umumnya semua manusia akan mendapat balasan dari Allah sesuai dengan amal perbuatan mereka masing-masing di dunia. Namun, orang yang beriman akan dikumpulkan oleh Allah dengan keturunan mereka di surga berdasarkan keimanan mereka untuk lebih membahagiakan mereka.

Dari uraian tersebut kami berpendapat bahwa surat an-Najm ayat 39 tidak mansukh dengan surat ath-Thur ayat 21.
Wallaahu a’lam bish-shawab. *sd)



Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Hukum Istri Berorganisasi

$
0
0


Pertanyaan Dari:
Yoeny Wahyu Hidayatie, SE., KTAM 853174, Nasyi’ah di Harjo Barat Tersono Batang
(disidangkan pada Jum’at, 22 Shaffar 1429 H / 29 Februari 2008 M)


Pertanyaan:

Assalamu ’alaikum Wr. Wb.
Seorang istri di dalam keluarga memang berkewajiban mengurus suami dan anaknya. Teman saya sebetulnya aktivis tetapi selalu terbentur dengan kepentingan suaminya, ia sangat patuh dan perhatian kepada suaminya. Ia selalu ingin menyambut suaminya ketika pulang kerja. Teman tadi sampai tidak mau shalat jama’ah di mushalla karena menunggu suaminya pulang. Sikap teman tadi sesungguhnya sangat bagus dan saya acungi jempol. Tetapi andaikan semua anggota dan khususnya Pimpinan Nasyiatul Aisyiyah seperti itu, pastilah kegiatan organisasi tidak berjalan. Mohon penjelasan, bagaimana sebetulnya posisi istri dalam permasalahan ini.
Wassalamu ’alaikum Wr. Wb.

Jawaban:

Menurut agama Islam, pada dasarnya perempuan dan laki-laki memiliki derajat yang sama. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” [QS. an-Nahl (16): 97]

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ.

Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. at-Taubah (9): 71]

Sungguhpun demikian, dalam hal hubungan antara suami dan isteri, satu dengan yang lain masing-masing mempunyai hak dan kewajiban sendiri-sendiri. Berikut ini kami uraikan jawaban atas pertanyaan yang saudara sampaikan.

I.        Kewajiban Suami dan Istri dalam Rumah Tangga
  1. Kewajiban Suami terhadap Istri
1.      Suami wajib menjaga, melindungi dan memimpin isterinya. Allah berfirman:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ...

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” [QS. an-Nisa’ (4): 34]

2.      Bergaul dengan cara yang  baik  terhadap isteri. Allah berfirman:

... وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ... 

Artinya: “Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” [QS. an-Nisa’ (4): 19]
Dalam hadits dijelaskan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا.[رواه الترمذي]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Orang mukmin yang lebih sempurna imannya adalah orang yang terbaik akhlaknya dan sebaik-baik kamu adalah orang yang terbaik terhadap isterinya.” [HR. at-Tirmidzi]

3.      Memberi nafkah kepada isteri.Allah berfirman:

... وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ...

Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf.” [QS. al-Baqarah (2): 233]

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ ...

Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.” [QS. ath-Thalaq (65): 6]

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللهُ لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ اللهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا.


Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” [QS. ath-Thalaq (65): 6]

  1. Kewajiban Isteri terhadap Suami
Dalam Putusan Tarjih hasil Muktamar Tarjih ke XX di Garut tahun 1976 tentang Adabul Mar’ah fil Islam, antara lain diputuskan:
1.      Dalam pergaulan sehari-hari, wanita yang menjadi isteri harus bersikap patuh, taat serta senantiasa hormat terhadap suaminya. Hal itu supaya benar-benar dilaksanakan dengan tulus dan ikhlas, baik di hadapan suami maupun di kala suami berada di tempat yang jauh.
2.      Senantiasa bersikap sopan santun, bermanis muka, ramah tamah, dengan menampakkan kecintaan dan kepercayaan yang penuh terhadap suami.
3.      Seorang isteri hendaklah senantiasa berusaha untuk memiliki gaya dan daya penarik serta tambatan hati bagi suaminya. Isteri supaya menjadi pelipur lara di kala suami menghadapi kesusahan, menjadi penenang hatinya di kala gelisah, dan menimbulkan harapan di saat suami berputus asa. Sabda Nabi:

خَيْرُ النِّسَاءِ تَسُرُّكَ إِذَا أَبْصَرْتَ، وَتُطِيعُكَ إِذَا أَمَرْتَ، وَتَحْفَظُ غَيْبَكَ فِي نَفْسِهَا وَمَالِكَ. [رواه الطبرنى فى الكبير عن عبد الله بن سلام]

Artinya: “Sebaik-baik isteri adalah yang dapat menyenangkan hatimu bila kamu melihatnya, taat kepadamu bila kamu suruh, serta dapat menjaga kehormatan dirinya dan hartamu, di kala kamu sedang tidak di rumah.”[HR. ath-Thabrani di dalam al-Kabir dari Abdullah Ibnu Salam]

4.      Bertanggung jawab di rumah suaminya, untuk kebahagiaan seluruh keluarga. Allah berfirman:

... فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ ...

Artinya:“... Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka) ...” [QS. an- Nisa’ (4): 34]

... وَاْلمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا ...[رواه البخاري عن ابن عمر]

Artinya:“Dan istri bertanggung jawab di rumah suaminya dan ia akan diminta pertanggungjawabannya.” [HR. al-Bukhari dari Ibnu ’Umar]

5.      Mengatur rumah tangga, bersolek dan berhias dalam ukuran yang wajar dan pantas, yakni tidak berlebih-lebihan merupakan kewajiban bagi setiap wanita Islam. Sedang bagi seorang isteri, bersolek dan merias diri untuk suaminya dianjurkan oleh Islam.
Allah berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُولَى ... 

Artinya: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah dahulu.” [QS. al-Ahzab (33): 33]
Sikap tabarruj adalah sikap keterlaluan dalam memperlihatkan pakaian dan perhiasan, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyyah.
Allah berfirman:

... وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي اْلإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ... 

Artinya: “... dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.” [QS. an-Nur (21) :31]

  1. Kewajiban Istri terhadap Anak.
Menurut Syari’at Islam, anak adalah amanah Allah (kepada Ibu dan Bapaknya). Sabda Nabi saw:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى اْلفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ ...[رواه البخاري عن أبي هريرة]

Artinya: “Setiap anak yang lahir dalam keadaan fitrah. Ibu-bapaknyalah yang menjadikan anak-anak itu menjadi Yahudi atau Nasrani atau Majusi.” [HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah]

Setiap amanah Allah harus dijaga dan dipelihara sedemikian rupa sesuai dengan ajaran Islam, sebagai sebuah kewajiban kepada kedua orang tua. Demikian pula terhadap pendidikan anak menjadi tanggung jawab kedua orang tua, sebagaimana tersirat dalam firman Allah:

... وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا.

Artinya: “...dan ucapkanlah: Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya,  sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” [QS. al-Isra’ (17): 24]
Oleh karena itu, suami dan istri mempunyai kewajiban yang sama dalam pengasuhan dan pendidikan anak sebagai amanah Allah yang diberikan kepada mereka berdua.

  1. Kewajiban Istri terhadap Orang Tua.
Menghormati orang tua sendiri dan orang tua suami adalah kewajiban utama yang dipikulkan kepda setiap wanita Islam. Allah berfirman:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا. 

Artinya:“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemelharaanmu, maka sekali-kali janganlah mengatakan kepada keduanya perkataan ”ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” [QS. al-Isra’ (17): 23-24]

II.     Istri shalat berjama’ah di masjid.
Berikut ini akan kami tuliskan beberapa hadits yang berkaitan denganperempuan pergi ke masjid.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ إِلَى الْمَسَاجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ.[رواه الجماعة إلا ابن ماجه]

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu’Umar, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Apabila isteri-isterimu minta ijin kepadamu pergi ke masjid, maka ijinkanlah.” [HR. al-Jama’ah kecuali Ibnu Majah]

عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَمْنَعُوا النِّسَاءَ مِنْ الْخُرُوجِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِاللَّيْلِ. [رواه مسلم]

Artinya:“Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Janganlah kamu menghalang-halangi para wanita keluar pergi ke masjid di waktu malam.” [HR. Ahmad]

عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ تَمْنَعُوا النِّسَاءَ أَنْ يَخْرُجْنَ إِلَى الْمَسَاجِدِ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ. [رواه أحمد وأبو داود]

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu ’Umar, dari Nabi saw, beliau besabda: Janganlah kamu menghalang-halangi para wanita keluar pergi ke masjid, sedangkan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” [HR. Ahmad dan Abu Daud]

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ خَيْرُ مَسَاجِدِ النِّسَاءِ قَعْرُ بُيُوتِهِنَّ. [رواه أحمد]

Artinya:“Diriwayatkan dari Ummu Salamah, dari Rasulullah saw, bahwa Nabi saw bersabda: Sebaik-baik masjid bagi perempuan ialah ruang dalam dari rumah mereka.” [HR. Ahmad]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ وَلْيَخْرُجْنَ تَفِلاَتٍ. [رواه أحمد وأبو داود]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, beliau bersabda: Janganlah kamu menghalang-halangi perempuan-perempuan ke masjid-masjid Allah. Dan hendaklah mereka keluar tanpa dengan bau-bau yang harum.” [HR. Ahmad dan Abu Daud]

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُورًا فَلاَ تَشْهَدَنَّ مَعَنَا الْعِشَاءَ اْلآخِرَةَ.[رواه مسلم وأبوا دود والنسائى]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Siapa saja perempuan yang memakai dupa, maka janganlah menyertai kami dalam shalat ’isya’.” [HR. Muslim, Abu Daud dan an-Nasa’i]

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ لَوْ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى مِنْ النِّسَاءِ مَا رَأَيْنَا لَمَنَعَهُنَّ مِنْ الْمَسَاجِدِ كَمَا مَنَعَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ نِسَاءَهَا. [رواه البخاري ومسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari ’Aisyah, ia berkata: Andaikata Rasulullah saw menyaksikan para wanita sebagaimana yang kita saksikan, pastilah beliau akan melarang wanita pergi ke masjid, sebagaimana Bani Israil melarang perempuan-perempuannya.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]

Dari hadis-hadis di atas dapat diambil pelajaran bahwa perempuan-perempuan lebih baik shalat di rumah apabila dengan perginya ke masjid berkemungkinan besar akan menimbulkan fitnah. Untuk itu dituntunkan agar perempuan yang akan pergi ke masjid hendaknya berpakaian yang sewajarnya dan tidak menggunakan wangi-wangian secara berlebih-lebihan, sehingga menutup kemungkinan timbulnya fitnah. Dalam keadaan yang demikian, perempuan shalat di masjid berjama’ah bersama kaum lelaki adalah lebih utama. Dalam hal yang seperti ini wajib terhadap lelaki (suami) memberi ijin kepada perempuan (isterinya) yang akan menunaikan shalat berjama’ah di masjid. (Periksa asy-Syaukani, Nailul Authar, Juz II, 1994, hal. 162).

III.  Isteri berorganisasi dalam Persyarikatan Muhammadiyah.
Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid bersumber pada al Qur’an dan as Sunnah; dengan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Pelaksanaan tujuan tersebut didorong oleh firman Allah:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkarmerekalah orang-orang yang beruntung.” [QS. Ali Imran (3): 104]

Untuk mewujudkan tujuan tersebut berbagai amal usaha telah dilaksanakan oleh Muhammadiyah, misalnya dalam bidang dakwah telah dilaksanakan kajian-kajian ajaran Islam dan tabligh ke masyarakat; di bidang pendidikan, telah diselenggarakan pendidikan dari tingkat dasar sampai dengan perguruan tinggi; di bidang kesehatan, telah didirikan poliklinik dan rumah sakit; di bidang ekonomi telah didirikan BMT dan BPRS serta amal usaha di bidang lainnya.

Amar ma’ruf nahi munkar dengan berbagai amal usaha tersebut, merupakan sebagian dari berbagai bentuk ajaran Agama Islam yang dikategorikan sebagai perbuatan yang dihukumi fardlu kifayah. Dengan demikian mengambil bagian dalam kegiatan persyarikatan Muhammadiyah dapat dikategorikan melaksanakan ajaran Agama Islam dalam kategori fardlu kifayah. Perbuatan ini menjadi sangat penting, karena jika tidak seorang pun yang mau aktif dalam gerakan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar, maka menjadi berdosa semua umat Islam di tempat gerakan dakwah itu berada.

Dengan demikian hendaknya menjadi perhatian bagi setiap umat Islam setempat, baik laki-laki maupun perempuan (termasuk yang telah bersuami dan beristeri) untuk mengambil bagian (berpartisipasi) dalam gerakan da’wah ini. Bentuk partisipasi dapat diwujudkan dengan langsung menjadi salah seorang pimpinan atau pengurus, atau memberi dukungan baik moril maupun materiil kepada pimpinan atau pengurus agar kegiatan amar ma’ruf nahi munkar dapat berhasil secara maksimal.

Dalam tataran pelaksanaan, tidak jarang menghadapi kendala yang berupa benturan dengan tugas atau pekerjaan-pekerjaan pribadi yang merupakan kewajibannya, seperti tugas mencari nafkah, belajar, termasuk di dalamnya adalah tugas seorang isteri terhadap suaminya, dan lain-lain. Menghadapi benturan semacam ini hendaklah dapat disiasati sedemikian rupa tanpa mengorbankan satu kepentingan demi kepentingan yang lain, atau setidak-tidaknya meminimalisir kemungkinan terjadi pengorbanan salah satu kepentingan yakni dengan memilih pengorbanan yang terkecil atau dengan kata lain mendahulukan kegiatan yang mendatangkan kemanfaatan yang lebih besar. Dalam Qa’idah Fiqhiyyah disebutkan:

يُخْتَارُ أَهْوَنُ الشَّرَّيْنِ
Artinya: “Dipilih paling ringan dari dua kejelekan.”

إِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا.

Artinya: “Apabila terjadi pertentangan antara dua mafsadat (kerusakan), diperhatikan mana yang lebih besar bahayanya di antara keduanya itu, dengan dikerjakan yang lebih ringan di antara keduanya.”

Menjawab pertanyaan saudara, tentang posisi isteri dalam menghadapi benturan dua kepentingan yakni antara kepentingan organisasi dan kepentingan keluarga, dapat disarankan:

Pertama, usahakan dua kepentingan itu tetap berjalan tanpa mengorbankan salah satu kepentingan. Misalnya jika kegiatan organisasi yang sifatnya rutin bersamaan dengan kepentingan keluarga yang juga sifatnya rutin, hendaklah kegiatan organisasi digeser sehingga tidak bersamaan waktu dengan kegiatan keluarga.

Kedua, jika kegiatan organisasi bersifat insidental --karena ada kepentingan yang lebih besar atau mendadak-- diprioritaskan kepentingan organisasi dari pada kepentingan keluarga, sepanjang kepentingan keluarga tidak termasuk kepentingan yang pokok, misalnya dengan menggeser waktu bagi kepentingan keluarga. Dalam hal ini hendaknya isteri minta ijin atau memberi tahu kepada suami. Dalam pada itu suami hendaknya memahami kepentingan organisasi (umat) adalah merupakan tuntutan yang dihukumi dengan fardlu kifayah yang akan mengakibatkan berdosa kepada umat Islam setempat --termasuk dirinya-- jika tidak ada yang melaksanakan tugas tersebut. Suami yang shalih yang memiliki kesadaran akan tanggung jawab umat sebagai kewajiban fardlu kifayah, --dengan baik sangka-- suami akan dengan ikhlas mengijinkan bahkan memberi dorongan kepada isterinya.

Ketiga, jika kepentingan keluarga bersifat insidental, --karena ada kepentingan yang lebih besar atau yang mendadak-- diprioritaskan dari pada kegiatan organisasi yang sifatnya rutin.

Keempat, jika benturan itu antara kepentingan keluarga dan kepentingan organisasi yang keduanya bersifat insidental, maka kembalikan kepada qa’idah fiqhiyyah di atas, yakni dengan memprioritaskan melaksanakan kegiatan yang lebih kecil kerugiannya atau dengan kata lain dengan melaksanakan yang lebih besar manfaatnya.

Yang dikemukakan di sini adalah sekedar contoh, kami yakin masih banyak kiat lain yang dapat dipilih untuk mecari solusi dari problem ini.

Sebagai penutup, perlu kami informasikan bahwa Majelis Tarjih Muhammadiyah telah sejak lama menerbitkan buku Adabul Mar’ah fil Islam, yang merupakan hasil Muktamar Tarjih ke XX di Garut tahun 1976. Oleh sebab itu, sebagai sarana menambah wawasan dan meningkatkan ilmu, kami sarankan saudara untuk membaca buku tersebut.

Wallahu a’lam bish shawab. *dw) 
  Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Batas-Batas Kesenian

$
0
0
Penanya:
Agus Arif Susilo,
SMP Muhammadiyah Kebumen 54473

Pertanyaan:

Kesenian menurut kolom fatwa SM sangat dibatasi. Saya sebagai guru kesenian di SMP Muhammadiyah bagaimana seharusnya menyikapi hal ini? Artinya, sejauh mana kesenian yang boleh diajarkan?

Jawaban:

Sebelum sampai kepada jawaban inti, perlu saudara ketahui bahwa dalam kolom fatwa tidak ada penyempitan soal kesenian. Kalau ada orang yang bertanya tentang soal kesenian akan dijawab sebagaimana mestinya. Sudah barang tentu jawaban dalam rubrik Fatwa Agama di SM tidak panjang lebar seperti uraian dalam buku yang khusus menerangkan soal kesenian karena kolomnya terbatas. Perlu pula kami informasikan kepada saudara, sudah ada satu buku yang dikeluarkan oleh Majelis Kebudayaan Muhammadiyah Universitas Ahmad Dahlan dan Lembaga Litbang PP Muhammadiyah, tentang kesenian dan sudah dicetak dengan baik, berjudul “Islam dan Kesenian”. Tolong saudara berhubungan dengan Toko Buku SM di Yogyakarta, untuk menjadi bahan saudara mengajar. Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam juga telah memutuskan masalah “Kebudayaan dan Kesenian dalam Perspektif Islam” pada Munas Tarjih ke-22 di Malang, dan telah ditanfidz oleh PP Muhammadiyah serta dimuat dalam Berita Resmi Muhammadiyah No. 13/1995-2000, Syawwal 1420 H / Januari 2000 M.

Mengenai sejauh mana kesenian yang boleh diajarkan dapat kami jawab sebagai berikut:
Para ulama Islam telah membuat suatu ketetapan bahwa pada asalnya segala sesuatu itu boleh, berdasarkan firman Allah dalam QS. Al-Baqarah (2): 29:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي اْلأَرْضِ جَمِيعًا....
Artinya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu ...” [QS. al-Baqarah {2}: 29].

Tidak ada sesuatu yang diharamkan kecuali dengan nash yang shahih dan sharih (jelas) dari Kitab al-Qur’an atau Sunnah Rasulullah saw, atau ijma yang sah yang meyakinkan. Apabila tidak terdapat dalam tiga ketetapan itu, maka yang demikian tidak mempengaruhi kehalalannya dan tetaplah ia dalam batasan kemanfaatan yang luas. Allah berfirman:

... وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ....

Artinya: “… padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya …” [QS. al-Anam {6}: 119].

Dan Rasulullah saw bersabda:

مَا أَحَلَّ اللهُ فِى كِتَابِهِ فَهُوَ حَلاَلٌ وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ...[رواه الحاكم عن أبي الدرداء وصححه وأخرجه البزار].
Artinya: “Apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya adalah halal, dan apa yang diharamkan-Nya adalah haram, dan apa yang didiamkan-Nya adalah dimaafkan …” [HR. al-Hakim dari Abu Darda’, dishahihkan dan ditakhrijkan oleh al-Bazzar].

إِنَّ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضِيْعُوْهَا وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءٍ رَحْمَةً بِكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوْهَا. [رواه الدارقطنى].

Artinya: “Sesungguhnya Allah telah menentukan kewajiban-kewajiban, maka janganlah kamu menyia-nyiakannya, dan menetapkan batas-batas (larangan), maka janganlah kamu melanggarnya, dan Ia diamkan beberapa perkara sebagai rahmat buat kamu, bukan karena lupa, maka janganlah kamu mencari-carinya.” [HR. ad-Daruquthni].

Mengenai nash-nash yang dijadikan dalil oleh golongan yang mengharamkan kesenian seperti nyanyian, tarian, dan sejenisnya, adakalanya shahih tetapi tidak sharih (jelas), adakalanya sharih (jelas) tetapi tidak shahih. Selain itu tidak ada satu pun hadits yang marfu kepada Nabi saw yang patut menjadi dalil untuk mengharamkan, khususnya nyanyian. Masing-masing hadits itu dilemahkan baik oleh golongan ulama Dhahiri, Maliki, Hanbali, dan Syafii.

Sungguhpun demikian, harus diingat bahwa nyanyian-nyanyian atau tarian-tarian ataupun lukisan-lukisan harus yang sopan, mengandung pelajaran dan pendidikan, membawa pesan-pesan moral yang luhur, berpakaian sopan dan menutup aurat, serta tidak mengandung unsur syirik dan maksiat. Kalau semua unsur-unsur itu terpenuhi, maka nyanyian, tarian, dan lukisan itu hukumnya tetap mubah, artinya dibolehkan oleh syariat Islam. *th)

Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sajadah dan Bank BNI

$
0
0

Penanya:
H. Tamrin Harahap dan Aziz Harahap, Ketua dan Sekretaris PRM Sibaruang
(disidangkan pada hari Jum’at, 24 Shaffar 1427 H / 24 Maret 2006 M)

Pertanyaan:
1.      Bagaimana hukumnya pemakaian sajadah (tempat shalat) di masjid?
2.      Bagaimana hukumnya menyimpan uang kas Muhammadiyah di bank (BNI)?

Jawaban:

1.      Untuk menjawab pertanyaan yang pertama, kami kemukakan beberapa hadits sebagai berikut:

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: إِنَّ أَبَا سَعِيْدٍ دَخَلَ عَلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَهُ يُصَلِّى عَلَى حَصِيْرٍ [رواه مسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir ra., ia berkata: Bahwa Abu Sa‘id masuk ke rumah Rasulullah saw, mendapatkan (melihat) beliau sedang shalat di atas tikar dan bersujud padanya.” [HR. Muslim].

عَنْ مَيْمُوْنَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى عَلَى اْلخُمْرَةِ  [رواه الجماعة إلا الترمذى].

Artinya: “Diriwayatkan dari Maimunah ra., ia berkata: Bahwa Rasulullah saw shalat di atas hamparan yang dibuat dari anyaman pelepah kurma.” [HR. al-Jama‘ah kecuali at-Tirmidzi].

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ يُخَالِطُنَا حَتَّى كَانَ يَقُولُ لِأَخِ لِى صَغِيْرٍ يَا أَبَا عُمَيْرَ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ فَقَالَ وَنُضِحَ بِسَاطٌ لَنَا فَصَلَّى عَلَيْهِ.[رواه الترمذى].

Artinya: “Diriwayatkan dari Anas Ibn Malik ra., ia berkata bahwa Rasulullah saw selalu bersama kami, sehingga pada suatu saat beliau berkata kepada adikku yang masih kecil; Wahai Abu ‘Umair, apa yang dilakukan oleh anak burung serindit? Anas berkata: Disiramlah hamparan permadani itu, kemudian beliau shalat di atasnya.” [HR. at-Tirmidzi].

Memperhatikan hadits-hadits yang ditulis di atas, kami berpendapat bahwa dibenarkan shalat di atas sajadah atau alas lain, sepanjang suci; baik untuk shalat di rumah maupun untuk shalat di masjid.

2.      Perlu diketahui bahwa pada saat ini BNI ada dua macam, yakni BNI konvensional yang dalam praktik perbankan menggunakan sistem bunga; dan BNI syariah yang dalam praktik perbankannya menggunakan sistem bagi hasil (mudlarabah). Boleh jadi yang saudara tanyakan atau dimaksudkan dalam pertanyaan tersebut adalah BNI konvensional. Terhadap penggunaan bank milik Pemerintah yang konvensional ini, dalam Muktamar Majelis Tarjih 1968 di Sidoarjo Jawa Timur, - dan sampai saat ini belum ada perubahan,- diputuskan: Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat. Kata musytabihat dalam pengertian bahasa ialah perkara (sesuatu) yang tidak jelas. Adapun menurut pengertian Syara’ ialah sebagaimana yang tersimpul dalam Hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Nu'man Ibn Basyir yang kesimpulannya sebagai berikut: Bahwasanya yang halal sudah jelas, demikian pula yang haram, yaitu telah dijelaskan oleh al-Qur’an maupun al-Hadits dengan nash-nash sharihnya. Misalnya, daging kambing halal dimakan dan daging babi haram dimakan. Selain yang telah ditentukan hukumnya dengan jelas itu, terdapat beberapa hal yang hukumnya tidak jelas bagi seseorang atau beberapa orang, apakah itu halal atau haram, sehingga dari mereka timbul ragu-ragu dan tidak dapat menentukan salah satu di antara dua macam hukum itu. Perkara yang masih meragukan dan tidak jelas hukumnya inilah yang disebut musytabihat.

Terhadap hal yang masih musytabihat atau masih diragukan hukumnya, Nabi Muhammad saw telah menganjurkan agar kita berlaku hati-hati dengan menghindari atau menjauhinya demi untuk menjaga kemurnian jiwa dalam pengabdian kita kepada Allah Swt. Hal ini dikecualikan manakala dalam rangka menjaga kemaslahatan kehidupan baik dalam urusan keduniaan maupun urusan keakhiratan tidak ada jalan lain atau nyaris tidak mungkin untuk dihindari, seperti di suatu daerah yang tidak atau belum ada lembaga keuangan seperti bank yang beroperasi dengan menggunakan sistem syariah. Namun pada saat ini lembaga keuangan syariah sudah berdiri di berbagai tempat, seperti BNI juga telah membuka kantor cabang BNI Syariah di berbagai daerah. Selain itu, di berbagai dareah juga telah berdiri Baitul Mal wat Tamwil (BMT).

Dengan memperhatikan keterangan di atas, hendaknya dana milik Muhammadiyah disimpan di lembaga keuangan yang beroperasi dengan menggunakan sistem syariah, misalnya BNI Syariah. Jika demikian, dana milik Muhammadiyah yang telah terlanjur disimpan di BNI konvensional dapat dipindahkan ke BNI Syariah yang terdekat yang telah ada, atau di lembaga keuangan syariah yang lain. Jika memang di daerah saudara belum ada lembaga keuangan syariah, maka tentunya masih dibolehkan menggunakan Bank konvensional milik Pemerintah, mengingat sebuah hadits:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ [رواه أحمد وابن ماجه].

Artinya: “Tidak boleh membuat kemadlaratan pada diri sendiri dan tidak boleh membuat kemadlaratan pada orang lain.” [HR. Ahmad dan Ibnu Majah].

Dan kaidah ushul fiqh:
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ اْلمَحْضُوْرَاتِ
Artinya: “Kemadlaratan-kemadlaratan itu membolehkan larangan-larangan

Wallahu a’lam bishshawab. *dw)
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Hadits Tentang Maulid Nabi dan Sedekah untuk Orang Tua yang Sudah Meninggal Dunia

$
0
0
ADAKAH HADITS TENTANG
KEWAJIBAN MEMPERINGATI MAULID NABIMUHAMMAD SAW DAN BAGAIMANAKAH KEDUDUKAN HADITS TENTANG BERSEDEKAH UNTUK ORANG YANG SUDAH MENINGGAL DUNIA?

Pertanyaan dari:
Iluluddin, Agen SM No. 15, Manna Bengkulu
(Disidangkan pada hari Jum'at, 6 Dzulqa'dah 1428 H / 16 November 2007 M)


Pertanyaan:

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Berhubung keterbatasan ilmu dalam mencari kebenaran terutama masalah agama Islam saya mohon bantuan kiranya Bapak dapat menjelaskan:

1.  Hadits yang dikemukakan khatib dalam berkhutbah berkenaan dengan memperingati hari kelahiran Rasulullah (maulid) yang merupakan keharusan bagi umat Islam dengan alasan sebuah hadits. Setelah dikonfirmasikan ternyata hadits tersebut diperolehnya dalam buku khutbah (matan hadits terlampir). Yang menjadi pertanyaan saya, benarkah matan terlampir itu sebuah hadits? Kalau benar, bagaimana kedudukan hadits tersebut? Shahih, hasan, dhaif, atau yang lain?

2.    Dalam buku berjudul "Pilihan Hadits Politik, Ekonomi Dan Sosial" yang disusun oleh S. Ziyad 'Abbas terbitan Pustaka Panji Mas Jakarta 1991 halaman 291 s.d. 294 tentang sedekah untuk orang mati (matan hadits terlampir). Yang menjadi pertanyaan saya, apa makna dan maksud hadits tersebut, dan bagaimana kedudukan hadits tersebut kalau dihubungkan dengan al-Quran surat an-Najm ayat 39 dan dengan hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari maupun Muslim (dalam Tanya Jawab Agama Jilid I halaman 117 dan 118 susunan Tim Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah)?

Demikian, keberkenanan Bapak menjawab serta menjelaskan pertanyaan saya tersebut di atas saya aturkan banyak terima kasih. Nasruminallah wa fathun qarib.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.


Jawaban:

Wa'alaikumussalam Wr. Wb.
Berikut ini jawaban atas pertanyaan bapak:
1.      Hadits yang bapak lampirkan pada lampiran no. 1 berbunyi:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ عَظَّمَ مَوْلِدِي كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ، وَمَنْ أَنْفَقَ دِرْهَمًا فِي مَوْلِدِي فَكَأَنَّمَا أَنْفَقَ جَبَلاً مِنْ ذَهَبٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ.

Artinya: “Nabi saw bersabda: 'Barang siapa mengagungkan hari kelahiranku, niscaya aku akan memberi syafa'at kepadanya kelak pada hari kiamat. Dan barang siapa mendermakan satu dirham di dalam menghormati hari kelahiranku, maka seakan-akan dia telah mendermakan satu gunung emas di jalan Allah'.”

Setelah kami lacak dan teliti dalam kitab-kitab hadits, kami tidak mendapatkan hadits tersebut. Kami cenderung untuk mengatakan bahwa hadits tersebut adalah hadits maudhu' atau palsu. Kecurigaan kami terhadap hadits ini karena beberapa sebab, antara lain hadits tersebut tidak ada perawinya. Selain itu, redaksinya juga menunjukkan bahwa itu bukan sabda Rasulullah saw, karena di dalam redaksinya disebutkan amalan yang kecil (sedekah satu dirham) dibalas dengan pahala yang sangat besar (seakan-akan telah mendermakan satu gunung emas). Tambahan pula dalam masalah maulid (hari kelahiran) Nabi saw itu memang banyak hadits palsu yang dibuat untuk mengagungkan perayaan hari kelahiran tersebut oleh orang-orang yang mengaku mencintai Nabi saw. Mereka membuat hadits palsu itu dengan alasan tidak mengapa berbohong untuk (kepentingan) Nabi saw. Padahal Nabi saw tidak perlu kepada pembohongan mereka itu. Menurut pendapat kami, memperingati hari kelahiran Nabi saw itu hukumnya bukan wajib, tetapi ia boleh dilakukan dengan syarat menjauhi perkara-perkara bid'ah dan syirik.

2.      Hadits-hadits yang bapak lampirkan pada lampiran no. 2 berbunyi:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِرَسُولِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أُمَّهُ تُوُفِّيَتْ، أَيَنْفَعُهَا إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَإِنَّ لِي مِخْرَافًا وَأُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا.[رواه البخاري]

Artinya: “Diriwayatkan dari Ibn Abbas r.a.: Bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah saw: Sesungguhnya ibuku telah wafat, apakah bermanfaat baginya jika saya bersedekah atas namanya? Jawab beliau: "Ya". Orang itu berkata: Sesungguhnya saya mempunyai kebun yang berbuah, maka saya mempersaksikan kepadamu bahwa saya telah menyedekahkannya atas namanya.” [HR. al-Bukhari]

Dansabda beliau:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أُمِّي افْتَلَتَتْ نَفْسُهَا، وَأَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ، فَهَلْ لَهَا أَجْرٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ.[رواه البخاري ومسلم واللفظ للبخاري]

Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah r.a.: Bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi saw: Sesungguhnya ibuku meninggal secara mendadak, dan saya menduga jika dia berkata pasti dia bersedekah, maka apakah dia mendapat pahala jika saya bersedekah atas namanya? Jawab beliau: "Ya".” [HR. al-Bukhari dan Muslim, lafadz al-Bukhari]

Dan sabda beliau lagi:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ أَبِي مَاتَ وَتَرَكَ مَالاً وَلَمْ يُوْصِ، فَهَلْ يُكَفِّرُ عَنْهُ إِنْ أَتَصَدَّقُ عَنْهُ؟ قَالَ: نَعَمْ.[رواه مسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.: Bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi saw: Sesungguhnya ayahku wafat dan meninggalkan harta akan tetapi beliau belum berwasiat. Maka apakah dia dihapuskan (dosanya) jika saya bersedekah atas namanya? Jawab beliau: "Ya".” [HR. Muslim]

Hadits-hadits sahih riwayat al-Bukhari dan atau Muslim ini menunjukkan dengan jelas bahwa sedekah yang kita lakukan dengan mengatasnamakan orang tua kita itu pahalanya sampai kepada mereka. Adapun jika hadits-hadits di atas dihubungkan dengan ayat dan hadis berikut:


Artinya: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” [QS. An-Najm (53): 39].

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ.[رواه البخاري ومسلم]

Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah r.a. beliau berkata: “Rasulullah saw bersabda: 'Barangsiapa yang membuat hal baru pada ajaran kami ini yang bukan termasuk darinya maka tertolaklah ia'.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Maka dapat diambil kesimpulan berikut:

  1. Pada umumnya, sebagaimana dinyatakan dalam surat an-Najm (53) ayat 39, seorang manusia itu tidak memperoleh pahala dari Allah selain apa yang telah diusahakannya/dikerjakannya sebelum dia meninggal dunia. Oleh karena itu, setelah meninggal dunia, dia tidak akan mendapatkan pahala apa-apa dari Allah karena dia tidak bisa lagi beramal saleh.
  2. Namun keumuman ayat di atas dikhususkan oleh hadits-hadits yang menyatakan bahwa sedekah yang dilakukan seorang anak atas nama orang tuanya yang telah meninggal dunia, pahalanya sampai kepada orang tua yang telah meninggal dunia tersebut. Sebagian ulama menambahkan, bahwa kemauan anak untuk bersedekah atas nama orang tuanya itu termasuk hasil usahanya mendidik anak tersebut ketika masih di dunia dahulu, sehingga layak jika sedekahnya itu sampai kepadanya.
  3. Adapun hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim terakhir itu adalah mengenai sesuatu yang dibuat-buat dalam agama atau disebut dengan bid'ah, yaitu sesuatu yang tidak mempunyai sandaran hukum. Dan masalah sedekah atas nama orang tua yang telah meninggal itu --karena ada dalil atau sandaran hukumnya-- bukan termasuk perkara bid'ah.

Wallahu a'lam bish-shawab. *mi)


Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Pembagian Warisan

$
0
0

Pertanyaan dari:
EJ, di Cirebon (nama dan alamat diketahui redaksi)
(Disidangkan pada Jum’at, 13 Zulqa'dah 1428 H / 23 November 2007 M)


Pertanyaan:

Sehubungan kami sangat awam masalah hukum Faraid(pembagian warisan) maka dengan ini kami memohon bantuan kepada bapak untuk memecahkan masalah kami dengan silsilah seperti:
A (istri) menikah dengan B (suami) dikaruniai 2 anak, C (putri) dan D (putra). Sehubungan hal sesuatu terjadi perceraian. Anak C (putri) diserahkan dan dipelihara oleh Nenek dari B, anak D (putra) ikut ibu. Setahun kemudian B (bapak) menikah lagi dengan istri II (E). Istri II membawa seorang anak (F) dari hasil pernikahannya dengan suaminya yang dulu. Rumah tangga B dan E dikaruniai seorang anak (G), jadi memiliki seorang anak kandung dan seorang anak tiri.

B masih hidup, ia menjual warisannya senilai Rp 600.000.000,- dan memberikan warisan hanya kepada anak dari istri II (E) saja yaitu hanya kepada anak kandungnya (G) dan anak tirinya (F), sedangkan dua anak kandung yang dilahirkan dari istri pertama, yaitu C dan D tidak diberi warisan. Kata B haram hukumnya jika diberi warisan darinya, karena dulu A menikah dengan B tidak membawa harta sedikit pun.
Hukum persoalan kami, kepada bapak mohon penjelasan dan mendapat bagian berapa, siapa saja yang berhak mendapatkan warisan tersebut, berapa % harta yang diterima dari B dan haram tidak anak dapat warisan?
Demikianlah permohonan kami semoga bapak dapat memecahkan persoalan kami. Atas kebaikan dan bantuan bapak kami ucapkan terima kasih.


Jawaban:

Perlu diketahui bahwa salah satu syarat dalam pembagian warisan menurut ajaran Islam, yakni bahwa pewaris telah meninggal dunia. (Periksa: Muhammad Muhyiddin ‘Abdul Hamid, Ahkamul Mawarits fisy Syari‘atil Islamiyah ‘ala Madzahibil Arba‘ah, halaman 13; H. Ahmad Azhar Basyir, M.A., Hukum Waris Islam, halaman 16). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jika pewaris belum meninggal dunia atau dengan kata lain masih hidup, maka tidak terjadi pembagian warisan. Sehubungan dengan pertanyaan yang saudara ajukan, maka sesungguhnya permasalahan yang saudara tanyakan, menurut ajaran atau hukum Islam tidak atau belum menjadi permasalahan warisan.

Sungguhpun demikian akan kami jelaskan beberapa ketentuan hukum Islam yang berkaitan dengan permasalahan yang saudara hadapi, yakni:

1.  Pemberian harta oleh seseorang kepada orang yang masih ada hubungan kekerabatan bahkan jika pemberi meninggal dapat mewariskan harta kepada yang diberi selama pemberi masih hidup, tidak dapat dikategorikan pewarisan. Sehubungan dengan pertanyaan saudara, maka pemberian B kepada salah seorang anak kandungnya demikian pula kepada anak tirinya tidak dapat dikategorikan sebagai pewarisan, melainkan dikategorikan sebagai hibah.

Dalam hal pemberian atau hibah kepada anak diajarkan agar pemberian itu dilakukan secara adil antara anak yang satu dengan anak yang lain. Disebutkan dalam hadits:

1-اعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلاَدِكُمْ فِي الْعَطِيَّةِ. [رواه البخاري]

Artinya: “Berbuat adillah kamu dalam pemberian di antara anak-anakmu.” [HR. al-Bukhari]


2- عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ أَنْحَلَنِي أَبِي نُحْلاً قَالَ إِسْمَعِيلُ بْنُ سَالِمٍ مِنْ بَيْنِ الْقَوْمِ نِحْلَةً غُلاَمًا لَهُ قَالَ فَقَالَتْ لَهُ أُمِّي عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ ائْتِ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَشْهِدْهُ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَشْهَدَهُ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لَهُ إِنِّي نَحَلْتُ ابْنِي النُّعْمَانَ نُحْلاً وَإِنَّ عَمْرَةَ سَأَلَتْنِي أَنْ أُشْهِدَكَ عَلَى ذَلِكَ قَالَ فَقَالَ أَلَكَ وَلَدٌ سِوَاهُ قَالَ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ فَكُلَّهُمْ أَعْطَيْتَ مِثْلَ مَا أَعْطَيْتَ النُّعْمَانَ قَالَ لاَ قَالَ فَقَالَ بَعْضُ هَؤُلاَءِ الْمُحَدِّثِينَ هَذَا جَوْرٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ هَذَا تَلْجِئَةٌ فَأَشْهِدْ عَلَى هَذَا غَيْرِي قَالَ مُغِيرَةُ فِي حَدِيثِهِ أَلَيْسَ يَسُرُّكَ أَنْ يَكُونُوا لَكَ فِي الْبِرِّ وَاللُّطْفِ سَوَاءٌ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَشْهِدْ عَلَى هَذَا غَيْرِي وَذَكَرَ مُجَالِدٌ فِي حَدِيثِهِ إِنَّ لَهُمْ عَلَيْكَ مِنْ الْحَقِّ أَنْ تَعْدِلَ بَيْنَهُمْ كَمَا أَنَّ لَكَ عَلَيْهِمْ مِنْ الْحَقِّ أَنْ يَبَرُّوكَ. [رواه أبو داود وأحمد]

Artinya: “Diriwayatkan dari asy-Sya‘bi dari Nu‘man Ibnu Basyir, ia berkata: Ayahku memberiku suatu pemberian. Berkata Isma‘il Ibnu Salim dari salah seorang saudara-saudaranya. Ia (ayahnya) telah memberikan kepadanya seorang budak laki-laki. Ia berkata: Ibuku ‘Amrah Binti Rawahah berkata kepadanya: Datanglah kamu kepada Rasulullah saw dan persaksikanlah kepadanya. Kemudian ia mendatangi Rasulullah saw dan mempersaksikan serta menyampaikan hal itu seraya berkata: Saya telah memberi kepada anakku (an-Nu'man) suatu pemberian, kemudian ‘Amrah meminta saya agar mempersaksikan ini kepadamu (kepada Rasulullah saw). Rasulullah kemudian bertanya: Apakah kamu punya anak laki-laki yang lain? Ia mengatakan; Saya menjawab: Ya. Kemudian beliau bertanya lagi: Apakah mereka telah kau beri sebagaimana yang kau berikan kepada an-Nu‘man? Ia menjawab, tidak. Maka sebagian anak-anak akan mengatakan: Ini merupakan perbuatan curang, sedang yang lain akan mengatakan: Ini adalah perbuatan pilih kasih. Maka persaksikanlah pemberian ini kepada selain diriku. Berkata Mughirah dalam pembicaraan dengannya: Bukankah kamu menjadi senang, mereka berbuat baik dan bersikap sopan yang sama kepadamu? la menjawab: Ya. Ia berkata; Persaksikanlah hal itu kepada selain diriku. Dan disampaikan oleh Mujalid dalam pembicaraan dengannya: Mereka punya hak terhadapmu untuk berlaku adil di antara mereka, sebagaimana kamu mempunyai hak agar mereka berbuat baik kepadamu.” [HR. Abu Dawud dan Ahmad]

Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughnimenjelaskan bahwa pemberian orang tua kepada anak boleh untuk dilebihkan dari yang lain apabila dalam keadaan khusus, seperti kepada anak yang cacat, misalnya buta atau yang lain, atau karena anak yang disibukkan dengan mendalami dan mengembangkan ilmu; dan juga anak boleh dijauhkan dari pemberian, apabila pemberian itu justru untuk berbuat maksiat. Dalam hal melebihkan pemberian tersebut hendaknya dilakukan orang tua dengan penuh hikmah/kebijaksanaan dan sedapat mungkin atas sepengetahuan atau sepersetujuan anak-anaknya yang lain.
Demikian pula Islam mengajarkan, tidak boleh seseorang melakukan pemberian kepada orang lain yang mengakibatkan kerugian atau kesengsaraan bagi anak. Secara umum dalam hadits Nabi saw disebutkan:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ.[رواه ابن ماجه وأحمد]

Artinya: “Tidak boleh (memulai) berbuat kemadlaratan dan tidak boleh pula berbuat untuk membalas kemadlaratan.”[HR. Ibnu Majah dan Ahmad].

Dalam hadits lain yang berkaitan dengan pemberian wasiat, Nabi saw bersabda:

إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ[متفق عليه]

Artinya:“Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada orang-orang.” [Muttafaq Alaih]

2.   Sekali lagi kami tegaskan bahwa pewarisan baru akan terjadi apabila pewaris telah meninggal dunia. Hanya saja diandaikan B telah meninggal dunia, dalam saat itu isterinya masih hidup dan di kala B meninggal dunia masih terikat dalam perkawinan atau dalam keadaan iddah talak raj’i; demikian pula anak-anaknya yang disebutkan itu masih hidup, maka mereka semua adalah ahli waris yang berhak mendapat bagian warisan.

3.      Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 96 ayat (1) yang berbunyi: “Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama”. Dengan demikian istri II (E) memperoleh separoh dari harta bersama yaitu harta yang diusahakan selama perkawianan antara B dan E. Selain itu E juga memperoleh bagain 1/8 dari harta waris yang ditinggalkan oleh B. Dalam al-Qur’an disebutkan:

Artinya: “Maka para isteri memperoleh seperempat dari harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.” [QS. an-Nisa' (4): 12]

4.     Bahwa anak dari perkawinan yang sah, berhak mendapat warisan dari orang tuanya (ayah atau ibu) yang telah meninggal dunia. Jika suami beristri lebih dari seorang atau menikah lebih dari satu kali dan dari masing-masing istri mempunyai anak, maka anak dari istri yang manapun berhak mendapat warisan dari ayahnya yang telah meninggal dunia. Anak laki-laki bersama anak perempuan berkedudukan sebagai ahli waris ‘ashabah (mewarisi seluruh harta waris setelah dikurangi bagian ahli waris yang memperoleh bagian tertentu, misalnya bagian isteri adalah seperdelapan jika suami meninggal dunia). Bagian masing-masing anak laki-laki dua kali bagian untuk masing-masing anak perempuan. Berdasarkan firman Allah:


Artinya:“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.”[QS. an-Nisa’ (4): 11] 

Jika anak lebih dari satu orang dan semuanya laki-laki bagian mereka dibagi secara sama. Jika ahli waris seorang anak perempuan saja, maka ia memperoleh separoh dari harta waris dan jika ahli waris dua orang anak perempauan atau lebih tanpa anak laki-laki, mereka secara bersama-sama memperoleh dua pertiga dari harta waris, yang kemudian dibagi secara sama kepada semua ahli waris anak perempuan itu. Firman Allah:

Artinya: “…dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua (maksudnya dua atau lebih), maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta.” [QS. an-Nisa’ (4): 11]

5.      Pemberian oleh orang tua kepada anak selama hidupnya, kelak dapat diperhitungkan dalam pembagian warisan jika orang tua telah meninggal dunia. Disebutkan dalam Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam: “Hibah orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan”.

6.      Contoh Perhitungan
Diumpamakan seluruh harta peninggalan B, sebanyak Rp. 650.300.000,-. Sebelum harta peninggalan ini dibagi, maka terlebih dahulu dikeluarkan untuk membayar biaya perawatan jenazah, misalnya untuk membeli perlengkapan dalam memandikan jenazah, membeli kain kafan dan ongkos gali kubur, sebesar Rp. 300.000,-. Selama hidupnya ia pernah berwasiat akan memberikan hartanya sebesar Rp 45.000.000,- untuk panti asuhan anak yatim; maka sebelum harta peninggalan dibagi kepada ahli waris, wasiat ini harus ditunaikan terlebih dahulu. Sampai dengan saat meninggal dunia B tidak mempunyai hutang, namun masih mempunyai kesanggupan memberi dana untuk pembangunan masjid sebesar Rp. 5.000.000,-; maka sebelum harta peninggalan dibagi, kesanggupan ini harus dibayar terlebih dahulu, karena kesanggupan tersebut termasuk dalam kategori hutang. Dengan demikian, harta warisnya sebesar Rp. 650.300.000,- dikurangi dengan biaya-biaya perawatan janazah, wasiat dan hutang, sebesar Rp. 50.300.000,- yakni menjadi Rp. 600.000.000,-. Setelah dilakukan perhitungan secara seksama terhadap harta peninggalan ini, ternyata dari Rp. 600.000.000,- tersebut terdiri dari Rp. 200.000.000,- harta bawaan B, sedangkan yang Rp. 400.000.000,- merupakan harta yang diperoleh selama perkawinan dengan E, atau yang lazim disebut dengan harta bersama.

Cara perhitungannya adalah: Mula-mula separoh harta bersama, diberikan kepada isteri (E), yakni 1/2 xRp. 400.000.000,- yaitu Rp. 200.000.000,-. Selebihnya yaitu Rp 200.000.000,- ditambah dengan harta bawaan B sebesar Rp. 200.000.000,-, sehingga menjadi Rp. 400.000.000,- dibagikan kepada ahli waris, yakni:

  1. Isteri (E) memperoleh 1/8 harta warisan x Rp. 400.000.000,- = Rp. 50.000.000,-. Dengan demikian secara keseluruhan E memperoleh Rp. 200.000.000,- + Rp. 50.000.000,- = Rp. 250.000.000,-.
  2. Sisa harta waris yakni Rp. 400.000.000,- dikurangi Rp. 50.000.000,- sama dengan Rp. 350.000.000,- dibagi kepada semua anaknya, yaitu: C, D dan G. Jika G berjenis kelamin laki-laki, maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
C (perempuan) mendapat bagian        1 x 1    = 1
D dan G (laki-laki) mendapat bagian  2 x 2    = 4
Jumlah                                                             = 5

Bagian C adalah 1/5 x Rp. 350.000.000,-       = Rp.   70.000.000.-
Bagian D dan G 4/5 x Rp. 350.000.000,-       = Rp. 280.000.000.-
Bagian D Rp. 280.000.000,- : 2                      = Rp. 140.000.000,-
Bagian G Rp. 280.000.000,- : 2                      = Rp. 140.000.000,-

Jika G berjenis kelamin perempuan, maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
C dan G (perempuan) mendapat bagian         2 x 1    = 2
D (laki-laki) mendapat bagian             1 x 2    = 2
Jumlah                                                                         = 4

Bagian C dan G 2/4 x Rp. 350.000.000,-       = Rp. 175.000.000,-
Bagian C Rp. 175.000.000,- : 2                      = Rp.   87.500.000,-
Bagian G Rp. 175.000.000,- : 2                      = Rp.   87.500.000,-
Bagian D 2/4 x Rp. 350.000.000,-                  = Rp. 175.000.000,-

Sebagaimana telah disebutkan bahwa pemberian orang tua kepada anak selama hidupnya dapat diperhitungkan dalam pembagian warisan ini. Maka jika memang telah terjadi pemberian orang tua kepada anak, demi keadilan perlu untuk diperhatikan ketentuan ini.
F sebagai anak tiri tidak mendapat warisan, namun al-Qur’an mengajarkan agar kerabat atau orang miskin dan anak yatim yang hadir saat pembagian warisan hendaknya diberi sekedarnya sebagai infaq atau shadaqah.

Demikian yang dapat kami sampaikan semoga bermanfaat.
Wallahu a'lam bish-shawab. *dw)

Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Pembagian Warisan 2

$
0
0

Pertanyaan dari:
Hasan Nasrullah, di Binjai
(Disidangkan pada Jum’at, 13 Zulqa'dah 1428 H / 23 November 2007 M)


Pertanyaan:

Melalui surat ini saya sampaikan kepada Bapak tentang permasalahan mengenai hukum pembagian waris menurut agama Islam untuk dimuat dalam rubrik Tanya Jawab Agama di Majalah Suara Muhammadiyah.
Kasus:

Si A dan B telah melangsungkan perkawinan pada tahun 1950 dan sekarang mempunyai 7 (tujuh) orang anak yaitu C (laki-laki), D (laki-laki), E (perempuan), F (laki-laki), G (perempuan), H (laki-laki) dan I (laki-laki).

Si B (ibu) meninggal dunia pada tahun 1999 dan si A (ayah) meninggal dunia pada tahun 2004. Pada tahun 1975 si C anak pertama, bekerja dengan ayahnya (A) usaha dagang dengan membuka sebuah toko ukuran 3 x 12 m. Sampai sekarang si C tetap membuka toko tersebut walaupun si A telah meninggal dunia.

Harta Warisan:
  1. Ruko ukuran 3 x 12 m
  2. Ruko ukuran 12 x 20 m
Pertanyaan: Bagaimana cara membagi harta warisan tersebut karena pada saat sekarang ini harta warisan tersebut masih belum dibagi. Ketujuh anak-anaknya masih hidup.
Demikian, dan terima kasih.


Jawaban:

Untuk sampai kepada jawaban dari pertanyaan saudara, perlu diperjelas lebih dahulu:
1.      Kedudukan kerjasama antara A dan C dalam usaha dagang.
2.      Kematian ibu (B) yang berakibat hukum harus diselesaikan pembagian warisannya.
Dua peristiwa hukum tersebut sangat berpengaruh terhadap jumlah harta kekayaan A yang juga berdampak terhadap harta waris yang akan dibagikan kepada ahli waris yang dalam hal ini adalah anak-anaknya.

1.    Kedudukan kerjasama antara A dan C dalam usaha dagang. Kerjasama dalam usaha dagang dalam Hukum Islam dikenal dengan sebutan syirkah.Dalam syirkahyang terjadi antara A dan C, perlu diketahui apakah masing-masing membawa modal atau tidak. Jika dalam syirkah ini A dan C membawa modal, maka syirkahini disebut dengan musyarakah.Dalam musyarakah keuntungan dan kerugian ditanggung bersama oleh pihak-pihak yang bersyarikat atau melakukan perjanjian kerja sama, sesuai dengan prosentase modal atau menurut kesepakatan mereka. Jika yang terjadi dalam syirkah antara A dan C adalah musyarakah, dan sekarang akan diperhitungkan, maka langkah yang harus ditempuh yakni: Pertama, mengembalikan modal masing-masing yakni modal A dikembalikan kepada A dan modal C dikembalikan kepada C. Kedua, menghitung untung dan rugi. Jika dalam perhitungan terjadi kerugian lebih besar daripada keuntungan, maka kerugian ditanggung oleh A dan C sesuai dengan kesepakatan atau prosentase modalnya. Jika antara kerugian dan keuntungan ternyata sama, maka A dan C hanya kembali modal sebagaimana telah dilakukan pada langkah yang pertama. Jika dalam perhitungan terjadi keuntungan lebih besar daripada kerugian, maka keuntungan yang diperoleh dibagi antara A dan C menurut kesepakatan atau prosentase modal masing-­masing.

Mungkin juga syirkah yang terjadi antara A dan C, modal berasal dari salah satu pihak, sedang pihak lain hanya memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam usaha. Syirkah yang demikian disebut dengan mudlarabah.Dalam mudlarabah, jika dalam usaha ini memperoleh keuntungan, maka keuntungan menjadi hak pemilik modal dan pekerja, sedangkan kalau terjadi kerugian, sepenuhnya ditanggung oleh pemilik modal. Jika syirkah yang terjadi antara A dan C dalam bentuk mudlarabah, maka jika akan diperhitungkan kekayaan masing-masing, ditempuh: Langkah pertama, mengembalikan modal kepada pemiliknya, misalnya A sebagai pemilik modal, maka modal dikembalikan kepada A dan jika C sebagai pemilik modal maka modal dikembalikan kepada C. Langkah kedua, menghitung keuntungan dan kerugian. Jika kerugian lebih besar daripada keuntungan, maka kerugian ditanggung oleh pemilik modal dan pekerja tidak menanggung kerugian dan juga tidak memperoleh bagian apapun. Jika kerugian sama dengan besarnya keuntungan, maka pemilik modal hanya mendapat pengembalian modal tanpa tambahan apapun dan pekerja tidak memperoleh bagian apapun pula. Jika keuntungan lebih besar daripada modal, kepada pemilik modal disamping dikembalikan modalnya juga mendapat bagian keutungan yang telah disepakati demikian pula pekerja mendapat bagian keuntungan yang telah disepakati.

Dapat juga terjadi dalam mudlarabah ini masing-masing juga berlaku sebagai pekerja. Jika yang demikian ini yang terjadi, pemilik modal menerima pengembalian modal, kemudian keuntungan dibagi antara pemilik modal dengan pekerja menurut yang disepakati; kemudian keuntungan milik para pekerja dibagi kepada mereka yang ikut dalam menangani usaha ini sesuai dengan kesepakatan.

Selain dalam syirkah, mungkin juga dalam kerjasama ini dalam bentuk perburuhan (al-Ijarah ‘ala al-a‘mal). Dalam al-Ijarah ‘ala al-a‘mal pemilik usaha menanggung segala kerugian dan memiliki semua keuntungan. Pekerja adalah sebagai buruh, yang mendapat gaji tertentu dari pemilik usaha. Misalnya A sebagai pemilik usaha dan C sebagai tenaga pekerja, maka modal dan semua keuntungan milik A, dan C memperoleh upah (gaji) dari A.

Dari kemungkinan-kemungkinan tersebut perlu dilihat mana yang paling sesuai di antara tiga kemungkinan tersebut. Setelah itu akan diketahui berapa kekayaan A.

2.    Pewarisan harta ibu. Dengan meninggalnya ibu (B), maka secara hukum akan terjadi peristiwa pewarisan. Yang diwarisi adalah harta ibu dan pewaris adalah suami dan anak-anaknya.
Harta ibu, terdiri dari:

a.       Harta bawaan, yakni harta milik Ibu yang diperoleh atau dimiliki sebelum perkawinan dengan A, dan harta yang diperoleh sebagai hadiah atau warisan.
b.      Separoh dari harta bersama yakni harta yang didapatkan oleh A dan B semenjak akad perkawinan dilangsungkan sampai dengan akhir hayat B. Ketentuan ini didasarkan kepada pasal 96 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama”. Dengan ketentuan tersebut A memperoleh separoh harta bersama, sedang separohnya lagi adalah menjadi harta B yang yang kemudian akan menjadi bagian dari harta peninggalan yang akan diwarisi oleh ahli warisnya.

Sebelum harta dibagikan kepada ahli waris terlebih dahulu digunakan untuk biaya perawatan jenazah, misalnya membeli kain kafan, ongkos menggali kuburan dan sebagainya; membayar hutang jika B mempunyai hutang, baik hutang kepada Allah misalnya zakat yang belum terbayar, nadzar yang belum terlaksana dan sebagainya maupun hutang kepada sesama; dan menunaikan wasiat jika B pernah berwasiat selama hidupnya.

Setelah harta peninggalan dikurangi dengan biaya-biaya yang telah disebutkan, maka saatnya untuk dibagikan kepada ahli waris, yang dalam hal ini yaitu A sebagai suami serta C, D, E, F, G, H dan I anak-anaknya.

Cara pembagiannya:

Pertama, suami (A) diberikan seperempat (¼) dari seluruh harta waris yang ditinggalkan B, berdasarkan firman Allah:

Artinya:“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.” [QS. an-Nisa’ (4): 12]

Kedua, sisanya yakni 3/4 harta waris yang ditinggalkan B dibagikan kepada tujuh orang anaknya dengan ketentuan bagian untuk seorang anak laki-laki adalah sama dengan bagian untuk dua orang anak perempuan, atau dengan kata lain bagian bagi seorang anak laki-laki dua kali bagian seorang anak perempuan. Ketentuan ini berdasarkan firman Allah: 

Artinya:“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.” [QS. an-Nisa’ (4): 11] 

  1. Bagian lima orang anak laki-laki         : 5 x 2 = 10
  2. Bagian dua orang anak perempuan     : 2 x 1 =   2
Jumlah                                                 :             12
Bagian untuk lima orang anak laki-laki 10/12 x ¾ harta waris yang ditinggalkan B. Jadi untuk satu orang anak laki-laki = 1/5 x hasil perhitungan bagian lima orang anak laki-laki, yakni masing-masing mendapat 2/12 x ¾ harta waris yang ditinggalkan B. Bagian untuk dua orang anak perempuan = 2/12 x ¾ harta waris yang ditinggalkan B. Jadi bagian untuk seorang anak perempuan = 1/2 x hasil perhitungan bagian dua orang anak perempuan, yakni masing-masing mendapat 1/12 x ¾ harta waris yang ditinggalkan B.

Dengan menggunakan keterangan sebagaimana yang telah dikemukakan dari awal sampai yang terakhir, kiranya sudah dapat diperhitungkan jumlah harta warisan yang ditinggalkan oleh A dari harta yang berupa; ruko ukuran 3 x 12 m dan ruko 12 x 20 m (setelah sebelumnya dihargai/dinilai dengan uang). Setelah itu kemudian ditambah (jika ada) harta bawaan A dan hadiah atau warisan yang diterima selama perkawinan dengan B. Jumlah seluruhnya ini menjadi harta peninggalan A.

Setelah dapat diketahui jumlah harta peninggalan A, sebelum dibagikan kepada ahli waris yang dalam hal ini adalah anak-anaknya, terlebih dahulu digunakan untuk biaya perawatan jenazah, membayar hutang jika A dalam hidupnya punya hutang dan membayar wasiat jika pernah berwasiat. Setelah itu harta warisan dibagikan kepada tujuh orang anaknya.

Cara pembagiannya:
Bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.
1.      Bagian lima orang anak laki-laki               : 5 x 2 = 10
2.      Bagian dua orang anak perempuan           : 2 x 1 =   2
Jumlah                                                       :             12

Bagian untuk lima orang anak laki-laki 10/12 x seluruh harta waris yang ditinggalkan A. Jadi untuk satu orang anak laki-laki = 1/5 x hasil perhitungan bagian lima orang anak laki-laki, yakni masing-masing mendapat 2/12 x seluruh harta waris yang ditinggalkan A. Bagian untuk dua orang anak perempuan = 2/12 x seluruh harta waris yang ditinggalkan A. Jadi bagian untuk seorang anak perempuan = 1/2 x hasil perhitungan bagian dua orang anak perempuan, yakni masing-masing mendapat 1/12 x seluruh harta waris yang ditinggalkan A.

Contoh perhitungan:
Seandainya setelah dikurangi dengan biaya-biaya sebagaimana telah disebutkan di atas, harta peninggalan A adalah Rp 300.000.000,-, maka perhitungannya adalah sebagai berikut:
1.      Bagian lima orang anak laki-laki               : 5 x 2 = 10
2.      Bagian dua orang anak perempuan           : 2 x 1 =   2
Jumlah                                                       :             12
Bagian lima orang anak laki-laki 10/12 x 300.000.000,- = 250.000.000,-. Bagian satu orang anak laki-laki 1/5 x 250.000.000,- = 50.000.000,-. Jadi masing-masing mendapat 50.000.000,-. Bagian dua orang anak perempuan 2/12 x 300.000.000,- = 50.000.000,-. Bagian seorang anak perempuan 1/2 x 50.000.000,- = 25.000.000,-. Jadi masing-masing mendapat 25.000.000,-.

Wallahu a‘lam bish-shawab. *dw)


Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Kasus Pembagian Harta Warisan

$
0
0
Pertanyaan dari J, di Madura (nama dan alamat diketahui redaksi)
Disidangkan pada: Jum’at, 19 Shafar 1428 H / 9 Maret 2007 M


Pertanyaan:

Saya sangat mengharap bantuan penjelasan, bagaimana menurut agama pembagian harta waris yang saya hadapi saat ini dan sekarang sudah menjadi masalah di Pengadilan, yang saya maksud begini.
A (ayah) kawin dengan B (ibu) mempunyai 8 anak (2 orang laki-laki dan 6 orang perempuan) yang hidup cuma 1 orang adalah (C/laki­laki). Kemudian ibu (B) C meninggal dunia, meninggalkan harta hasil gono gini A dan B yaitu, sebidang tanah, rumah diatas tanah ini dengan isinya.

Setelah itu A kawin lagi dengan D (tidak menempati tanah dan rumah tersebut) dan mempunyai 2 orang anak perempuan yaitu, E dan F, kemudian isteri yang kedua (D) meninggal dunia, sedangkan C hidup/ikut juga bersama isteri yang ke-2 itu. Beberapa hari setelah D meninggal dunia, kedua anaknya (E dan F) diboyong ke rumah peninggalan isteri I (B), disitu mereka E dan F tinggal dengan bibinya (adik dari ayah/A). A kawin lagi dengan G (isteri ketiga) di tempat lain, C juga ikut/hidup bersama dengan isteri ke-3 dan akhirnya G meninggal dunia.

Harta gono gini antara A dan D dan juga antara A dan G banyak. Sebelum A meninggal, C sudah diberi tanah kering diatas segel tertulis sedangkan tanah sawah (pemberiannya dengan tidak tertulis). Kemudian C kawin dengan H, pada waktu/saat A masih kawin dengan isteri ke-3 (G), akhirnya perkawinannya C+H punya anak perempuan yaitu (J). Pada waktu J berusia 1 tahun, A meninggal dunia karena sakit. Setelah lewat 40 hari A meninggal, C meninggal karena kena setrum listerik, dengan meninggalkan seorang anak yatim yaitu (J) juga dengan banyak meninggalkan harta, yaitu harta waris dari A yang belum dibagi, kecuali tanah yang pakai surat diatas segel tadi itu.

Yang saya tanyakan, bagaimana cara pembagian harta-harta ini?
1.      Apakah harta hasil gono gini dari isteri yang I (pertama) juga harus dibagi ke E dan F?
2.      Apakah hanya harus dimiliki J kanena sebagai anak dari C?
3.      Jika harus dibagi bagaimana pembagiannya?
4.      Apakah J harus mendapat lagi dari sisa harta yang belum dibagi? Karena yang belum dibagi itu masih ada 4x dari apa yang telah diberikan langsung pada C, atau bagaimana pembagian yang benar menurut Islam atau pemerintah? Sebagai anak yatim J ditelantarkan oleh bibi-bibinya tersebut, yaitu (E+F).

Mohon penjelasannya, tolong didahulukan dari yang lain, karena penjelasan ini akan J jadikan petunjuk dalam sidang di pengadilan yang sudah berlangsung ini.
Atas segala bantuannya J ucapkan terima kasih, semoga betul-betul akan menjadi acuan penjelasan J di pengadilan nanti. 

Jawaban:

Dari keterangan saudara tentang hubungan dalam keluarga dapat kami gambarkan dalam diagram sebagai berikut: 


Urut-urutan yang meninggal dunia:
Pertama           : B
Kedua             : D
Ketiga             : G
Keempat         : A
Kelima            : C
Untuk selanjutnya, terlebih dahulu kami sampaikan bahwa dalam pembagian harta waris menurut Hukum Islam, adalah karena meninggal dunia orang yang mewariskan harta (muwarrits). Oleh karena itu untuk menjawab pertanyaan saudara akan kami lakukan dengan melihat secara kronologis terjadinya kematian orang yang mewariskan hartanya itu, sehingga urut-urutannya adalah sebagai berikut:

A.    Kematian B (isteri pertama); dengan diagram susunan kerabat yang menjadi ahli waris sebagaimana yang saudara sebutkan yaitu:
    


 Di luar diagram tersebut masih memungkinkan adanya ahli waris yang dapat menerima pembagian harta waris, yaitu ayah, ibu, kakek dan nenek dari B jika mereka masih hidup di saat B meninggal dunia. Namun jika sudah tidak ada, maka ahli warisnya hanyalah A suami dan C anak laki-laki, sebagaimana yang saudara sebutkan.

Harta warisnya, yaitu :
  1. Harta bawaaan B ( jika ada).
Hal ini didasarkan kepada Pasal 87 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam: Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh oleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
  1. ½ dari harta yang diperoleh selama perkawinan antara A dan B (harta bersama atau gono gini).
Hal ini didasarkan kepada Pasal 96 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam: Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang masih hidup. Dengan demikian, ½ harta bersama selebihnya diberikan kepada A (suami).
Jadi harta warisnya adalah yang tersebut pada nomor 1 ditambah yang tersebut pada nomor 2.

Cara pembagiannya: Jika ahli warisnya memang hanya suami dan seorang anak laki-laki, maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
A (suami) memperoleh ¼ , berdasarkan firman Allah:

Artinya:“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya.” [QS. an-Nisa’ (4): 12]

C (anak laki-laki) adalah ‘ashabah bin-nafsi,sehingga ia memperoleh harta waris yang ditinggalkan setelah dikurangi oleh bagian ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu (furudlul muqaddarah) yang dalam hal ini adalah A yang telah memperoleh ¼ bagian. Dengan demikian bagian C adalah selebihnya yaitu ¾ bagian dari seluruh harta waris.

B.     Kematian D (isteri kedua); susunan ahli waris dapat dilukiskan dalam diagram sebagai berikut:    



Di luar diagram tersebut masih memungkinkan ahli waris lain untuk memperoleh bagian harta waris, kecuali saudara laki-laki seibu, saudara perempuan seibu dan cucu perempuan. Namun jika ahli warisnya memang seperti yang saudara sebutkan, maka mereka itu ialah: A (suami) serta E dan F (dua orang anak perempuan)

Harta warisnya, yaitu:
  1. Harta bawaan D (jika ada).
  2. ½ dari harta yang diperoleh selama perkawinan antara A dan D (harta bersama atau gono gini). Dalam menghitung harta bersama, didasarkan kepada Pasal 94 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam: Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau yang keempat. 
Cara pembagiannya:
A (suami) memperoleh ¼.
E dan F (dua orang anak perempuan) memperoleh 2/3. Berdasarkan firman Allah:

Artinya: “…dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua (maksudnya dua atau lebih), maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.” [QS. an-Nisa’ (4): 11]

Cara menghitungnya yakni dengan menyamakan penyebut dua bagian itu, yaitu angka ¼ dan angka 2/3, angka penyebutnya adalah 12; sehingga menjadi:
A (suami) memperoleh 3/12
E dan F (dua orang anak perempuan) memperoleh 8/12
Jika dijumlahkan menjadi 11/12. Dengan demikian maka terjadilah kelebihan (radd)1/12. Kelebihan ini diberikan kepada E dan F, karena menurut Jumhur Fuqaha suami atau isteri tidak memperoleh bagian kelebihan (radd).

C.     Kematian G (isteri ketiga).
Ketika G meninggal dunia hendaknya diteliti ahli warisnya selain A sebagai suaminya. Kalau memang masih ada ahli waris yang lain, maka harta waris dibagi kepada ahli waris yang berhak menerima bersama dengan A sebagai suaminya. Tetapi apabila memang ketika G meninggal dunia tidak mempunyai ahli waris kecuali A sebagai suaminya, maka A satu-satunya ahli waris. Jika A sebagai satu-satunya ahli waris, maka bagian A sebagai suami dan G meninggal dunia tanpa anak, maka bagian A adalah ½ dari harta waris yang ditinggalkan oleh G. Ketentuan ini didasarkan kepada firman Allah:

Artinya:“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak.” [QS. an-Nisa’ (4): 12]

Selebihnya tidak diberikan kepada A sebagai suami, karena suami tidak dapat memperoleh kelebihan (radd) dan tidak dapat pula menjadi ‘ashabah (ahli waris) yang menghabiskan semua sisa harta waris. Separoh selebihnya yang diberikan kepada suami, diberikan kepada dzawul arham (kerabat yang tidak termasuk ahli waris yang memperoleh bagian tertentu dan juga bukan ahli waris yang menjadi ‘ashabah).

Sedangkan harta warisnya adalah harta bawaan G (bila ada) dan ½ dari harta bersama yang diperoleh selama perkawinan antara A dan G (gono gini).

D.    Kematian A, dengan diagram susunan ahli wari sebagai berikut:
    
Ahli warisnya yaitu C (seorang anak laki-laki)  serta E dan F  (dua orang anak perempuan).
Harta warisnya adalah semua harta A yang terdiri dari: harta bawaan (bila ada) dan ½ harta bersama yang diperoleh dari perkawinan dengan B, dengan D dan dengan G.
Cara pembagiannya yakni dengan memberikan bagian harta waris untuk seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Ketentuan ini didasarkan kepada firman Allah:

Artinya:“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan.”[QS. an-Nisa’ (4): 11] 

Dengan ketentuan tersebut, maka C memperoleh ½ dari harta peninggalan A, sedangkan E dan F masing-masing memperoleh ¼ harta peninggalan A. Terhadap pembagian harta waris yang akan diberikan kepada C, maka pemberian oleh A kepada C yang dilakukan semasa A masih hidup, diperhitungkan kepada warisan, artinya dimasukkan dalam perhitungan ½ dari harta waris yang diterima oleh C. Hal ini didasarkan kepada pasal 211 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan: Hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan.

E.     Kematian C. Tidak saudara jelaskan ketika C meninggal dunia, apakah tidak ada ahli waris lain selain J? Misalnya apakah isterinya masih hidup atau sudah meninggal dunia. Jika ketika C meninggal dunia isterinya masih hidup, maka ahli warisnya adalah isteri dan J anak perempuannya, sehingga dalam pembagian harta waris, isteri meperoleh 1/8 dan J seorang anak perempuan memperoleh ½ dari harta waris yang ditinggalkan oleh C. Ketentuan ini didasarkan kepada firman Allah:

Artinya:“Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang ditinggalkan.” [QS. an-Nisa’ (4): 12]

Artinya: “Jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta.” [QS. an-Nisa’(4): 11]

Dalam perhitungan dilakukan dengan menyamakan angka penyebutnya, yaitu angka ½ dan 1/8, maka penyebutnya adalah angka 8, sehingga isteri memperoleh 1/8 dan J seorang anak perempuan memperoleh 4/8. Jika dijumlahkan menjadi 5/8, sehingga masih ada kelebihan (radd) sebanyak 3/8. Kelebihan ini diberikan kepada J, sebab isteri tidak berhak mendapat radd.

Jika ketika C meninggal dunia, hanya meninggalkan ahli waris J seorang anak perempuan, tidak ada yang lain, maka J memperoleh ½ ditambah dengan kelebihan (radd) harta waris yang ditinggalkan oleh C. Atau dengan kata lain semua harta peninggalan C diwarisi oleh J.

Perlu kami sampaikan bahwa harta peninggalan dapat dibagikan kepada ahli waris apabila telah dikurangi dengan hutang baik hutang kepada orang lain maupun hutang kepada Allah, misalnya zakat, kifarah atau nadzar yang belum ditunaikan, serta wasiyat bila ada.

Demikianlah yang dapat kami jelaskan berdasarkan keterangan ahli waris yang telah saudara sampaikan kepada kami; dan apabila dalam kasus-kasus pembagian harta waris tersebut masih ada ahli waris yang lain tentu akan menjadi berbeda dalam perhitungannya. *dw)

Wallahu a‘lam bish-shawab

Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Shalat dengan Dua Bahasa

$
0
0

Penanya:
Eet Hudawati, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bengkulu

Pertanyaan:
Bolehkah mengerjakan shalat dengan dua bahasa (bahasa Arab dan bahasa Indonesia)?

Jawaban:
Mungkin yang dimaksud penanya ialah mengucapkan lafadz-lafadz yang dibaca dalam shalat dengan bahasa terjemahan, bukan dengan bahasa Arab, seperti mengucapkan lafadz shalat dalam bahasa Indonesia.
Shalat adalah salah satu dari rukun Islam yang lima, merupakan ibadah mahdlah, ibadah yang semata-mata ditujukan kepada Allah SWT. Demikian pentingnya shalat itu bagi seorang mukmin, maka shalat itu membedakan apakah seseorang itu mukmin atau kafir, berdasarkan hadits:

عَنْ جَابِرِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ.[رواه أحمد ومسلم وأبو داود والترمذى وابن ماجه]

Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir, ia berkata: bersabda Rasulullah saw: Perbedaan antara laki-laki yang mukmin dengan laki-laki yang kafir ialah meninggalkan shalat.” [HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah].

Dan firman Allah SWT:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ. الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاَتِهِمْ سَاهُونَ. [الماعون (107): 4-5].
Artinya: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu) Orang-orang yang lalai dari shalatnya.”[QS. al-Ma’un (107): 4-5].

Demikian pentingnya shalat bagi seorang muslim, maka shalat itu diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah saw sendiri dengan lengkap, bukan saja bacaan yang dibaca dalam shalat itu, tetapi juga cara-cara, gerakan-gerakannya, bahkan bagaimana keharusan khusyu’ dalam mengerjakannya, berdasarkan hadits:

عَنْ مَالِكٍ بْنِ الْحُوَيْرِثِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي. [رواه البخاري]

Artinya: “Diriwayatkan dari Malik bin al-Huwairits ra., ia berkata: bersabda Rasulullah saw: Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat.” [HR. al-Bukhari].

Dari hadits-hadits dan ayat di atas, dapat difahami bahwa dalam mengerjakan shalat itu kita harus mengikuti cara-cara Nabi saw melakukannya, sejak dari cara takbir, cara berdiri, cara ruku’, cara i’tidal, cara sujud, cara duduk antara dua sujud, cara duduk tahiyat awal, cara duduk tahiyat akhir, salam, dan membaca bacaan sesuai dengan yang diajarkan beliau. Hal ini merupakan perintah dari Rasulullah saw yang wajib kita lakukan jika ingin shalat kita diterima oleh Allah SWT.

Dengan kata lain, tidak benar shalat dikerjakan dengan bacaan selain bacaan yang diajarkan oleh Rasulullah saw, termasuk dalam hal ini adalah shalat dengan bacaan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atau diterjemahkan ke dalam bahasa yang lain. Wallahu a’lam bish-shawwab. *km)

Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Hitungan Dzikir

$
0
0

Penanya:
HM. Soeboer, NBM. 725.192, Malang

Pertanyaan:
Mohon Penjelasan tentang cara menghitung dzikir setelah shalat wajib dalam membaca tasbih, tahmid dan takbiryang masing-masing 33 kali.
1.      Apakah cara menghitungnya dengan (jari-jari) tangan kanan saja?
2.      Apakah boleh menghitung dengan (jari-jari) tangan kiri?
Mohon ditulis dalil-dalilnya. Mohon jawabannya dimuat sebelum Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang.

Jawaban:
Karena banyaknya pertanyaan yang harus dijawab, jawaban dari pertanyaan saudara baru dapat dimuat sekarang. Karena itu kami mohon maaf.
Mengenai bacaan tasbih (Subhanallah), tahmid (Alhamdulillah), dan takbir (Allahu Akbar), yang dibaca masing-masing 33 kali setelah shalat wajib, dalilnya ialah hadits.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَبَّحَ اللهَ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَحَمِدَ اللهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ وَكَبَّرَ اللهَ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ فَتْلِكَ تِسْعَةٌ وَتِسْعُونَ وَقَالَ تَمَامَ الْمِائَةِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ غُفِرَتْ خَطَايَاهُ وَإِنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ الْبَحْرِ.[رواه مسلم وأحمد].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., dari Rasulullah saw beliau bersabda: Barangsiapa bertasbih 33 kali pada setiap selesai mengerjakan shalat, bertahmid 33 kali dan bertakbir 33 kali; itu semua berjumlah 99 kali, kemudian sabda Rasulullah saw: Untuk sempurna menjadi seratus (bacalah): ‘Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai’in qadiir’, maka dosanya diampuni oleh Tuhan meskipun sebanyak buih di laut.” [HR. Muslim dan Ahmad].

Hadits di atas hanya menganjurkan agar kaum muslimin membaca tasbih, tahmid, dan takbir setiap selesai shalat masing-masing 33 kali, sehingga berjumlah 99 kali dan disempurnakan 100 kali dengan membaca “Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah lahul-mulku wa lahul-hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai’in qadiir”. Tidak diterangkan bagaimana cara menghitung jumlah apa yang dibaca itu. Dari hal ini dipahami bahwa Rasulullah saw menyerahkan cara-caranya kepada kaum muslimin untuk memilih cara yang baik menurut mereka, sehingga dapat menambah kekhusyukan mereka. Sebahagian kaum muslimin meniru cara menghitung yang dilakukan oleh umat Hindu, umat Budha, dan umat Nashrani, yaitu dengan menggunakan rosario yang oleh sebahagian kaum muslimin disebut ‘tasbih’. Cara ini tidak dilarang oleh agama Islam. Namun sebagian kaum muslimin ingin menunjukkan kepribadian (identitas diri) mereka dengan menggunakan jari-jari tangan untuk menghitungnya. Mereka beralasan dengan perintah Rasulullah saw  agar kaum muslimin menampakkan identitas diri mereka sebagai seorang muslim, tidak ikut-ikutan dan tidak meniru-niru yang dilakukan umat lain, sebagaimana dipahami dari sabda beliau:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لاَ يَصْبِغُونَ فَخَالِفُوهُمْ. [رواه البخاري ومسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Nabi saw bersabda: Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak menyemir rambut mereka, maka bedakanlah dirimu dengan mereka (dengan menyemir rambutmu).” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

Dalam menggunakan jari-jari tangan untuk menghitung bacaan tasbih, tahmid, takbir dan bacaan dzikir yang lain sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah saw, maka sebahagian kaum muslimin lebih menggunakan jari-jari tangan kanan dibanding dengan menggunakan jari-jari tangan kiri. Mereka beralasan dengan anjuran Rasulullah saw:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ.[رواه البخاري].

Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah ia berkata: Adalah Nabi saw suka mendahulukan yang kanan ketika mengenakan sandal, ketika menyisir rambut, ketika bersuci, dan pada semua keadaan.” [HR. al-Bukhari].

Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyetujui pendapat terakhir ini, yaitu menganjurkan agar menggunakan yang kanan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang diridlai Allah Swt, termasuk menghitung bacaan dzikir seperti yang diterangkan di atas.
Perlu kami tambahkan bahwa dalam surat Yasin ayat 65 disebutkan:

الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ.[يس (36): 65].

Artinya: “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.” [QS. Yaasiin (36): 65]. *km)

Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Adzan Awal, Shalawat dan Syafaatul Ujma

$
0
0

Penanya:
Ferry al-Firdaus,
Dayeuhmanggung Rt. 01 / RW 05 Kec. Cilawu Garut


Pertanyaan:
Mohon penjelasan menurut al-Qur’an dan al-Hadits tentang:
1.      Adzan awal sebelum adzan shalat shubuh.
2.      Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw.
3.      Syafa‘atul Ujma dari Nabi Muhammad saw.

Jawaban:
1.      Adzan awal sebelum adzan shalat shubuh
Hukum melakukan adzan awal sebelum melaksanakan adzan shalat Shubuh telah pernah dijelaskan pada kolom Fatwa Agama Majalah Suara Muhammadiyah. Penjelasan itu dapat dibaca pada buku Tanya Jawab Agama Jilid III halaman 94 sampai dengan 100 yang disusun oleh Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Kesimpulan dari penjelasan itu ialah bahwa adzan awal sebelum melakukan adzan shalat Shubuh itu dibolehkan karena ada dasarnya, yaitu Sunnah maqbulah.

2.      Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw
Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw berarti bahwa si pengucap shalawat itu berdoa kepada Allah Swt agar kepada Nabi Muhammad saw selalu dilimpahkan kesejahteraan dan keberkatan, begitu pula kepada keluarga beliau. Dasarnya ialah firman Allah Swt:

إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.

Artinya: “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” [QS. al-Ahzab (33): 56].

Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw ada dua macam, yaitu:

a.    Membaca shalawat dalam shalat, hukumnya wajib. Ada beberapa lafadz shalawat yang diajarkan Nabi Muhammad saw kepada para shahabat, namun dalam lafadz-lafadz itu tidak terdapat perkataan “sayyidina”. Lafadz-lafadz itu ialah:

عَنْ حُمَيْدٍ السَّاعِدِيُّ أَنَّهُمْ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ نُصَلِّي عَلَيْكَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وَذُرِّيَّتِهِ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.[رواه مسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Humaid as-Sa‘diyyi, sesungguhnya mereka berkata: Ya Rasulullah, bagaimana kami bershalawat atas engkau? Rasulullah saw menjawab: katakanlah olehmu (lafadznya terdapat pada hadits di atas), yang artinya: ‘Wahai Allah, limpahkanlah kemurahan-Mu atas Muhammad, dan atas istri-istrinya dan keturunannya sebagaimana yang telah Engkau limpahkan kepada Ibrahim, dan limpahkanlah berkat-Mu atas Muhammad, istri-istrinya dan keturunannya sebagaimana yang telah Engkau limpahkan kepada Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji, Maha Mulia’.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ فَقَالَ سَأَلْنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ الصَّلاَةُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ فَإِنَّ اللهَ قَدْ عَلَّمَنَا كَيْفَ نُسَلِّمُ عَلَيْكُمْ قَالَ قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.[متفق عليه].

Artinya: “Diriwayatkan dari Ka‘ab bin ‘Ujrah, kami bertanya kepada Rasulullah saw, kami berkata: Ya Rasulullah, bagaiamana bershalawat atasmu Ahlul Bait? Sesungguhnya Allah telah mengajarkan kepada kami bagaimana mengucapkan salam kepada engkau. Rasulullah saw berkata, katakanlah olehmu: (lafadz terdapat pada hadits di atas), yang artinya: ‘Wahai Allah, limpahkanlah kemurahan-Mu kepada Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau telah melimpahkan kepada Ibrahim dan keluarganya. Wahai Allah, limpahkanlah berkat-Mu kepada Muhammad dan keluarganya sebagaimana yang telah Engkau limpahkan kepada Ibrahim dan keluarganya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji, Maha Mulia’.” [Muttafaq Alaih].

b.      Membaca shalawat di luar shalat, hukumnya sunnah.
Sebagaimana halnya dengan doa, maka mengucapkan shalawat itu seperti mengucapkan doa, yaitu dengan ikhlas semata-mata mencari ridla Allah, dengan berbisik dan lemah lembut, tidak dengan suara yang keras, sebagaimana firman Allah Swt:

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَاْلآصَالِ وَلاَ تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِينَ. 

Artinya: “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” [QS. al-A‘raf (7): 205].

Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpendapat bahwa lafadz shalawat yang paling baik dibaca ialah lafadz shalawat yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw kepada para shahabat sebagaimana terdapat pada hadits-hadits di atas.

3.      Syafa‘atul Ujma dari Nabi Muhammad saw
Mungkin yang saudara maksud ialah Syafa‘atul ‘Uzhma, bukan Syafa‘atul Ujma sebagaimana yang tertulis pada pertanyaan saudara.

Syafa‘atul ‘Uzhma ialah semacam pengampunan umum yang diberikan Allah Swt kepada sebahagian manusia di akhirat nanti dengan memberikan izin kepada Nabi Muhammad saw untuk melaksanakannya. Pada waktu itu manusia dalam keadaan resah dan bingung menghadapi nestapa yang mereka alami. Mereka mendatangi para Nabi supaya mereka memohonkan kepada Allah agar nestapa itu dijauhkan dari mereka. Para Nabi menyatakan bahwa mereka tidak sanggup melaksanakannya. Akhirnya atas petunjuk Nabi Isa as mereka mendatangi Nabi Muhammad saw agar beliau memohon kepada Allah Swt sehingga derita yang mereka tanggung itu hilang. Setelah beliau berdoa Allah Swt mengabulkannya dengan memberi izin kepada beliau untuk memberi syafa‘at (pertolongan) kepada mereka. Berdasarkan izin itu beliau membebaskan orang-orang yang beriman dari derita itu dan memasukkan mereka ke dalam surga, sedang orang-orang kafir dimasukkan ke dalam neraka, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ اللهُ النَّاسَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَقُولُونَ لَوْ اسْتَشْفَعْنَا عَلَى رَبِّنَا حَتَّى يُرِيحَنَا مِنْ مَكَانِنَا فَيَأْتُونَ آدَمَ فَيَقُولُونَ أَنْتَ الَّذِي خَلَقَكَ اللهُ بِيَدِهِ وَنَفَخَ فِيكَ مِنْ رُوحِهِ وَأَمَرَ الْمَلاَئِكَةَ فَسَجَدُوا لَكَ فَاشْفَعْ لَنَا عِنْدَ رَبِّنَا فَيَقُولُ لَسْتُ هُنَاكُمْ وَيَذْكُرُ خَطِيئَتَهُ وَيَقُولُ ائْتُوا نُوحًا أَوَّلَ رَسُولٍ بَعَثَهُ اللهُ فَيَأْتُونَهُ فَيَقُولُ لَسْتُ هُنَاكُمْ وَيَذْكُرُ خَطِيئَتَهُ ائْتُوا إِبْرَاهِيمَ الَّذِي اتَّخَذَهُ اللهُ خَلِيلاً فَيَأْتُونَهُ فَيَقُولُ لَسْتُ هُنَاكُمْ وَيَذْكُرُ خَطِيئَتَهُ ائْتُوا مُوسَى الَّذِي كَلَّمَهُ اللهُ فَيَأْتُونَهُ فَيَقُولُ لَسْتُ هُنَاكُمْ فَيَذْكُرُ خَطِيئَتَهُ ائْتُوا عِيسَى فَيَأْتُونَهُ فَيَقُولُ لَسْتُ هُنَاكُمْ ائْتُوا مُحَمَّدًا صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ فَيَأْتُونِي فَأَسْتَأْذِنُ عَلَى رَبِّي فَإِذَا رَأَيْتُهُ وَقَعْتُ سَاجِدًا فَيَدَعُنِي مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ يُقَالُ لِي ارْفَعْ رَأْسَكَ سَلْ تُعْطَهْ وَقُلْ يُسْمَعْ وَاشْفَعْ تُشَفَّعْ فَأَرْفَعُ رَأْسِي فَأَحْمَدُ رَبِّي بِتَحْمِيدٍ يُعَلِّمُنِي ثُمَّ أَشْفَعُ فَيَحُدُّ لِي حَدًّا ثُمَّ أُخْرِجُهُمْ مِنْ النَّارِ وَأُدْخِلُهُمْ الْجَنَّةَ ثُمَّ أَعُودُ فَأَقَعُ سَاجِدًا مِثْلَهُ فِي الثَّالِثَةِ أَوْ الرَّابِعَةِ حَتَّى مَا بَقِيَ فِي النَّارِ إِلاَّ مَنْ حَبَسَهُ الْقُرْآنُ.[رواه البخاري ومسلم].

Artinya: “Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata: berkata Rasulullah saw: Nanti Allah akan mengumpulkan manusia di hari kiamat, lalu mereka berkata, seandainya ada orang yang memohonkan syafaat kepada Tuhan kami untuk kami sehingga kami terbebas dari keadaan kami ini. Lalu mereka datang kepada Nabi Adam, mereka berkata: Engkaulah orang yang diciptakan Allah dengan tangan-Nya (langsung) dan meniupkan kepada engkau ruh dari-Nya dan memerintahkan malaikat, lalu mereka sujud kepada engkau, maka berilah kami syafaat yang berasal dari Tuhan kami. Adam menjawab: bukan aku yang dapat memberikannya, sambil menyebut kesalahan-kesalahannya. Adam berkata: datanglah kepada Nuh Rasul yang pertama kali diutus Allah. Lalu mereka datang kepada Nuh dan Nuh menjawab: aku bukanlah orang yang dapat memberikannya, sambil menyebut kesalahan-kesalahannya. Datanglah kepada Ibrahim orang yang dijadikan Allah teman-Nya. Lalu mereka datang kepada Ibrahim dan Ibrahim menjawab: aku bukanlah orang yang dapat memberikannya, sambil menyebut kesalahan-kesalahannya. Datanglah kepada Musa orang yang pernah berbicara dengan Allah. Lalu mereka datang kepada Musa dan Musa menjawab: aku bukanlah orang yang dapat memberikannya, sambil menyebut kesalahan-kesalahannya. Datanglah kepada Isa dan Isa menjawab: aku bukanlah orang yang dapat memberikannya, datanglah kepada Muhammad saw, karena sesungguhnya Muhammad telah diampuni dosa-dosanya yang terdahulu dan yang akan datang. Mereka pun mendatangiku, maka aku pergi minta izin kepada Tuhanku. Maka ketika aku melihat-Nya aku segera sujud, Ia membiarkanku sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. Kemudian dikatakan: Angkatlah kepala engkau, mintalah pasti diberi, katakanlah niscaya akan didengar, mintalah syafaat pasti diberi. Lalu aku mengangkat kepalaku, lalu aku memanjatkan pujian kepada Tuhanku sesuai dengan yang diajarkan kepadaku, kemudian aku diizinkan memberi syafaat kepada orang-orang tertentu. Kemudian aku keluarkan mereka dari neraka dan aku masukkan ke dalam surga. Kemudian aku kembali menyatakan dan bersujud seperti semula, kemudian ketiga dan keempat, sehingga yang tinggal dalam neraka adalah orang yang tidak percaya dan menantang al-Qur’an.” [HR. al-Bukhari dan Muslim].

Di samping hadits di atas, ada lagi beberapa hadits shahih yang menerangkan tentang syafaat itu dan isinya sama dengan isi hadits di atas.

Dari penjelasan hadits di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
a.       Hak memberi syafaat itu hanya ada pada Allah, sebagai yang ditegaskannya:

مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ.
Artinya: “Siapakah yang dapat memberi syafa‘at di sisi Allah tanpa izin-Nya.” [QS. al-Baqarah (2): 255].

b.  Pada hari kiamat Nabi Muhammad saw diberi izin oleh Allah untuk memberi syafaat kepada sebahagian manusia sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan-Nya.
c.  Di antara yang diberi syafaat itu ialah orang-orang yang beriman kepada al-Qur’an dan tidak menentangnya. Wallahu a’lam bish-shawwab. *km)

Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Viewing all 97 articles
Browse latest View live